by

Tentang Cak Nun

Semuanya karena Cak Nun tidak kunjung nyaman dengan posisinya sekarang. Sejak dahulu, dia tidak dianggap. Meski jenius tapi dirinya tidak dianggap sebagai tokoh mainstream yang mampu mempengaruhi para pejabat publik.

Popularitas dia selalu disalip oleh tokoh-tokoh yang jalan takdirnya lebih baik dari seorang Emha Ainun Najib. 

Dia tenggelam ketika Nurcholish Majid dan Abdurrahman Wahid berkibar. Baik dalam khasanah budaya maupun cita rasa agama dan beragama. Dia jadi anak bawang. Padahal dia sudah keliling Eropa. Diundang di mana-mana. Dan menulis di mana-mana. 

Pengembaraan Cak Nun menjadi jati diri sedikit banyaknya juga mewarnai ketika dia memutuskan mengawini seorang gadis kinyis-kinyis yang beda usia 20 tahun meninggalkan istri pertamanya. 

Namun nampaknya dia masih merasa resah. Tidak terlalu dianggap. Tidak pernah moncer seperti Gus Gus lainnya. Atau Cak cak lainnya. 

Merasa tidak dianggap. Bukan dari kalangan elit negeri ini. Tapi juga event organizer yang pernah memanggilnya untuk berceramah.

Cak Nun konon kabarnya sangat murka ketika mengetahui panitia menempatkan dia di hotel murah dengan tiket pesawat kelas ekonomi. Sementara artis yang mendampingi tidur di hotel mewah dengan naik peswat kelas bisnis. 

Sejak itu, konon kabarnya, Cak Nun sangat cerewet soal akomodasi. Dia merasa terhina oleh kelakuan panitia yang memperlakukan dia sebagai orang yang dibayar cukup dengan doa dan selawatan serta snack kotak seadanya. 

Dia pernah coba masuk ke gelanggang politik. Dia masuk istana menasihati Suharto agar lengser. ” Gak jadi presiden, ra patek’an pak, ” Kata dia waktu itu kepada penguasa Orde Baru. Tapi Suharto membalasnya dengan senyuman khasnya. Dia tidak anggap omongan Ainun Najib yang konon dibawa ke istana oleh Gus Dur.

Dan dia tenggelam di balik riak Reformasi. Amin Rais jauh lebih populer. Ainun Najib mundur dari gelanggang. Menyepi.Apalagi ketika dia gagal total tampil moncer di kasus lapindo karena guyuran fitnah. 

Ceramah ngalor ngidul sampai menjelang fajar setelah mabok asap rokok yang pekat yang menyelimuti pengajian padang bulannya. Itulah media Cak Nun mengaktualisasikan dirinya. Posisinya dan kedudukannya. 

Dia berkutat pada dirinya sendiri agar nyaman pada posisinya yang sekarang. Dia sangat jarang tampil di media. Atau diwawancarai oleh media mengenai masalah kebangsaan atau soal agama. 

Dan dia ambil kesempatan baik dan langka untuk tampil di layar TV dalam acaranya Najwa. Dia menempatkan diri sebagai guru bangsa. Laksana Nurcholish Majid atau Gus Dur.. 

Namun dia kembali gagal. Bukan karena dia bodoh. Ainun Najib adalah seorang genius. Namun nasibnya tidak beruntung.. 

Dia tetap kiyai pinggiran. Kalah pamornya dengan Gus Mus, Mbah Moen atau KH Quraish Shihab.. 

Dia tetap budayawan pinggiran. 
Kalah pamor dengan Gunawan Muhammad, M Sobari atau Butet Kertarajasa. Sebagai musisi dia kalah jauh dibanding Djaduk Ferianto. 

Posisinya yang selalu dipinggir inilah yang menyebabkan Ainun Najib makin menjadi kakek nyinyir di kala usianya makin renta. 

Jadi ketika dia bicara aneh. Maka biarkan saja dia melewati jamannya. 

Dan seperti biasa. Sebagai orang yang terbiasa melewati lorong panjang yang gelap, Cak Nun tidak pernah menanggapi aneka kecaman dan cacian. 

Karena dia tahu posisinya cuma dipinggiran. Yang menjadi teman setia orang-orang yang rela gayeng ngobrol agama semalam suntuk sampai azan subuh menjelang. 

Dan mungkin dia kembali mendengar satu – satunya lagu yang dia ciptakan Rampak Osing. Yang setidaknya menggambarkan betapa sakit hatinya karena selalu berada di pinggiran. 

Arep golek opo 
Arep golek opo 
Kok uber – uberan
Podo ngoyak opo
Podo ngoyak opo
Kok jegal – jegalan
Kabeh do mendem 
Kabeh do mendem rah mari – mari
Bondo kuwoso rah di gowo mati.

Selengkapnya sila simak di https://youtu.be/3j6bstX8Gys

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed