by

Timses Jokowi Harus Belajar dari Ridwan Kamil

Di era medsos saat ini, penggunaan buzzer atau pendengung dunia maya dalam kampanye politik memang sangat umum, dan tidak akan mengejutkan apabila Kang Emil menggunakan buzzer yang agresif mengingat popularitasnya di dunia maya. Tetapi hal itu tidak dilakukan timnya. Tim Kang Emil sadar bahwa buzzer yang agresif hanya akan menjadi kontraproduktif, seperti yang sudah terjadi kepada Ahok-Djarot di pilgub DKI Jakarta. Salah satu faktor yang membuat orang enggan memilih Ahok-Djarot pada masa itu adalah buzzer yang terlalu kasar dan agresif dan gagal merebut hati swing voter, serta hanya mampu memperkuat dukungan internal tanpa menambah pendukung baru.

Bahkan ketika pihak Kang Emil diterpa berbagai fitnah seperti isu Syiah, simpatisan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender), dan anti-Islam yang didengungkan kubu lawan, tim online Kang Emil hanya merespons dengan klarifikasi singkat tanpa agresivitas dan reaksi berlebih. Ini jelas berbeda dengan tim online Ahok yang cenderung reaktif dalam menerpa isu-isu yang menyerang pihak mereka, termasuk isu SARA. Dengan strategi ‘aku rapopo’ Kang Emil, yang sedikit banyak mengingatkan akan strategi kampanye Jokowi-Ahok di pilgub DKI 2012 dan Jokowi-JK di pemilihan presiden 2014, publik—terutama swing voters—akan mudah bersimpati kepada pihaknya dan fokus tidak terhadap fitnah-fitnah yang menyerang, melainkan terhadap prestasi dan program kerja yang ditawarkan.

So, tidak ada salahnya strategi “soft campaign” ala Kang Emil ditiru oleh Erick Thohir dkk di Tim Kampanye Nasional – Koalisi Indonesia Kerja (TKN – KIK), bukan ?

Salam Satu Indonesia,
Mentari Raissa Sandiastri *)
21092018

*) Mentari adalah anak saya
#JokowiLagi
#JokowiSATUperiodeLagi

 

Sumber : facebook Rudi S Kamri

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed