by

Tentang Jilbab

Andai tidak pura2 lupa, pastinya ingat. Kapan istilah syar’i menyeruak di sini. Kemarin sore. Para Wali sejak awal nggak kampanye syar’inya baju karena itu bukan prinsip. Nggak penting, bukan syarat sahnya Islam. Yang tidak berjilbab sekarang sering dianggap non-muslim, minimal katanya nir-hidayah. Etika pergaulan jadi sirna, karena ada yang merasa lebih sempurna. Aurat adalah produk fikih dan soal budaya, hasil ijtihad manusia. Orang2 sekarang pada ngotot jilbab adalah perintah langsung dari Allah, seolah Ulama dahulu mengabaikan perintahNya. Ini pangkal masalahnya. Nggak bisa memilah teks dan konteks, tapi merasa asisten Tuhan soal pakaian.
Karena dahulu para Ulama bersikap arif dan bijaksana, akomodatif pada kearifan lokal dan khazanah budaya, inilah faktor Islam di negeri ini diterima. Bayangkan jika sejak semula para dai berkata: “Camkan! Syarat wanita muslimah adalah ketertutupan”. Mungkin akan lain ceritanya. Siapa yang tertarik jika hal lumrah malah dipersusah. Sekarang dengan bangganya jemaah hijrah bilang dahulu wajar saja begitu, kini sudah saatnya kita kaffah. Ngarang! Jadi orang asing di negeri sendiri itu maksudnya kaffah? Banyak yang mulai tersadar tak mau larut menanggung itu semua. Demi apa coba…
Penelusuran Gus Nadirsyah Hosen misalnya, menemukan bahwa banyak hadits ancaman neraka dan rambut wanita, itu PALSU belaka. Alias mengada-ada, dibuat untuk menakut-nakuti dan propaganda. Menggemaskan sekali ya. Wanita dianggap apa? Pengajian dengan spirit IM dan Wahabi biasanya penuh muatan ini. Bagi mereka perjuangan politik antara lain dengan mengikat identitas perempuan. Sedapat mungkin ditundukkan sebagai entitas rumahan. Pakaian wajib dibakukan, tak peduli kata kultur lagi. Doktrin ini terus merembes ke sekolah-sekolah dan ke rumah-rumah. Nyaris tak ada resistensinya. Fenomena sekarang inilah jadinya…
Ulama di seluruh dunia mengecam paham Wahabi yang anti budaya dan gencar gerakannya. Jika ingin tahu kapan kita mulai terpapar aliran ini, ingat saja kapan para orang tua kita mulai tak nyaman disasak dan dicepol rambutnya lagi. Seni itu semakin pudar dan hilang karena jadi terlarang. Lalu ramai cap bid’ah dan syirik di sana sini. Mulai marak yang mengharamkan hal-hal mubah, memperumit yang mudah. Bercampur sentimen pada pemerintah, dan banyak tahayulnya. Terhadap kain kebaya, hilang penghargaan, tak ada lagi minat. Bahkan mengenye seolah ia pakaian bangsa durjana Baju tradisi orang tua sendiri dianggap tidak manfaat, apa ndak kuwalat. Padahal di sana tersimpan nila-nilai kepribadian dan filsafat.
Sejatinya agama hadir ingin memerdekakan manusia. Jilbab di Islam pernah jadi simbol pembeda kelas sosial di era perbudakan. Semestinya jangan terpaku, sebab praktik jahiliyah itu sudah berlalu. Semua orang kini merdeka, mengapa perempuan malah balik terpenjara. Saatnya menanamkan prinsip bahwa takwa bukan karena bajunya. Fikih aurat 1000 tahun lalu, dengan setting Arabia apakah mutlak harus berlaku hingga sekarang di seantero dunia? Fair saja. Perempuan2 muda kini bisa kuliah di Mesir sampai Eropa tanpa harus ditunggui walinya. Sistem sosial sudah jauh lebih aman dan maju, mengapa soal baju begitu kaku.
Lahir dan besar berpijak di sini, di bumi khatulistiwa dengan iklim tropis dan kaya warisan berharga. Mau tumbuh jadi apa kita jika malah tercerabut dari akar budaya. Sebagai muslim kita melakukan Ibadah haji ke Mekkah dan Madinah. Tetapi selamanya kita tetap sebagai orang Indonesia. Jaga dan sucikan juga negeri yang kita huni ini, jangan ngawang-ngawang lupa diri. Pakaian tradisional kita, salah satu manifestasinya. Jika tak lagi engkau kenakan, setidaknya jangan engkau campakkan dan haramkan.
Sumber : Status Facebook Nisa Alwis

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed