by

Tidak Mau Berjilbab

Aku ketawa aja setiap dia nanya gitu. Jadi ingat teman2 wanitaku dulu SMP dan SMA tahun 80-90an tidak ada satupun yang pake jilbab. Mereka teman bermain yang asyik. 

Sekarang rata-rata sudah pada berjilbab, karena udah pada ibu-ibu. Ada yang masih asyik, ada yang udah agak ekstrim2 gitu.. 

Asyiknya dulu itu, ga kelihatan mana teman yang muslim, mana yang Hindu, mana yang Kristen. Semua sama, seragam putih biru dan putih abu-abu.

Tapi zaman sekarang beda. Mulai kelihatan ada eksklusifitas, terlihat apa agamanya dari pakaiannya. Dari situ mulai terkotak-kotak pergaulannya. Yang non muslim menghindar dan masuk sekolah swasta, karena rasanya itu sudah bukan sekolah negeri, tapi sekolah agama.

Aku tahu putriku resah, karena tekanan sosial. Sindiran bagi anak seusia dia memang beban yang berat. 

Jangankan dia, banyak yang udah ibu-ibu juga pake jilbab karena tekanan sosial, setiap arisan disindiri “semoga dapat hidayah..”. Akhirnya pake, “biar sama..” katanya. Dan, “biar gak ribet harus jawab kalau ditanya-tanya..”

Aku ajak putriku duduk disampingku, lalu kuajak ngobrol.

“Manusia itu harus punya prinsip..” Kataku. “Kamu jangan pernah jadi karakter pengikut, yang hanya jadi buntut. Terombang-ambing karena tidak punya pengetahuan, dan akhirnya ikut-ikutan tanpa dasar. Pakailah jilbab, kalau kamu nyaman. Tidak usah pakai kalau kamu tidak berkenan.. “

“Aku diketawain mereka..” Keluhnya.

Aku senyum. “Mereka ketawa karena kamu berbeda. Ketawalah, karena mereka semua sama..” Putriku dapat poinnya.

Akhirnya dia tidak berjilbab sebagai bagian dari pemberontakan terhadap tekanan sosial. Dia menjadi satu-satunya siswi muslim yang tidak pake jilbab di sekolah. Dimarahin gurunya, dia cuek. Disindir teman2nya, dia mana perduli.

Dan itu berpengaruh besar pada perkembangan karakternya. Dia jadi mandiri, tangguh, dan leader dalam kelompoknya. Orang yang punya prinsip, tidak sekedar ikut arus dan tampil beda.

Dan itu terbawa sampai dia dewasa. Masuk Universitas Negeri terkenal dan sibuk mendaki gunung mencari jati dirinya. Putriku yang dulu manja, terbentuk oleh situasi disekitarnya.

Dan ketika saya membaca berita, seorang bapak bernama Agung Purnomo, orangtua seorang siswi di SMA Negeri Sragen, yang mendatangi sekolah anaknya karena diteror oleh rohis sekolah hanya karena tidak mau berjilbab, saya bertepuk tangan..

Kalau bukan kita sebagai orang tua yang melindungi anak kita dari serangan tekanan sosial seperti itu, siapa lagi yang bisa ? 

Melawanlah. Kita orang tua yang punya hak memasukkan konsep-konsep kehidupan pada anak kita. Bukan rohis. Bukan orang2 yang tidak kita kenal konsep berfikirnya. Jadi seperti apa anak kita kelak, tergantung cara kita mendidiknya..

Seruput kopinya ?

(Sumber: Facebook Denny Siregar)

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed