by

Syiah dan Zionis Sekuler Anti Zionis

Hingga hari ini PBB harus menurunkan pasukan perdamaiannya di Golan dan menetapkan sebagian wilayah tersebut sebagai zona netral. Sampai era Bashar al Assad yang menjabat sejak tahun 2000, Suriah secara teknis masih berperang dengan Israel. Bahkan baru 5 Desember kemarin militer Suriah menembak jatuh 3 misil Israel yang menargetkan fasilitas militer Suriah dekat Damaskus. Dan jangan lupa di negara Sekuler ini pula bendera Israel dihamparkan di tengah jalan di Old Damascus untuk diinjak-injak warga yang lewat (kabarnya sejak era Hafez al Assad).

Bagaimana dengan Iran? Iran memang dikenal negara penentang Israel yang sangat konservatif dan fundamentalis. Memiliki sistem pemerintahan ‘Wilayatul Faqih’ dan mayoritas mutlak penduduknya adalah muslim bermazhab Syi’ah, namun tidak membuat persekusi pada kalangan minoritas. Setiap Natal pemimpin besar Iran Sayyid Ali Khamenei selalu mengunjungi para keluarga martir Iran yang beragama Kristen untuk bersilaturahmi dan mengucapkan selamat Natal.

Konstitusi Iran juga mengizinkan minoritas Nasrani, Yahudi, Armenia, Assyria, dan Zoroaster memiliki perwakilan di Parlemen. Bahkan Presiden Hasan Rouhani pada 2013 membawa serta Siamak Moreh Sedgh perwakilan Yahudi di Parlemen Iran dalam sidang Umum PBB di New York (FYI, perwakilan minoritas Yahudi di Parlemen Iran diwajibkan hukum mendukung kebijakan-kebijakan Anti-Zionis Iran).

Di tengah sikap moderat yang menjunjung toleransi beragama, Iran adalah salah satu negara di Timur Tengah yang sampai saat ini tidak mengakui eksistensi Israel dan tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Bahkan sang pendiri revolusi Islam Iran Ayatullah Ruhullah Khomeini berkata “Kami tidak mengakui sesuatu bernama Israel”.

Sejak revolusi Islam 1979 hal ini secara konsisten terus diterapkan. Sebagai contoh di dunia olahraga, perenang Iran Mohammad Alirezaei mundur dari lomba renang 100 meter gaya dada Olimpiade Beijing hanya beberapa menit sebelum ia mengetahui akan berkompetisi melawan saingannya dari Israel. Dan pada Olimpiade Athena 2004, juara dunia judo Arash Miresmaeili dari Iran, tumpuan negara tersebut untuk merebut medali emas, menolak bersaing dengan Ehud Vaks dari Israel di pertandingan pertama sebagai rasa solidaritas pada perjuangan Palestina.

Kisah paling ksatria ditunjukkan Alireza Karimi yang dengan sengaja mengalah di Kejuaraan Dunia Gulat di Polandia untuk menghindari melawan pegulat Israel di babak selanjutnya. Karimi sudah memimpin 3-2 melawan pegulat Rusia dengan durasi tersisa 1 menit, namun ketika ia mengetahui lawan di babak selanjutnya adalah pegulat Israel, ia secara sengaja tak melawan hingga pertandingan berakhir dan ia kalah 14-3.

Jangan lupa di paspor resmi yang dikeluarkan Iran untuk warganya juga tertulis kalimat “The holder of this passport is not entitled to travel to occupied Palestine” (Pemegang paspor ini tidak diizinkan untuk bepergian ke “Palestina yang diduduki”). Sebuah konsistensi ketidak-pengakuan atas Israel tanpa tapi. Bahkan untuk di paspor saja negara ini mengganti nama Israel dengan frase “Palestina yang diduduki”.

Pada Rabu kemarin, ketika Sayyid Ali Khamenei mengecam rencana Trump memindahkan Kedubes USA ke Jerusalem, ia berkata “USA mengklaim ingin mengumumkan Al Quds (Jerusalem) sebagai ibu kota wilayah Palestina yang diduduki, itu karena tidak kompetennya mereka dan kegagalan mereka.” Bahkan untuk menyebut nama Israel pun ia tak sudi dan kembali menyebutnya “Palestina yang diduduki”.

