Dengan mitologi ‘bad news is good news’, media lebih tertarik pada kontroversi atau nilai konfliknya. Media hanya memframing (1) pemecatan Helmy di tengah perubahan yang terjadi sejak dipimpinnya, dan (2) mempertentangkan komentar anggota Dewas di DPR (siaran Liga Inggirs tidak sesuai kepribadian bangsa, buaya Indonesia lebih baik dari buaya luar). Tidak signifikan, apalagi tanpa konteks..
Media sama sekali tak menyentuh apa itu TVRI, posisi dan perannya sebagaimana amanat Undang-undang. Anggota DPR yang kemarin mengundang Dewas pun, saya kira sebagian besar juga nggak ngerti apa itu TVRI. Apalagi ketika pembacaan mengenai TVRI selalu dikaitkan dengan televisi swasta, manajemen sukses (secara komersial), dan minimnya perkakas. Jika pun menyinggung undang-undang atau peraturan pemerintah, hanya prosedur rekrutmen dan pemecatan direktur. Aneh, lembaga politik seperti Parlemen sama sekali tak sensitif persoalan yang lebih ideologis.
Mempertentangkan atau membandingkan TVRI dengan TV Swasta, adalah kekonyolan terbesar. Entitas atau genealogi keduanya berbeda. Sama-sama binatang, tetapi kampret dan cebong tentu berbeda.
Kalau mau disamakan, kenapa tak mempertanyakan apa yang terjadi sekarang? Pada era sekarang ini, bagaimana nasib dan masa depan media televisi konvensional, baik itu bernama TVRI atau TV Swasta? Kedua-duanya sama jeblok, di tengah berkembangnya teknologi media dengan banyak platform digital, yang lebih mudah diakses dari segi tempat, waktu, dan ekonomi. Ketika Helmy merangsek masuk ke keunggulan kompetitif, tapi pada media yang sama, itu kesalahan kedua. Ia ternyata hanya sekelas programmer, belum broadcaster. Perlu mendengar pidato Bung Karno waktu mendirikan TVRI di 1962!
Padal, sebenarnya, dengan perkembangan teknologi digital, TVRI mempunyai keunggulan komparatif. Ia memiliki modal sosial yang besar. Ikatannya lebih kuat dibanding masyarakat dengan TV Swasta. Kalau ngerti dan menghayati posisi dan perannya, sebagai media publik milik Negara, kesalahan pandang itu tak perlu terjadi. Kita tak punya official media sekelas NHK, TF-1, BBC, dan sejenis-jenis itu. Bukan membandingkan TVRI dengan RCTI, SCTV, Indosiar, dsb, dsb.
Tapi bagaimana cara memanfaatkan keunggulan komparatif dengan modal sosial TVRI yang kuat? Di jaman digital dengan banyak platform TV? Sudah masuk ke masalah teknis, saya berhenti di sini. Nunggu pemerintah berani menegakkan UU Penyiaran 2002 atau tidak!
(Sumber: Facebook Sunardian W)
Comment