by

Tito Karnavian, Pelajaran Penting dan 7 Strategi Politik

Oleh : Ninoy N Karundeng

Determinasi. Kemajuan. Keteguhan. Independensi. Kekuatan. Pelajaran politik. Itulah pembelajaran terkait dengan penunjukan Jenderal Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri. Paparan tentang dua Budi benar-benar menjadi petunjuk bagi pertunjukan tentang pilihan independen Presiden Jokowi tentang calon Kapolri. Jenderal Polisi Tito Karnavian tentu menimbulkan kontroversi di dalam dan luar korps kepolisian. Pun terpilihnya Tito Karnavian juga merupakan strategi Presiden Jokowi pasca konsolidasi politik yang memakan waktu 1.5 tahun.

Mari kita telaah di balik penunjukan Jenderal Tito Karnavian sebagai calon Kapolri dengan penuh kegembiraan suka-cita senang bahagia riang ria menari menyanyi dansa koprol salto guling-guling sambil menertawai betapa para politikus dan pengamat kecele karena Presiden Jokowi justru menunjukkan sikap lebih menghargai bangsa, negara, kepolisian dibandingkan dengan mengikuti kemauan para politikus dan pengamat yang hanya meraba-raba tanpa data A 1 yang dibutuhkan untuk menulis opini – bukan opini saling sahut aksi-reaksi dari media online – yang hasilnya jauh dari kenyataan.

Tito Karnavian sebagai calon Kapolri yang bahkan dipilih di luar sodoran Kompolnas – yang di dalamnya ada unsur kekuatan pendukung Presiden Jokowi. Justru opsi-opsi yang dipaparkan tentang Dua Budi tiga hari sebelum keputusan diambil menjungkirbalikkan semua amatan, analisis, dan harapan. Keputusan Presiden Jokowi jauh lebih komprehensif dengan berbagai pertimbangan yang sangat kekinian ditinjau dari berbagai ranah politik, Polri, kepentingan negara, dan 7 strategi jangka menengah Presiden Jokowi.

Pertama, pelajaran politik bagi para partai politik dan PDIP. Penunjukan calon Kapolri Jenderal Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri tidak memberi ruang bagi DPR untuk bermanuver. Peninggalan Presiden Jokowi atas kemauan PDIP dengan corong Masinton Pasaribu dan kalangan Ring 1 menghentak PDIP dan membungkam mereka.

 Paparan tentang pertimbangan politik tidak menjadi relevan ketika Presiden Jokowi sudah berada dalam kondisi politik stabil. Masuknya Golkar mendukung secara resmi pemerintahan Presiden Jokowi – meskipun sedikit merugikan bagi PDIP – membuat perimbangan kekuatan timpang di DPR tinggal partai agama PKS, Demokrat dan Gerindra. Dukungan kepada Presiden Jokowi menjadi solid.

Golkar yang sering plin-plan dan merusak irama pemerintahan ketika berkuasa seperti kasus 14 tahun dari zaman reformasi, Presiden Megawati, sampai rezim korup SBY, dikekang dan diikat dengan penunjukan Setya Novanto Papa Minta Saham. Political deal and arrangements yang membuat Golkar tidak berkutik.

Dukungan Golkar tentu membuat PDIP pun tidak terlalu dirugikan karena agenda PDIP tetap dijaga oleh Presiden Jokowi – sebagai kader PDIP bukan Presiden bagi PDIP. Kestabilan politik dan agenda kerja yang tercapai dipastikan menguntungkan bagi PDIP sebagai ruling party sesungguhnya.

Maka PDIP dengan Ibu Megawati tentu lebih mendukung Presiden Jokowi – yang memiliki kekuasaan nyata sebagai Presiden Republik Indonesia – dibandingkan dengan mendengarkan belitan bisikan Ring 1 Megawati. Para anggota Ring 1 Megawati belum tentu memiliki kekuatan selain teriakan tak karuan, seperti omongan Masinton Pasaribu yang tak memiliki dasar selain meraba-raba keinginan Ibu Megawati.

Oleh karena itu, penunjukan Jenderal Tito Karnavian, sebagai pertunjukan independensi, determinasi, keteguhan, keyakinan, fleksibilitas yang menjadi pelajaran politik bagi banyak partai politik dan politikus.

Kedua, pelajaran tentang kekuatan Presiden Jokowi. Awalnya diragukan kemampuan menggalang kekuatan politik – presiden RI kedua tersederhana setelah Presiden Gus Dur yang merupakan mentor Presiden Jokowi – Presiden Jokowi dengan cerdas menghancurkan para lawan politik yang tergabung dalam strategi hebat: UU MD3 yang digunakan untuk menjegal Presiden Jokowi di parlemen.

Psedo-demokrasi ala DPR yang ugal-ugalan secara cerdas diobrak-abrik dengan trisula kekuatan (1) membangun soliditas TNI-Polri, BIN, Netizen, media sosial, dan rakyat, (2) menghancurkan Koalisi Prabowo dan membubarkannya, (3) menarik parpol untuk tunduk pada kemauan the Operators dan the Supreme Operator sendiri sebagai garda kekuatan politik, hukum, dan komuniasi yang solid dan menghentak, (4) konsolidasi dengan orang-orang kuat psedo-power seperti Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie. Hasilnya Golkar dan PPP serta PAN beralih dukungan ke Koalisi Jokowi. Pun UU MD3 kehilangan relevansinya.

 Dengan mengobrak-abrik Koalisi Prabowo dan menghancurkannya, maka fungsi impian SBY dengan posisi partai banci atau istilah SBY penyeimbang, Demokrat dan SBY kehilangan fungsinya sama sekali. SBY semakin menjadi mainan yang berteriak-teriak dengan Youtube dan Facebook seolah-olah masih berkuasa seperti dalam 10 tahun penganggurannya. Pun sejak awal SBY tak perlu ditanggapi apapun omongannya – baik yang mendukung maupun yang menentang kebijakan Presiden Jokowi: biarkan saja berlalu tak bermakna.

Rangkaian (1) kasus Budi Gunawan, (2) penunjukan Badrodin Haiti, (3) penunjukan Budi Gunawan sebagai Wakil Kapolri, (4) political and personal deal rahasia dengan Prabowo Subianto, kasus KPK, dan ketidakmauan mendengarkan dan abai terhadap Ring 1, (5) penolakan reshuffle kabinet oleh Presiden Jokowi karena desakan tak masuk akal Ring 1 Presiden Megawati dan para partai, telah membuat Presiden Jokowi semakin jelas arahnya: mengikuti arus politik kekuatan nyata yang didukung oleh the Operators dan the Supreme Operator sendiri.

Ketiga, pelajaran tentang reformasi di tubuh Polri dan TNI. Penunjukan Jenderal Tito sebagai calon Kapolri diyakini sebagai bagian dari reformasi di tubuh Polri yang memerlukan darah segar. Jenderal Tito adalah darah segar Polri. Pun penunjukan Tito adalah jalan tengah seperti yang dipaparkan dalam artikel Dua Budi – maka usulan Kompolnas pun disingkirkan karena nilai kebutuhan Polri.

Penunjukan Tito pun membuat kenyamanan bagi Budi Gunawan dan Budi Waseso yang beruntung bisa mendukung Tito. Masa jabatan yang masih panjang sampai 2022 bisa memberikan reformasi di tubuh Polri berjalan hebat. Jenderal Tito pun dipastikan mendapatkan dukungan karena sikap, perilaku, perbuatan Jenderal Tito yang lurus, cerdas, dan menjanjikan.

Jenderal Tito adalah jawaban bagi Budi Gunawan dan Budi Waseso yang menginginkan perubahan di tubuh Polri. BBN dan pemberantasan terorisme dan kalangan radikal kiri dan kanan di bawah Jenderal Tito akan semakin solid.

Selama kepemimpinan Jenderal Sutarman dan Badrodin Haiti organisasi tukang sweeping dan demo seperti HTI dan FPI dibuat tiarap – meskipun parpol seperti Gerindra mendukung FPI di Jakarta misalnya. Maka di bawah Jenderal Tito kondisi yang kondusif tersebut akan dilanjutkan. Tentu hal itu membahagiakan Polri.

Selain itu, sikap santun Tito – yang segera sowan dan menemui senior setelah ditunjuk sebagai calon Kapolri – telah meyakinkan Budi Gunawan, Budi Waseso dan Badrodin Haiti selain Presiden Jokowi sendiri. Bahwa Tito pun mampu mengelola hubungan senior-yunior di dalam tubuh Polri. Pun para perwira tinggi Polri menyadari bahwa penunjukan Tito adalah untuk kepentingan Polri juga, sekaligus reformasi internal akan berlangsung lebih strategis dengan masa jabatan Tito yang panjang sampai 2022.

Keempat, pelajaran tentang strategi menyatukan pemberantasan korupsi antara Polri dan KPK serta Kejaksaan Agung. Strategi politik-hukum dan hukum-politik Presiden Jokowi akan diperkuat dengan melibatkan Polri secara lebih luas dibandingkan dan disandingkan dengan KPK.

Kehadiran lebih intens Polri untuk memberantas korupsi secara strategis diarahkan juga untuk memerkuat Presiden Jokowi dan menjalankan agenda pembangunan Presiden Jokowi. Masuknya Polri lebih intens menjaga persiapan pemilu legislatif dan Pilpres 2019 juga menguntungkan Presiden Jokowi. Strategi mengikat Golkar dengan Papa Minta Saham dan Setya Novanto dan Ical diyakini akan membuat Golkar tak akan bisa mengajukan calon presiden di 2019 selain mendukung Presiden Jokowi.