Belum lagi jika kita membicarakan bahwa Iran adalah satu-satunya negara yang selama lebih 3 dekade menjadi penyuplai persenjataan pada kelompok-kelompok muqawwamah Palestina. Masih panjang sebenarnya, apalagi jika kita membahas sokongan Iran pada Hizbullah yang memerangi Israel di Lebanon Selatan. Dan ternyata Hizbullah juga sangat moderat dan menjunjung pluralitas, melindungi gereja dari para takfiri, melindungi minoritas Nasrani, dan dihormati para warga non-muslim (mirip Banser kalau disini).

Bagaimana dengan Saudi? Anda akan meriang sendiri membahas Kerajaan monarki absolut satu ini. Secara resmi negara ini tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, namun tidak sedikit politik luar negerinya yang mendukung agenda Zionisme di Timur Tengah. Baru di Konferensi Munich kemarin Menteri Pertahanan Israel Moshe Ya’alon tertangkap berjabat tangan dan bercengkrama dengan ex Kepala Intelejen Saudi Turki al Faisal. Menlu Saudi Adel Al Jubeir juga menjadi penggagas pelucutan senjata Hamas dan Jihad Islam Palestina.

Selain lewat politik, agenda mendukung Zionisme juga berjalan di mimbar-mimbar kerajaan. Fatwa-fatwa mufti Wahabi Kerajaan seperti Syaikh Salih al Luhaidan mengharamkan demo mengecam Israel dengan mengatakan aksi demo mendukung perlawanan bangsa Palestina melawan Israel sebagai membuat kerusakan di muka bumi (fassad fil Ardh) dan cukup dengan mendoakan dan Qunut (Nazilah) di masjid-masjid saja.

Saat perang 33 hari antara Hizbullah melawan Israel di Lebanon Selatan 2006 lalu, mufti Kerajaan Saudi juga mengeluarkan fatwa sektarian haram mendukung Hizbullah karena mereka “Syi’ah” dan “Syi’ah itu kafir”. Jangan lupa baru beberapa hari lalu putra mahkota Saudi Muhammad bin Salman memuluskan arogansi Trump yang ingin menjadikan Jerusalem sebagai ibukota Israel dengan menawarkan Abu Dis sebagai ibukota Palestina, dan ia memberikan tenggat dua bulan bagi Mahmoud Abbas untuk merespon tawarannya.

Lalu bagaimana dengan Turki Erdogan? Memiliki citra fundamentalis Islam dan menjadi junjungan para muslim konservatif di negaranya dan di Indonesia. Bahkan diagung-agungkan sebagai ‘role model’ kebangkitan Khilafah ala Utsmani, amat membosankan mendengar kecaman basa-basinya pada Israel. Turki di bawah Erdogan yang menjadi Perdana Menteri sejak 2003 dan menjadi Presiden sejak 2014 (total 14 tahun berkuasa) nyatanya masih memelihara Kedubes Israel yang bercokol gagah di ibukota Turki Ankara, dan Konsulat Jenderal Israel juga masih adem bercokol di Istanbul.

Jangan lupa di data resmi https://globaledge.msu.edu/countries/israel/tradestats Turki termasuk 10 besar negara mitra bisnis utama Israel. Bahkan Turki adalah satu-satunya negara muslim yang masuk dalam list TOP 10 tersebut. Ironisnya, justru negara ini yang paling banyak dipuja para fundamentalis “sumbu pendek” di tanah air dan disebut sebagai cikal bakal Khilafah. Pertanyaannya Khilafah jenis apa?

Mungkin sebagai orang yang sudah 15 kali bolak balik ke Turki, hanya Felix Siauw yang bisa menjawabnya.

Besok-besok saya lanjut…

Sumber : Status Facebook Ahmed Zain Oul Muttaqin

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed