by

Testimoni Gus Mus tentang Gus Dur

Gus Mus yang nama lengkapnya Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944 adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, dan menjadi Rais Syuriah PBNU periode (2014-2015). Ia juga seorang penyair dan penulis kolom yang sangat dikenal di kalangan sastrawan. Selain sebagai budayawan, dia juga dikenal sebagai penyair.

Testimoni Gus Mus Tentang Gus Dur Almarhum

Sosok di sebelahku ini sejak pertama kali aku mengenalnya (di Kairo Mesir, tahun 1964), sudah menarik hatiku. Sebelumnya, melihat wajahnya saja belum pernah. Pada waktu aku kerumahnya di Jakarta dan bertemu ibundanya, sama sekali tak ada diceritakan tentang dirinya dan keberadaannya di Mesir. Tapi begitu berjumpa, sikapnya seolah-olah dia sudah mengenalku sejak lama. 

Tak ada basa-basi lazimnya orang baru bertemu dan berkenalan. Justru aku yang canggung dengan sikapnya yang tidak umum itu. Dan sudah sejak pertemuan (‘tanpa perkenalan’) itu, dia memanggilku “Mus” dan aku memanggilnya “Mas”. (Baru ketika pulang di tanah air, ketika orang-orang memanggilnya “Gus”, dia pun memanggilku “Gus”, meski aku tetap memanggilnya “Mas”).

Alhamdulillah, di rumah aku punya kakak (Almarhum KH. Cholil Bisri) yang seperti sahabat karib dan di rantau, Allah menganugerahiku sahabat karib yang seperti saudara ini. 

Di dekatnya, aku selalu merasa kecil. Mungkin karena, aku selalu memperhatikan pikiran- pikirannya yang besar. Sering apa yang kupikir besar, dia bisa menjelaskan bahwa itu hanya perkara sepele; meski dia tidak selalu menjelaskan.

Sementara aku masih sibuk memikirkan kuliah dan persiapanku menghadapi ujian, dia sudah memikirkan Indonesia dan bagaimana bisa mempersiapkan khidmah yang optimal bagi negeri yang dicintainya itu. Ketika aku baru memikirkan bagaimana setelah pulang nanti aku membangun rumah tangga, dia sudah memikirkan bagaimana membangun peradaban dunia. 

Baginya dunia ini –termasuk kekuasaan– hanyalah main-main dan senda gurau belaka, seperti difirmankan oleh Tuhannya sendiri. (Q. 6: 32, Q. 47: 46, Q. 57: 20). Baginya, yang terbesar dan terpenting ialah Allah, kemudian hamba-hambaNya Karena itu ungkapannya, “Begitu saja kok repot…” , bagiku, bukan ungkapan m a j a z atau k i n a y a h belaka.

Ya Allah, rahmatilah sdrku Abdurrahman Wahid, dan juga sdrku KH. Cholil Bisri, sebagaimana Engkau merahmati kekasih- kekasihMu. Al-Fãtihah.

Catatan Penulis : 

Demikian testimoni seorang kiai besar untuk kiai yg disebutnya jauh lebih besar lagi. Kebesaran dan kerendahan hati yang perlu kita tiru. Pray termasuk pengagum Gus Mus dan pernah mengkuti tausiyahnya saat beliau menjelaskan kepada santri-santri agar manusia jangan sekali2 sombong, karena manusia itu sangat kecil di jagat raya ini dan hidupnya singkat. 

Tidak perlu kita berusaha untuk mencapai sesuatu dengan pikiran kotor, emosional, serta ambisi tak terkira, serta dengan kesombongannya. Semua perbuatan dan akal buruk suatu saat akan menjerumuskannya. Tidak peduli sebesar dan setinggi apapun status, pangkat dan jabatan seseorang, sekali mata hatinya beku, dia akan terjebak dunia yang tidak bertepi. 

Seseorang yang menghalalkan cara untuk mencapai keinginannya tanpa menghiraukan etika, norma, budaya, tidak tahu bahwa demikian banyak orang yg mencibirnya. Semoga wejangan Semar ini terbaca : “Beja iku biasane kanggo uwong-uwong sing bisa rumangsa, pinter rumangsa. Dudu uwong- uwong sing rumangsa bisa, rumangsa pinter. Aja nyebut kurang yen mung atimu sing kurang padhang”. 

 

(Sumber: Facebook Prayitno Ramelan)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed