by

Umat Baperan

 

Tapi sebenarnya lebih banyak yang maki2 dengan kata2 “bangsat, anjing dsb”nya. Lucunya habis maki2 dia mengaku pula “kami umat Islam”..

Saya bingung. Seandainya dulu Rasulullah ketika menyebarkan petunjuk keselamatan kepada bangsa arab yang bebal dan bodoh pada waktu itu, apakah beliau menyebarkan dengan makian seperti anjing bangsat dan segala macam ?

Tentu tidak. Malah beliau yang dimaki-maki mereka..

Rasulullah mengajarkan Islam kepada bangsa arab jahiliyah waktu itu dengan kelembutan.

Kelembutan yang dibawakan beliau bagaikan mutiara ditengah tumpukan sampah, itulah kenapa ajarannya bersinar. Karena jika mutiara berada ditengah kumpulan mutiara juga, tentu sinarnya akan biasa saja..

Begitu juga para Nabi-Nabi pendahulu. Mereka diturunkan ditengah masyarakat yang “sakit” dan keruntuhan moral yang dahsyat, sehingga mereka bersinar bak cahaya..

Sebenarnya saya malu ketika menyebut diri sendiri “umat Islam”, karena itu seperti “mengatas-namakan” agama. Perilaku saya jauh dari mewakili apa yang dibawa agama saya.

Tapi ada orang2 yang begitu pedenya seolah dia menjadi perwakilan agamanya, tapi dengan kelakuan yang persis bangsa arab jahiliyah pada waktu itu.

Ah, biarlah dia mungkin perlu belajar arti “Islam” dan “Muslim” lebih dalam, bukan hanya dari bungkusnya saja. Seandainya satu waktu dia paham, tentu akan malu sendiri karena antara ajaran agamanya dan perilakunya bagaikan bumi dan langit…

Saya jadi teringat kisah waktu diskusi di sebuah gereja..

Seorang hadirin bertanya dengan terlebih dahulu mengenalkan dirinya, “Bang Denny, saya seorang Kristen…”

Saya berhentikan dulu dengan sopan, “Sebentar, sebelum bertanya. Benarkah bapak seorang Kristen ?” Tanya saya. Si bapak bingung dan menjawab, “Benar saya Kristen..”

Saya bertanya lagi, “Apakah Bapak tahu arti dari Kristen ?”. Dia menjawab, “Pengikut Yesus..”

“Apakah bapak yakin bahwa bapak pengikut Yesus ? Bahwa bapak bisa mengikuti apa yang Yesus ajarkan ? Mulai dari kasihnya dan semua pengorbanannya sampai ia disalibkan ?” Tanya saya lagi.

Tampak tangannya gemetar. Yang hadirpun banyak terdiam. Ketika sudah disampaikan ukuran dari “pengikut” itu, orang sudah mulai ragu dengan dirinya sendiri. Merasa kecil dan tak berarti..

Sang Bapak terdiam, tidak jadi bertanya, dan mulai mengupas pemikirannya selama ini. “Benarkah aku ini Kristen ? Jangan2 cuman klaim doang, tapi sedikitpun aku tidak pernah mencapai apa yang diajarkan..”

Saya sendiri sudah lama malu mengaku diri saya muslim. Karena muslim itu adalah sebuah tujuan, harapan dan keinginan untuk mencapai kesana. Tapi prakteknya ? Mungkin nol besar..

Karena itulah kita diberi kitab2 yang berisi petunjuk, bagaimana menjadi Muslim, bagaimana menjadi Kristen, bagaimana menjadi Hindu dan Budha yang sesungguhnya…

Siapa yang berhak menilai kita Muslim, Kristen, Hindu atau Budha ? Ya jelas, Tuhan.. bukan manusia. Apalagi manusia yang mengaku-aku bahwa dirinya sudah seperti yang diajarkan..

Saya pernah berfikir lama sekali, bahwa seandainya manusia sibuk mendalami petunjuknya masing2 dan sibuk mengamalkan petunjuknya masing2, maka tidak ada keributan di dunia ini atas nama agama.

Semua manusia beragama akan berlomba saling merendah kepada penganut agama lain, bukannya meninggikan diri dan saling mengklaim..

Itulah esensi dari kalimat “Untukku agamaku dan untukmu agamamu..” Sebuah kalimat yang menunjukkan bahwa banyak yang harus kita pelajari di ajaran2 kita sendiri..

Saya rasa secangkir kopi cukup menemani malam panjang ini.. Seruputtt..

www.dennysiregar.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed