by

Teriak Kafir (Kisah Nyata Perlawanan Wanita yang Diteriaki “Kafir”)

Jadi tadi siang saya ke ATM, dan ATM ini terletak di dalam sebuah apotik. Saat saya masuk ke dalam apotik, ada dua bapak2 sedang beli obat. Lalu ada seorang ibu, dan anaknya duduk di kursi tunggu lengkap dengan atribut keagamaan mereka.

Di mesin ATM hanya ada satu bapak saja sedang antri menarik uang, dan saya berdiri tepat di belakang bapak tersebut. Saat saya berdiri, si ibu ini langsung suruh anaknya berdiri juga dan ambil uang buru2. Saya tidak memberikan kesempatan kepada anak perempuannya, yang kurang lebih mungkin duduk di bangku SMP. Saya bilang, “Kamu dari tadi nggak antri, kok giliran orang antri main mau masuk aja narik uang?”

Ibunya teriak, “Iya anak saya duluan! Kita dari tadi di sini!“ Saya bilang ke dia, “Kalau mau narik uang berdiri antri di barisan antrian bukan duduk santai terus seakan ATM milik sendiri main mau narik uang.” Saya tidak memberikan kesempatan pada anaknya, saya tidak mau membiasakan memberikan toleransi pada hal yang salah. Dan tindakan saya dibenarkan oleh dua orang bapak yang sedang beli obat. Mendengar statement kedua bapak tersebut, si ibu ternyata kepanasan terus dia bilang ke anaknya, “Yang waras ngalah aja Dek, udah kamu duduk ntar berdiri terus kurus!”

Saya bilang ke dia, “Yang nggak waras kamu, emang ada saham bapakmu di ATM ini? Maksudmu apa ngomong gitu?” Dia nggak menjawab, dan langsung main keluar ke parkiran.

Selesai saya narik uang, saya dan kedua bapak tersebut keluar. Saat saya keluar, si ibu ini meludah dan ngomong ke saya, “Dasar kafir sejenis Ahok! Kafir jahanam numpang hidup di Indonesia! Najis sama kamu tuh!” Lalu dia mau buru2 berlalu masuk ke dalam lagi. Saya langsung tarik bajunya, dan saya cengkeram kuat2 lalu saya tanya, “Siapa yang kafir? Coba ulang lagi!” Saya mengeluarkan hp saya utk merekam, “Coba sekali lagi diulang! Siapa yang kafir? Siapa yang numpang hidup gratis di Indonesia? Ngomong sekali lagi biar viral, dan sekalian saya antar kamu ke polsek atau polres terdekat!”

Dia kaget, langsung terdiam dan pucat. Kedua bapak tadi bilang ke saya, “Tampar Mbak, injak mulutnya! Dia pikir semua minoritas bisa diinjak apa? Seakan karena sudah berhasil menjarain Ahok, semua bisa diperlakukan semau mereka!” Dan seorang bapak yang mengenakan peci bilang, “Kamu buat malu aja teriak2 kafir! Sudah salah nggak antri malah mau nyerang orang! Tampar aja Mbak.”

Nggak ada satu orang pun yang membela dia, saya malah suruh dia telpon suaminya dan datang ke tempat itu. Kunci motornya saya cabut, dan saya kantongin. Dia makin ketakutan dan gemetar. Bahkan satpam, dan tukang parkir mulai ngumpul dan menyalahkan dia. Anaknya mulai nangis minta tolong dan minta maaf ke saya agar mamanya dilepaskan. Semua yang kumpul menyuruh saya bawa dia ke kantor polisi dan mereka siap jadi saksi. Bayangkan betapa mungkin orang2 itu pun sudah muak menghadapi manusia model ibu ini.

Saya bilang ke dia, sambil menunjukkan KTP dan NPWP saya. Saya bilang, “Ini KTP saya, dan ini NPWP saya dimana saya nggak pernah telat bayar pajak sekali pun tinggal di tanah kelahiran saya ini! Saya nggak lagi numpang tinggal gratis! Saya lahir dan besar di Indonesia. Dan sangat mencintai Negara ini! Kamulah kadal gurun yang numpang tinggal di negara ini, dengan tujuan merusak tenun toleransi di negara ini! Sekarang tiarap, dan jilat ludah yang tadi kamu buang seenakmu. Dan setelah itu kita ke polisi, saya akan ajarkan kamu cara antri dan berkata2 yang baik nanti dihadapan polisi!”

Si ibu yang bacotnya kurang ajar ini ternyata nyalinya ciut. Dia mulai menangis dan memohon2 ke saya untuk memaafkannya dan mengaku khilaf. Anaknya sampai pegang2 kaki saya minta maaf, dan mengakui mamanya salah. Sementara orang sekitar tetap teriak, ada yang suruh saya nampar, tabok, bawa ke polisi, dll. Kak Mindo Carlo Sopar Pasaribu aja yang saya ceritain gemes, dia bilang harusnya tampar sekali biar buat pelajaran. Di saat itu juga datang kepala security setempat, beliau menegur si ibu keras untuk kesalahannya dan menanyakan ke saya, “Kakak kau gimana? Mau ke polisi aja? Kalo ya, kita siapkan mobil antar beserta para saksi, Kak.”

Mendengar penjelasan itu, si ibu dan anak makin jejeritan ketakutan dan minta maaf. Saya akhirnya memutuskan memaafkan karena kasihan sama anaknya, dan saya kasih briefing tegas banget ke dia untuk sikap dan kata2nya. Saya bilang ke anaknya, “Kalau ibumu nggak bisa mendidik kamu, kamu yang mendidik dia bagaimana cara bicara yang sopan dan antri yang benar. Tunjukkan bahwa seragam sekolah yang kamu pakai nggak sia2, setidaknya bisa mengedukasi ibu yang bodoh ini ya Dek!”

Si anak memeluk saya sambil menangis kencang, dan berterima kasih sudah memaafkan ibunya. Jujur saya kasihan sama anaknya, bayangkan kalau ada 10 ibu kayak begini dengan masing2 punya 2 anak, kemungkinan besar menciptakan 20 anak serupa yang akhirnya jadi racun di masyarakat. Miris dan menyedihkan sekali. Di tengah lagi sakit, ketemu ibu model begini asli berasa makin sesak nafas saya.

Saya putar otak dari tadi siang, berpikir keras bagaimana caranya menolong generasi muda bangsa ini dari para racun seperti ibu tadi. Begitu mudah teriak kafir, dan meludahi orang. Merasa semua minoritas bisa dikriminalisasi semau mereka. Saya berharap bangsa ini benar2 mengalami revolusi mental, dan hal2 seperti ini bisa jadi perhatian khusus untuk dibenahi oleh kita semua.

Photo diambil dari internet untuk ilustrasi.

 

(Sumber: Facebook Kennedy Jennifer Dhillon)

*Foto hanya ilustrasi

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed