by

Toleran Pada Intoleransi

Pura-pura amnesia atau gemblung. Kita membiarkan semua hal terjadi. Sampai kita tahu persis, agama sama sekali tak mencerminkan toleransi, kasih-sayang, persaudaraan, kemanusiaan. Bahkan para pemeluk dan ahlinya pun, bisa ngomong jihit-bingit, nyebar hoax, ujaran kebencian, dan fitnah.

Di Sekolah Negeri, yang memakai biaya negara, bisa-bisanya mewajibkan murid barunya pakai seragam muslim-muslimah. Kata wajib konon diganti ‘dianjurkan’, dan itu dibenarkan Lembaga Ombudsman setempat. Katanya tak menyalahi, karena ‘menganjurkan’ berarti tidak menekan. Padahal maknanya sama saja. Hal itu tetap saja menunjukkan diskriminasi. 

Bagi psikologi anak-anak, hal tersebut merupakan bentuk penjajahan. Bukan hanya sekedar penjajahan atas kehendak tubuh untuk mengenakan sesuatu. Yang pasti akan mengakibatkan rentetan masalah di belakangnya. 

Pertanyaan untuk Jokowi, kini dan kelak, di mana negara hadir? Kita sudah lama disuruh sabar, agar toleran pada intoleransi. Tapi yang kita ‘tolerani’ tidak tahu diri. Makin ngelunjak. Seolah kalau sudah pakai dalil agama, benar adanya. Agama kok menjajah kemanusiaan. Agama apa itu!

Rini Widyastuti, seorang nenek beragama Islam, yang telah menjadikan isu klasik ini viral di medsos, ketika hendak menyekolahkan cucunya di salah satu SD Negeri di Gunung Kidul, DIY. Segala isu intoleransi yang terjadi di DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta), biasanya langsung menyebar secara nasional. 

Untuk itu, terimakasih padanya, dan berharap sebagaimana William Faulkner (1897 – 1962) meyakinkan kita; Never be afraid to raise your voice for honesty and truth and compassion against injustice and lying and greed. Jangan pernah takut untuk mengangkat suaramu, untuk kejujuran dan kebenaran, serta kasih sayang melawan ketidakadilan, kebohongan dan keserakahan.

Demokrasi itu partisipasi rakyat. Rakyat sebagai subjek pelaku. Bukan lagi objek para elite, para oligarkis partai atau pun agama. Menjadikan kita semakin buta dalam kebutaan, itu jauh lebih berbahaya. Sebagaimana bait-bait puisi Pablo Neruda, peraih Nobel Sastra 1971, tentang kebebasan, keberanian, toleransi;

Malam ini aku bisa menuliskan bait-bait paling sedih. 
Menyadari bahwa aku tak lagi memlikinya. 
Merasakan bahwa aku telah kehilangannya. 
Mendengarkan suara malam yang tak bertepi, 
tapi makin tak bertepi tanpanya.

 

(Sumber: Facebook Sunardian Wirodono)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed