by

Tentang Shalat Berjamaah

Inti dari uraian (syarh) para ahli hadits di atas adalah:

(1) Shaff terbaik bagi laki-laki adalah yang terdepan karena mereka lebih dekat kepada imam, lebih mendengarkan bacaan imam, dan lebih jauh dari barisan perempuan. Adapun shaff terburuk bagi laki-laki adalah yang berada paling belakang karena mereka lebih dekat kepada jamaah perempuan dan lebih jauh dari imam.
Ketentuan shaff bagi laki-laki ini berlaku secara umum, mutlak, dan selamanya.

(2) Shaff bagi perempuan tidaklah berlaku secara umum dan mutlak, tetapi ada perincian sebagai berikut.

(a) Apabila shaff perempuan shalat bersama dengan jamaah laki-laki maka seburuk-seburuk shaff adalah yang terdepan dan sebaik-baiknya adalah yang paling belakang. Maksud seperti ini inilah yang dikehendaki oleh hadits Nabi di atas.

(b) Apabila perempuan-perempuan itu shalat tidak bersamaan dengan laki-laki maka shaff terbaik bagi mereka adalah sama seperti poin (1) di atas, yakni sebaik-baiknya shaff adalah yang terdepan dan seburuk-buruknya adalah yang paling belakang.

(3) Apa yang dimaksud dengan shaff yang terburuk?

Maksud dari shaff terburuk adalah shaff yang pahalanya dan keutamaannya paling sedikit daripada shaf-shaff lainnya.

(4) Mengapa shaff perempuan paling belakang (yang berjamaah bersama shaff laki-laki) itu lebih utama?

Karena, posisi mereka jauh dari barisan laki-laki sehingga mereka tidak akan melihat secara langsung gerak-gerik laki-laki di depannya yang berpotensi mengusik (kekhusyukan) hatinya.

Sebaliknya, apabila perempuan berdiri di shaff terdepan (yang di depannya ada barisan laki-laki) maka posisi ini bisa membuat mereka (laki-laki dan perempuan) bercampur/berbaur (ikhtilath). Mata dan hati para wanita itu pun bisa terusik oleh gerak-gerik jamaah laki-laki di depannya.

(5) Hadits ini bertutur tentang pahala dan keutamaan barisan (shaff), bukan tentang pahala dan keutamaan shalat berjamaah. Ini harus kita pahami! Pasalnya, pahala shaff merupakan esensi tersendiri, dan pahala berjamaah juga merupakan hal tersendiri. Dengan demikian, dalam konteks shalat berjamaah, di barisan mana pun perempuan itu berada mereka tetap layak mendapatkan pahala besar atas keberjamaahannya. Dan, aka nada hitungan pahala tersendiri pula bagi mereka yang menempati shaff yang terbaik.

(6) Nah, bagaimana jika di depan shaff perempuan itu terdapat satir/pembatas yang menutupi dan memisahkan antara mereka dan shaff laki-laki?

Jika memang demikian, maka sebaik-baik shaff bagi perempuan adalah YANG TERDEPAN dan seburuk-buruknya adalah YANG PALING BELAKANG karena dengan adanya satir ini mereka tidak dikhawatirkan lagi akan bercampur-baur (ikhtilath) dengan jamaah laki-laki. Juga tidak dikhawatirkan lagi akan terusik oleh jamaah laki-laki di shaff depannya. Kan sudah ada satir/pembatas yang menutupi mereka?!

Keterangan ini diungkap oleh Abul Hasan al-Hanafi dalam Hasyiyah as-Sanadi ‘ala Ibni Majah sebagai berikut:

قوله ( خير صفوف النساء ) أي أكثرها ثوابا (وشرها ) أي أقلها ثوابا وفي الزوائد وجاء له بالعكس وذلك لأن مقاربة أنفاس الرجال للنساء يخاف منها أن تشوش المرأة على الرجال والرجل على المرأة ثم هذا التفصيل في صفوف الرجال على إطلاقه وفي صفوف النساء عند الاختلاط بالرجال كذا قيل ويمكن حمله على إطلاقه لمراعاة الستر فتأمل.

Merapatkan dan mengisi penuh shaff didepan itu sangat dianjurkan, Rasulullah Saw bersabda:

إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ الصُّفُوْفَ وَمَنْ سَدَّ فُرْجَةً رَفَعَهُ اللهُ بِهَا دَرَجَةً

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya selalu mendoakan orang-orang yang menyambung shaff-shaff dalam shalat. Siapa saja yang mengisi bagian shaff yang lowong, akan diangkat derajatnya oleh Allah satu tingkat.” (HR. Ibnu Majah no. 995; shahih lighairihi).

Dalam al-Majmu’ 4/297 ada diterangkan begini:

اما أحكام الْفَصْلِ فَقَدْ سَبَقَ مَقْصُودُهَا فِي أَوَائِلِ الْبَابِ وَحَاصِلُهُ أَنَّ الْمَوَاقِفَ الْمَذْكُورَةَ كُلَّهَا عَلَى الِاسْتِحْبَابِ فَإِنْ خَالَفُوهَا كُرِهَ وَصَحَّتْ الصَّلَاةُ لِمَا ذَكَرَهُ المصنف وكذا لو صلي الامام اعلا مِنْ الْمَأْمُومِ وَعَكْسَهُ لِغَيْرِ حَاجَةٍ وَكَذَا إذَا تَقَدَّمَتْ الْمَرْأَةُ عَلَى صُفُوفِ الرِّجَالِ بِحَيْثُ لَمْ تَتَقَدَّمْ عَلَى الْإِمَامِ أَوْ وَقَفَتْ بِجَنْبِ الْإِمَامِ أَوْ بِجَنْبِ مَأْمُومٍ صَحَّتْ صَلَاتُهَا وَصَلَاةُ الرِّجَالِ بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا وَكَذَا لَوْ صَلَّى مُنْفَرِدًا خَلْفَ الصَّفِّ مَعَ تَمَكُّنِهِ مِنْ الصَّفِّ كُرِهَ
وَصَحَّتْ صَلَاتُهُ.
Seterusnya pada halaman 299

(فَرْعٌ)
صَلَاةُ الْمَرْأَةِ قُدَّامَ رَجُلٍ وَبِجَنْبِهِ مَكْرُوهَةٌ وَيَصِحُّ صَلَاتُهَا وَصَلَاةُ الْمَأْمُومِينَ الَّذِينَ تَقَدَّمَتْ عَلَيْهِمْ أَوْ حَاذَتْهُمْ عِنْدَنَا وَعِنْدَ الْجُمْهُورِ
* وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ هِيَ بَاطِلَةٌ وَقَدْ سَبَقَتْ الْمَسْأَلَةُ مَبْسُوطَةً فِي آخر باب استقبال القبلة * قال المصنف رحمه الله
* (فَإِنْ تَقَدَّمَ الْمَأْمُومُ عَلَى الْإِمَامِ فَفِيهِ قَوْلَانِ: قال في القديم لَا تَبْطُلُ صَلَاتُهُ كَمَا لَوْ وَقَفَ خَلْفَ الْإِمَامِ وَحْدَهُ: وَقَالَ فِي الْجَدِيدِ تَبْطُلُ لِأَنَّهُ وَقَفَ فِي مَوْضِعٍ لَيْسَ مَوْقِفَ مُؤْتَمٍّ بِحَالٍ فاشبه إذا وقف في موضع نجس).

Jadi, jika merujuk pada pendapat Imam Nawawi dalam kitab Al-majmu’, maka praktek shalat digambar ini adalah sah tapi makruh. Terkecuali menurut madzhab Hanafi batal tapi dengan syarat-syarat tertentu. In Syaa Allah akan saya tulis di post berikutnya.

Semoga bermanfaat.

Sumber : Status Facebook Rijalul Wathan Al-Madury

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed