by

Ujaran Kebencian dan Sara Mengapa Terus Dibiarkan?

Oleh : Muhammad AS HIkam

Ketika saya melihat tayangan video pidato Habib Rizieq (HR) yang mengajak para pendukungnya menurunkan Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama (BTP), atau Ahok, karena dituding korupsi, tidak bermoral, dan melanggar UU, yang muncul dalam benak saya adalah pertanyaan ini; “Sudah sedemikian burukkah kualitas para pemimpin masyarakat di negeri ini, sehingga ujaran-ujaran yang sarat dengan kebencian dan SARA bisa begitu lancar dan tanpa risih disampaikan di ruang publik?”.

Bukankah merupakan sebuah ironi yg menyedihkan jika di era reformasi dan demokrasi konstitusional, yang berlandaskan pada ‘rule of law’ dan menghormati hak-hak asasi manusia, justru ujaran kebencian malah digeber dengan lebih leluasa? Lebih ironis lagi, belum lama ini, Kapolri sudah mengeluarkan Surat Edaran (SE) mengenai ujaran kebencian, yg di dalamnya memuat berbagai aturan pidan terkait dengan hal tsb, baik berdasarkan KUHP maupun UU ITE. Jika kita menyimak pidato HR di video tsb, dan mencocokkannya dg beberapa norma hukum yg disebutkan dlm SE Kapolri No. 6/X/2015 tsb., niscaya akan sangat mudah menemukan pasal-pasal mana yg memenuhi syarat utk dilakukan penindakan hukum.

Memang benar bahwa pihak yang secara langsung disinggung dlam pidato tsb, khususnya Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Ketum DPP nya, Pak Wiranto (W), tidak mengajukan tuntutan kepada pihak Polri. Alasan Pak W adalah karena beliau sudah memafkan dan meminta anak buahnya juga memafkan HR. Sikap ‘low profile’ yg diambil Pak W dan Hanura, hemat saya, memang dipilih karena pertimbangan kepentingan politik jangka pendek, karena mungkin “kesabaran dan pemaafan” dianggap akan menaikkan citra positif bagi keduanya. Namun sikap ini bukan tanpa resiko yang signifikan bagi kehidupan politik demokratis serta penegakan hukum di dalam jangka panjang.

Setidaknya, pihak-pihak yang cenderung menggunakan ujaran kebencian dan SARA dalam berpolitik akan merasa terdongkrak (embolden) atau setidaknya punya rujukan bhw praktik itu sah-sah saja. Lebih jauh lagi, aturan main yag tertulis dari para penegak hukum akan semakin dilecehkan karena tidak efektif dilaksanakan. Saya khawatir jika para pihak penegak hukum dan partai-2 melakukan pembiaran seperti itu, maka tudingan bahwa praktik demokrasi di negeri ini mengalami kemerosotan yg serius akan semakin mendapat pembenarannya.

Seorang pemimpin yang berkualitas politisi dan negarawan memang berbeda. Politisi hanya memikirkan lima tahun ke depan, terkait dg popularitas dan elektabilitasnya diri dan partainya dlm Pemilu. Negarawan berfikir jauh kedepan tentang bangsa dan negaranya, apakah akan mengalami kemajuan dan kesejahteraan ataukah sebaliknya. Jika menghadapi maraknya kecenderungan penggunaan ujaran kebencian dan SARA ini ternyata para pemimpin hanya berdiam dan/ atau malah memanfaatkan utk pencitraan politik mereka, maka sudah bisa kita ketahui kualitas mereka. Dan negeri yang diperjuangkan keberadaannya oleh para pendiri negara melalui darah dan airmata ini, pastinya hanya akn mengalami nasib tersia-sia di bawah para pemimpin seperti itu. Na’udzubillah min dzalik!** (ak)

Sumber tulisan : Facebook Muhammad AS Hikam

Sumber foto :jpnn.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed