by

Teladan Sejati Itu Telah Pergi (In Memoriam Ibu Nyai Siti Fatma)

Oleh : KH. Ahmad Nurul Huda 
(Pengasuh Pon Pes Motifasi Islam Bekasi)

 

Iftitâh
Aku, harus menahan nafas sejenak, sesaat setelah merampungkan bacaan atas buku hebat ini. Hufft, kuraih tissue di sudut kamar, kuseka air bening yang membasahi kelopak mataku. Sejak lembar pertama membaca buku ini, pikiran dan hatiku sibuk membuat film dramatik tentang sosok mulia ini. Imajinasiku bercampur antara kisah yang tersuguhkan di dalam buku ini dengan fakta yang kualami sendiri sebagai seorang anak yang juga besar di lingkungan pesantren.

Sejak kemarin menerima buku ini dari Gus Wahyu Salvana, putera menantu almarhumah, sudah tak sabar ingin kubaca, dan saat bacaan rampung, sudah kuduga pasti mbrebes mili; ada keterharuan menyeruak dalam cinta dan perjuangan yang dilakoni oleh Abah Kyai Musthafa Bisri dan Almarhumah Ibu Siti Fatma. Cinta dan perjuangan ini menginisiasi pemaknaanku pada dua huruf yg tersimpul pada kata Haji, Hā adalah simbol dari al-Hubb (cinta) dan Jīm adalah lambang dari al-Jihād (perjuangan). Abah Gus Mus menorehkan kalimat indahnya, “Apakah selama sekian puluh tahun kehidupanku bersama Dik Siti menyenangkan terus tanpa ada kesusahan? Tentu saja tidak. Hanya saja kesusahan yang singgah itu, menjadi tak ada artinya setelah Allah menganugerahkan kepadaku kebahagiaan melalui salah satu hambaNya yang luar biasa sabar dan setia yg biasa kupanggil Dik Siti ini.”

Sidik Jari
Buku setebal 231 halaman ini dimulai dengan Sajak Sidik Jari karya Gus Mus yang ditulisnya beberapa hari setelah kemangkatan Almarhumah. Saya kutipkan kembali sajak yang menuangkan suara hati beliau akan cintanya yang dalam;

Sidikjari

di sini
sidikjarimu ada
di mana-mana
ada di daun pintu
ada di jendela
ada di seantero
ruang ini
maka alibimu
tak bisa diterima
kau tak mungkin
di tempat lain

(Awal Syawal 1437 H)

Ibu Kekasih adalah judul buku yang simpel, tapi pesannya begitu kuat dan dalam. Anda tidak akan menemukan gaya penulisan khas buku biografi. Ini seperti film yang dituturkan dalam sebuah tulisan; Film yang dibukukan.

Memotret kehidupan seorang Ibu berhati malaikat, demikian Ienas Tsuroya, putri pertama beliau menyebut Almarhumah, tentu tidak akan mudah, tetapi bila dituliskan dengan ketulusan cinta, kejujuran dan fakta apa adanya semua menjadi mudah terselesaikan. Gus Wahyu menyebut “project cinta” ini dikebut hanya dalam hitungan hari sambil mempersiapkan acara 40 hari kemangkatan Almarhumah. Setidaknya 57 orang penulis yang terdiri dari keluarga inti (suami, anak, cucu) serta sahabat dan handai taulan terlibat dalam karya penuh manfa’at ini.

Banyaknya testimoni di dalam buku ini -selain 57 penulis- juga disertakan testimoni dari banyak teman, sahabat maupun pengagum beliau yang dinukil langsung dari berbagai akun di sosial media (seperti facebook dan instagram), mengisyaratkan banyak sekali sidik jari yang ditorehkan oleh Almarhumah, maka alibi kematian itu berpindah tempat itu “tertolak” dengan sendirinya. Ia, seperti kata Gus Mus, tak mungkin di tempat lain.

Ketulusan Cinta

Buku Ibu Kekasih memulai bagian pertamanya dengan menampilkan tulisan sang suami, Guru kita semua, Abah Kyai Ahmad Musthafa Bisri. Judul tulisannya juga simpel, “Dik Siti”, tapi membaca tulisan ini Anda akan terbawa arus romantisme cinta zaman klasik yang -tanpa pacaran bahkan gairah- menemukan ketulusan cinta yang saling menguatkan.

Kisah perkawinan yang sederhana antara Gus Mus dengan Ibu Fatma terekam kuat dalam fakta surat undangan yang terhiasi sajak dibaliknya (sila lihat gambar). Sajak spontan yg ditulis Gus Mus pada akhir Oktober 1971 itu masih tertulis dalam tulisan tangan dengan ejaan lama dan diberi judul “mempelai sederhana”. Saya kutipkan untuk Anda;

kita yang tidak pernah mengalami pacaran// dan keburu kawin. Marilah/ membagi sepi // kita jadikan dan senyum-senyum para mertua / besan-besan dan sekian ipar / semacam cinta// kita sinonimkan saja antara nafsu kuda/ antara kemesraan dan kasih sayang// sebelum pada ranjang yang wangi/ kita tiba-tiba muak dan keki.

Kisah cinta sederhana ini membentuk kekuatan saling dukung yang melahirkan kasih sayang dan kesetiaan. Bagaimana aku tak mencintainya bahkan memujanya, tulis Gus Mus, sedangkan dia begitu sabar dan tidak lelah-lelahnya terus belajar mendampingiku hingga mahir tidak hanya sebagai istri yang setia, tetapi juga ibu yang penyayang; sebagai anak yang manja; sebagai kawan yang saling memberi pendapat dan saran; dan sebagai kekasih yang menghibur?

Ah. Baru di halaman 17 ini saja, airmataku tak tertahankan. Ini jelas bukan cinta platonik yang kerap berlindung di balik jubah persahabatan. Juga bukan cinta stergo yang bersifat spontan. Bukan sekedar cinta phileo yang menyayangi dan saling melengkapi. Pastinya, ini jenis cinta yang menggabungkan unsur mahabbah (witing tresno jalaran soko kulino), mawaddah (nggemesi), rahmah (penuh pengorbanan), syaghaf (mendalam dan orisinil) dan syauq (penuh kerinduan). Ah. Entahlah, mungkin juga jenis cinta lain yang dihubungkan lewat pertalian batin yang hanya Gus Mus dan Ibu Fatmah yang tau.

Seingatku, Gus Mus pernah menulis ini di beranda facebook beliau, aku menelusurinya kembali via Google, “Selama itu –hingga kami dikaruniai 7 orang anak, 6 orang menantu, dan 13 orang cucu– seingatku, belum pernah aku mengucapkan kepada teman hidupku ini: “I love you”, “Aku cinta padamu”, “Anä bahebbik”, “Aku tresno awakmu”, atau kata-kata mesra sejenis. Demikian pula sebaliknya; dia sama sekali belum pernah mengucapkan kepadaku kata rayuan semacam itu. Agaknya kami berdua mempunyai anggapan yang sama. Menganggap gerak mata dan gerak tubuh kami jauh lebih fasih mengungkapkan perasaan kami.”

Jawantri Parenting

Menulis singkat tentang Almarhumah Ibu Siti Fatmah ternyata sulit sekali. Testimoni anak, cucu dan kerabat membuktikan bahwa Almarhumah itu meskipun tidak tampil di depan layar, namun merupakan tokoh penting bagi kesuksesan keluarganya.

Maka saya coba memadatkan dari satu angle yang juga merupakan spesialisasi saya yaitu keilmuan mengenai pengasuhan anak dan pendampingan keluarga. Saya menyebut ini sebagai “Jawantri Parenting”. Jawantri itu akronim dari Jawa Santri. Jawantri Parenting itu semacam ilmu pengasuhan anak dan pendampingan keluarga berbasis nilai-nilai yang tertanam pada masyarakat Jawa dan sekaligus Santri. Bukan hanya Almarhumah yang memang putri KH. Basyuni Masykur tetapi juga memang hidup di tengah-tengah budaya pesantren, tepatnya di kompleks pesantren Raudhatuthâlibîn, Rembang, Jawa Tengah.

Prinsip Jawantri Parenting
1. Ngemong
Gus Mus mengakui bahwa Ibu Siti Fatma adalah sosok yang “Ngemong” bukan hanya suaminya tapi juga ketujuh anaknya. Bahkan ngemong-nya “kebablasan”, beliau tak bisa melihat orang lain kesusahan. Nyaris, semua testimoni dari banyak orang, beliau itu sosok yang selalu hadir dalam melayani orang lain; mulai dari menjenguk orang sakit sampai ta’ziyah kematian.

Dari perspektif parenting, “ngemong” itu sejenis dedikasi atau full melayani. Ngemong dalam hal ini menunjukkan sikap toleran, penuh perhatian, penuh kasih sayang, dan penerimaan positif atas perilaku agresif dan impulsif pada keluarga dan masyarakat luas. Kuncinya adalah ketulusan. Seorang ibu yang Ngemong biasanya memiliki hati seluas samudera dengan ketulusan tanpa pamrih yang super ikhlas.

2. Loman
Dalam budaya Jawa, loman itu kebajikan yang menyenangkan orang lain lewat pemberian hadiah. Almarhumah sebagaimana diakui oleh putri pertama beliau, Ienas Tsuroya, adalah pribadi yang dermawan. Jika berkesempatan pergi ke suatu tempat, bisa dipastikan beliau akan sibuk mencari oleh-oleh. Daftar penerimanya bisa panjang sekali, bukan hanya anak-mantu-cucu-keponakan tetapi juga santri ndalem bahkan tukang sayur langganan.

Dalam parenting, kedermawanan adalah salah satu komponen penting dalam Bejana Cinta selain pelayanan, kata yang memotivasi, sentuhan lembut dan waktu yg berkualitas. Sang Nabi bahkan mengingatkan untuk senang berbagi hadiah agar menguatkan cinta dan kasih sayang, “Tahâdū Tahābû”.

3. Nrimo ing pandum
Kautsar Uzmuy, putri kedua Almarhumah menyebut sang ibu sebagai sosok yang terlalu luar biasa untuk dideskripsikan. Terlalu baik, terlalu pintar, terlalu kuat, terlalu setia, terlalu sabar, terlalu mandiri dan terlalu nerimo. Singkatnya, beliau itu ya terlalu luar biasa.

Kedermawanan yang tampak dari karakter Ibu Fatmah, sebenarnya menjadi bukti kuat dari sikapnya yang “nrimo ing pandum”. Sebuah sikap yang di masyarakat Jawa dikadikan sebagai Notice dalam menyikapi ujian kehidupan. Nrimo ing pandum itu kelegawaan menerima keadaan, istilah saya BDK atau Berdamai dengan Keadaan. Bukan pasrah menyerah kalah, tetapi tawakkal atas keputusan Tuhan. Karenanya, dalam pengasuhan anak-anak, meskipun terkadang harus menyikapi “kenakalan” mereka, kesabaran Almarhumah begitu lekat dalam ingatan anak-anak beliau.

4. Ing ngarso sung tulodo
Secara bahasa artinya menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi orang-orang di sekitarnya. Menjadi teladan adalah fakta yang tak terbantahkan bagi semua anaknya. Raudhah Quds, putri Ketiga Almarhumah, menuliskan, “Ibuk itu mengajari putri-putrinya langsung dengan contoh. Baik dalam hal kecil atau remeh maupun dalam hal besar dan penting.”

Abdullah Nasih Ulwan dalam kitabnya, Tarbiyatul Awlâd fil Islam, menyebut, keteladanan adalah kunci utama pengasuhan. Anda boleh mengumpulkan jutaan teori parenting, tetapi tanpa keteladanan semuanya akan sia-sia.

5. Mandiri
Sisi lain dari karakter pengasuhan Almarhumah adalah penanaman mental kemandirian. Raabi’atul Bisyriyah, putri keempat almarhum sempat mengenang memori lamanya, saat dia pernah menyuruh santri ndalem mengambil sesuatu, spontan Almarhumah yang melihat peristiwa itu menegur tegas, “duwe tangan, duwe sikil, kanggo opo? Jupuk dewe!.” Artinya kurang lebih, “Punya tangan, punya kaki, buat apa? Ambil sendiri.!”

Kamandirian merupakan akar yang kuat dalam parenting. Ia mengajarkan kita untuk tidak mudah bergantung kepada orang lain. Kemandirian akan melahirkan kreatifitas dan sarat dengan gagasan serta bervisi solutif. Tampaknya Almarhumah benar-benar menerapkan teori ini, beliau tidak dengan mudah memberikan apa yang dibutuhkan oleh anak-anaknya tetapi mengarahkan mereka untuk bisa melakukannya sendiri.

6. Keakraban
Nada Fatma, putri kelima Almarhumah Ibu Fatma, menuturkan dalam tulisannya. Ibuk itu sosok sederhana yang berhati mewah. Mewah adalah diksi yg digunakan oleh Nada karena tak cukup menggunakan kata “Indah” untuk melukiskan kemewahan hati Ibu. Ia sosok sederhana namun tetap bisa memadukan penampilan secara elegan.

Mengenai keakraban ini, Almarhumah memang dikenal sebagai sosok ibu yang sangat mengerti isi hati anak-anaknya, ia adalah tempat berbagi cerita, meminta saran dan pastinya berharap keberkahan do’a. Bahkan keakraban beliau bukan hanya kepada suami dan anak-anaknya, tetapi juga para menantu, cucu, keponakan dan bahkan santri ndalem.

7. Pemaaf
Almas Musthafa, Putri keenam Almarhumah Ibu Fatma menggambarkan sosok ibu yang pemaaf itu dalam tulisannya, “Ibuk itu, walaupun sering dikecewakan, dijahati tapi ibuk ngga pernah membalas buruk. Boleh tidak suka orangnya tapi jangan sampai membalas kelakuan buruknya pada kita.”

Memaafkan, seperti sering aku tuliskan, memang bukan untuk kepentingan musuh yang menzalimi kita. Memaafkan itu untuk kepentingan kita sendiri yaitu menjernihkan hati kita sendiri dari tumpukan sampah emosi.

Ikhtitâm
Akhirnya, aku harus menuntaskan dulu sampai di sini, meskipun masih banyak kebajikan Ibu Siti Fatmah yang bisa kita ambil sebagai pelajaran. Walhasil, Almarhumah itu benar-benar hembusan angin bagi kepak sayap orang-orang yang yang dicintai dan mencintainya, beliau adalah sumbu yang menyalakan spirit dalam kehidupan keluarganya.

Ibu Fatma adalah sosok pendidik dan pengasuh anak yang melekat di hati anak-anaknya. Seorang ibu yang tak hanya pandai memasak dan menyuguhkan masakan lezat tapi juga memberikan pengasuhan berbasis cinta dan ketulusan. M. Bisri Musthofa, Anak ketujuh, Almarhumah, menuliskan testimoninya, “yang lebih mengagumkan dari Ibuk, bukanlah bakat memasak makanan lezat. Aku sangat kagum dengan cara beliau ‘memasak’ kami dengan material yang bermanfa’at, kemudian merebus dengan kasih sayang sehingga menjadikan kami anak-anak yang tidak manja namun juga tidak liar.”

Teladan itu telah pergi…
Sulit bagiku mengakhiri tulisan ini, maka kubiarkan kutipan status Abah Kyai Musthafa Bisri yang menutupnya…

Kurang lebih 16.200 hari hidup bersama dan hampir tak pernah berpisah…

“Tapi bagaimana lagi, yang memanggil dan mengambilnya adalah Pemiliknya sendiri. Pastilah Dia jauh lebih menyayanginya.”

Ilâ rûhi Almarhumah Ibu Nyai Siti Fatmah binti KH. Basyuni Masykur, Alfâtihah…. 

Makkah Al-Mukarramah,
5 September 2016 M – 3 Dzulhijjah 1437 H

 

(Sumber: Santrionline)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed