Mendengar suara Gus Dur yang makin meninggi, saya dan Mas Fajrul terdiam. Beberapa saat hening, kemudian Gus Dur kembali bicara dengan intonasi yang menurun, “Begini ya, kita tidak bisa membiarkan rakyat larut dalam emosi dan terbakar api kebencian. Kalau dibiarkan, ini bisa membakar seluruh rumah kebangsaan kita. Rakyat harus dididik dan disadarkan meski untuk itu harus melawan arus deras emosi massa dengan risiko kita digilas, dicaci-maki dan dihina hingga kehilangan popularitas dan ditinggalkan massa. Keadaan ini harus dihentikan karena sudah melampaui batas2l-batas kepantasan dan toleransi. Ini harus dihentikan!”
Kembali kami terdiam, hening dan senyap. “Jadi pemimpin itu tidak gampang, harus berani melawan kehendak massa jika tindakan dan sikap mereka sudah melampaui batas-batas yang bisa membahayakan bangsa dan negara. Seorang pemimpin tidak boleh membiarkan umat terperosok ke dalam tindakan yang membawa kerusakan hanya karena takut kehilangan popularitas dan dukungan massa.” Kata-kata Gus Dur makin menggerus perasaan kami seperti air hujan menggerus tanah gundul di tebing yang miring. “Bertahun-tahun saya musuhan dengan Pak Harto, tapi itu soal pemikiran dalam mengelola negara bukan soal pribadi. Ketika Pak Harto dikuyo-kuyo malampaui batas hingga menghancurkan harkat dan martabatnya sebagai manusia kita harus membelanya dan mencegah tindakan rakyat yang sudah melampaui batas. Ini bukan soal probadi Pak Harto, tapi soal menjaga keutuham bangsa. Karena itu, saya esok akan tetap datang menemui pak Harto.”
Malam itu aku mendapat pelajaran dan wejangan berharga mengenai pemimpin melalui laku hidup seorang Gus Dur. Sangat jelas terlihat di sini, pemimpin bukan pesohor yang memperrtahankan popularitas diri di depan umlmat dengan memanfaatkan euforia dan emosi massa.
Jika pemimpin bangsa diperlukan sikap yang penuh kearifan dan kebesaran jiwa, apalagi menjadi ulama yang memiliki otoritas dalam memanfaatkan teks suci dan berbicara atas nama Tuhan. Suatu “senjata suci” yang tak boleh digunakan sembarangan. Karena kalau digunakan sembarangan dan tanpa mengindahkan batas-batas kepantasan dan situasi, maka akan bisa menjadi sumber bencana yang daya rusaknya sangat dahsyat. Itulah sebabnya Gus Dur sangat berhati-hati dalam mengutip dan menggunakan ayat, termasuk dalam memaknai dan menafsirkannya.
Pemimpin bukanlah orang-orang yang hanya bisa menggerakkan massa atas nama kebenaran dengan meneriakkan ayat-ayat suci mengikuti persepsi dan kemauan massa sekalipun mengancam keutuhan bangsa dan merusak kehidupan.
Pemimpin adalah orang-orang yang berani mempertaruhkan apapun yang ada pada dirinya demi kemaslahatan dan mencegah kerusakan. Pemimpin adalah mereka yang tidak hanyut dalam euforia massa tetapi mampu mendidik dan menceedaskan rakyat yang larut dalam emosi dan kebencian. Bisa mengerti dan memahami batas terjauh dalam melakukan gerakan agar tidak menimbulkan kerusakan, meskipun yang diperjuangkan adalah suatu kebenaran yang diyakini. Dengan demikian dia mampu menentukan pada titik mana suatu gerakan harus berhenti demi menjaga kemaslahatan, bukan terus melakukan provokasi tanpa henti hingga memancing kegaduhan yang terus menerus.
Di sini kita bisa melihat secara jelas seorang ulama, pemimpin dan para pesohor yang takut kehilangan popularitas diri di hadapan massa serta para pecundang yang selalu memanfaatkan massa dengan mengatasnamakan apa saja demi keuntungan pribadi.
Dalam suasana yang makin gaduh dan penuh ketegangan seperti sekarang ini saya makin rindu pada sosok Gus Dur. Ketika pemimpin umat terus memprovokasi dan membakar emosi umat atas nama kebenaran yang mereka yakini tanpa memikirkan resiko dan dampak yang ditimbulkan. Ketika keutuhan bangsa dan kedaulatan negara didudukkan di bawah kebenaran subyektif massa atas nama agama. Ketika popularitas diri dan jumlah massa pendukung lebih dipentingkan daripada kebaikan bersama semua warga bangsa. Ketika para ulama sudah berperilaku seperti pesohor, ketika ulama tersingkirkan oleh para pecundang, maka sesungguhnya bangsa ini telah mengalami degradasi dan krisis kepemimpinan yang akut. **
Sumber : facebook Wahyu R
Comment