Caranya, Presiden Jokowi akan memberikan kursi menteri kepada Golkar, PPP, dan PAN dengan mengurangi menteri dari profesional paling lambat pada 2017 – dengan perhitungan sekitar 2 tahun berkuasa sebagai menteri. Posisi menteri kunci sebagian tetap dipegang oleh PDIP dan genggaman pendukung the Operators.

Maka Polri, TNI, BIN dan lembaga negara penting pun dikuatkan. Tentang TNI pun, penunjukan Jenderal Tito, memberikan signal bahwa urut kacang panglima TNI bukanlah hal yang tabu dan haram – sama halnya Presiden Jokowi menunjuk Jenderal Tito.

Penunjukan Jenderal Tito pun menyiratkan harapan pemberantasan korupsi yang didukung oleh BIN, TNI – lewat TNI AL dengan patroli dan Satgas 115 illegal Fishing yang berhasil, dan Polri. KPK pun akan bersinergi dengan Kejaksaan Agung, Polri dalam pemberantasan korupsi.

Kelima, pelajaran penguatan dan komitmen pemberantasan teroris. Dengan UU anti teroris yang baru, maka gerakan separatism, radikalisme, anti Pancasila, dan teroris akan dibantai in style. Jenderal Tito memiiki pengalaman spektakuler dalam pemberantasan teroris. Tegas. Jenderal Tito pun adalah orang yang berani memenjarakan Abu Bakar Ba’asyir, membunuh banyak teroris seperti teroris asal Malaysia Dr. Azahari, Nurdin Mohamad Top tanpa ampun. Para teroris dan peta jaringan teroris dan embrio teroris telah dipegang secara jelas.

Pun pencegahan aksi radikalisme para teroris akan dilakukan dengan melakukan pemantauan gerakan terorisme di para kantong dan jaringan teroris yang berpotensi namun sudah dipantau dan teridentifikasi dan potensi jaringa baru pun diwaspadai.

Pun perkembangan perekrutan jaringan teroris yang dilakukan oleh jaringan yang itu-itu dan orang-orang itu-itu saja dan keturunannya seperti sekolah, pesantren tertentu seperti Ngruki dan 49 pesantren pengajar radikalisme, kegiatan kampus, dan organisasi pun perlu terus dipantau oleh TNI, Polri, dan BIN.

Selain itu, organisasi kemasyarakatan pun dibiarkan dan terus dipantau secara ketat. FPI dan HTI pun dibiarkan status quo sebagai alat kontrol dan wadah bagi para orang yang memiliki kecenderungan unik soal keberagaman.

Dengan adanya wadah itu maka akan lebih mudah memantau dan menindak dengan tegas jika bertindak di luar aturan bangsa dan negara. Dengan demikian, penunjukan Tito Karnavian sebagai calon Kapolri oleh Presiden Jokowi menunjukkan (1) keberanian Presiden Jokowi keluar dari pengaruh dan tekanan DPR, para partai, dan bahkan PDIP, (2) independensi dan kemandirian Presiden Jokowi dalam pengambulan keputusan, (3) kekuatan solid Presiden Jokowi yang didukung oleh TNI, Polri, BIN, (4) dukungan rakyat serta netizen dan pengaruh kekuatan siluman the Operators dan the Supreme Operator sendiri, (5) keinginan membangun reformasi Polri demi kemajuan bangsa dan negara, (6) menguatkan pemberantasan korupsi dengan sinergi Kejaksaan Agung, Polri dan KPK, dan (7) strategi membangun dukungan sebagai calon presiden 2019.

Jadi, penunjukan Tito Karnavian sebagai calon Kapolri memberikan 5 pelajaran yakni (1) pelajaran politik bagi politikus, para partai dan PDIP, (2) pelajaran penggalangan kekuatan oleh Presiden Jokowi dengan dukungan the Operators dan the Supreme Operator, (3) pelajaran reformasi di tubuh Polri yang berkelanjutan dan TNI, (4) pelajaran strategi menyatukan sinergi pemberantasan korupsi KPK, Polri dan Kejagung, dan (5) pelajaran strategi pemberantasan terorisme karena catatan hebat Jenderal Tito dalam pemberantasan terorisme.

Selain 5 pelajaran itu, tentu di dalamnya menunjukkan bahwa Presiden Jokowi memiliki 7 strategi yang brilian di atas – salah satu implementasinya adalah dengan penunjukan Jenderal Tito – yang membungkam pengamat, pemerhati, politikus, para partai dan media sosial. A silent and brilliant show off of power by President Jokowi. Demikian Ki Sabdopanditoratu. Salam bahagia ala saya.** (ak)

Sumber : kompasiana.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed