by

Trims Bung Ojol

“Sudah.”
 
“Sudah punya anak?”
 
“Sudah.”
 
“Nah, kuenya nanti dibawa pulang ke rumah untuk istri dan anak. Dua stoples silakan dipilih.”
 
Ia masih tampak linglung. Lalu menoleh ke Nita yang sibuk membungkus parcel. 
 
“Yang mana yang enak?” tanyanya dengan lugu.
 
Nita memandang saya lalu kami pecah tertawa. Saya lantas bergerak, mengangsurkan sultana dan menjelaskan bahwa produk tersebut adalah produk terlaris di toko kami. Kemudian saya menanyakan apa yang menjadi seleranya. Coklat atau keju. Dijawab coklat. 
 
“Jadi saya tidak usah ke sana? Ke tempat yang pesan kue ini?”
 
“Ya ndak usaahh… Kuenya Bapak langsung bawa pulang. Ini saya bayar ongkirnya. Nanti saya yang berurusan dengan pelanggannya.”
 
Setelahnya ia pamit sambil tak lupa berterima kasih. Setelah keluar dari pintu, ia tak langsung pergi. Entah berapa lama ia duduk berjongkok di depan pintu masuk membelakangi kami. 
 
Lama. Sampai saya berbisik ke Nita, jangan-jangan si Bapak menangis di sana. Saya memotret sembari mengingat sesuatu, dulu ketika saya sangat susah dan miskin, saya pun pernah sulit sekali mempercayai keajaiban itu benar ada. Sulit bermimpi. Sulit menerima kenyataan bahwa di kerasnya kehidupan, sebenarnya hidup orang-orang baik yang ramah dan mau berbagi tanpa butuh alasan dan tak takut merasa rugi.
 
***
 
Saat mengambil kantongan berisi kue, si Bapak sempat berkata dengan wajah yang masih linglung; 
 
“Selama saya bekerja, baru sekali ini saya dapat hadiah seperti ini.”
 
Sumber : Status Facebook Mimi Hilzah

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed