by

Ulama-ulama yang Membolehkan Ucapan Selamat Natal

Oleh: Sumanto Al Qurtuby
 

Apakah semua ulama mengharamkan mengucapkan “Selamat Natal” seperti yang difatwakan MUI? Tidak. Ada banyak ulama yang membolehkan mengucapkan “Selamat Natal” dengan berbagai dalil, alasan, argumen, dan pertimbangan.

Seperti saya jelaskan sebelumnya, salah satu sumber utama pengharaman Natal sebetulnya berasal dari pendapat para ulama seperti Ibnu Taimiyah (w. 1328) atau Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 1350) yang kemudian menjadi rujukan sebagian ulama kontemporer, khususnya yang mengikuti aliran atau tradisi “Salafisme”. Perlu dicatat, ada banyak ulama dan sarjana Muslim modern yang tidak setuju dengan pendapat Ibnu Taimiyah maupun Ibnu Qayyim yang dipandang tidak lagi akurat dan relevan.

Di antara ulama kontemporer yang membolehkan mengucapkan “Selamat Natal” kepada para keluarga, teman, kolega, dlsb yang beragama Kristen adalah Sheikh Ali Jumuah (Ali Gomaa). Beliau adalah mantan Grand Mufti Mesir (2003-2013), profesor Hukum Islam di Universitas al-Azhar, Mesir, serta anggota Dewan Fatwa Mesir dan International Islamic Fiqh Academy. Beliau berargumen, pengharaman mengucapkan “Selamat Natal” sebagai pelanggaran serius terhadap substansi Islam sebagai agama rahmat yang memberikan kedamaian kepada semua umat manusia maupun esensi Islam dan Al-Qur’an yang sangat menghormati Yesus.

Para Grand Mufti Mesir dan Ulama / Syaikh Al-Azhar pada umumnya memang sangat toleran, moderat, dan fleksibel seperti Syaikh Mahmoud Syaltout, Syaikh Muhammad Sayyid Tantawi, Syaikh Amhed al-Tayep, dlsb.

Ulama lain yang membolehkan mengucapkan “Selamat Natal” adalah Syaikh Dr. Muhammad Tahir-ul-Qadri, pendiri Minhaj al-Qur’an International, ahli tafsir terkemuka, dan seorang yang sangat alim dan dihormati bukan hanya di tanah kelahirannya di Pakistan tetapi juga di negara-negara Barat. Beliau juga seorang ulama yang sangat anti terhadap kekerasan dan terorisme berbau agama. Setiap tahun beliau selalu mengucapkan “Selamat Natal” (dalam bahasa Inggris, Urdu, dan Arab) kepada umat Kristen karena mengaggapnya sebagai bagian dari respek terhadap Yesus, Kristen, dan Injil yang juga diakui dalam Al-Qur’an, serta komitmen terhadap pesan universal kemanusiaan Islam terhadap semua makhluk.

Suatu saat Syaikh Tahir-ul-Qadri menulis, “The [Xmas] day highlights the teachings and message of Jesus Christ. Belief in the Prophethood of Jesus Christ and Bible being the Divine Book is part of Muslims faith. Allah Almighty sent him to the world at a time when the world needed love, compassion for humanity and peace.”

Imam Salim Chishti, seorang ulama-sufi yang cukup berpengaruh di Barat, adalah ulama kontemporer lain yang menghalalkan mengucapkan “Selamat Natal” bagi umat Islam kepada umat Kristen atas dasar spirit persaudaraan iman. Bahkan Shaikh Yusuf Qardawi, seorang ulama kharismatik berpengaruh dan penulis produktif yang kini menetap di Qatar, juga membolehkan mengucapkan “Selamat Natal” dengan alasan bahwa pengucapan itu sebagai bentuk dari kebaikan, cinta, dan kasih sayang yang menjadi ruh agama Islam terhadap umat non-Muslim, apalagi umat Kristen yang merupakan sesama rumpun agama Semit.

Demikian “kuliah virtual” singkat kali ini semoga ada manfaatnya. Akhirul kalam, yang saya herankan dan renungkan dan membuatku “gundah gulana” sampai sekarang kenapa fatwa para ulama termasuk MUI itu hanya mengharamkan pengucapan “Selamat Natal” saja. Kenapa mereka tidak mengharamkan “Libur Natal”, “Kue Natal” atau “Diskon Natal”, misalnya? Kenapa eh kenapa. Jika mengucapkan Natal saja dianggap “mengakui” kepercayaan umat Kristen sehingga diharamkan apalagi ikut menikmati libur, kue dan diskon Natal he he.

 

(Sumber: Status Facebook Sumanto AQ)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed