by

Survey Gelas Kosong

 

Tapi Kompas juga memberi aba-aba soal perhitungan ekstrapolasi dari hasil survei itu. Maksudnya, jika trendnya diasumsikan sama maka hasil survei itu bisa ditarik ke angka perkiraan saat hari pencoblosan nanti. Angkanya 56,% untuk Jokowi dan 43,2% untuk Prabowo.

Banyak orang bertanya kenapa hasil survei Kompas berbeda jauh dengan hasil lembaga survei kredibel lainnya. Rata-rata lembaga survei memberikan hasil 53% sampai 58% untuk Jokowi. Gap-nya dengan angka perolehan Prabowo bisa mencapai 20%.

Maksudnya begini. Jika survei Kompas dibaca dalam rumusan ekstrapolasi sebetulnya hasilnya tidak jauh beda dengan lembaga survei lainnya. Nuansanya positif bagi Jokowi. Tapi kalau dibaca telanjang begitu saja, tentu memberikan penilaian positif bagi Prabowo.

Kalau mau jujur, angka 49,2% dibanding 37,4% saja sudah merupakan hal positif untuk Jokowi. Iya, 49,2% itu belum sampai 50% plus satu sebagai syarat kemenangan. Tetapi selisih 12% suara sama dengan kira-kira 15 juta pemilih. Gak gampang mencari 15 juta pemilih dalam sisa waktu satu bulan.

Artinya jika tidak ada sesuatu yang luar biasa banget, hasil survei Kompas menandakan pemenang Pilpres adalah Jokowi-Amin.

Bagi saya begini. Hasil survei Kompas itu bisa dinilai seperti air di gelas. Isinya memang separuh. Ada orang yang membaca separuh terisi. Ada juga yang membaca separuh penuh. Keduanya syah saja.

Pendukung Prabowo bisa membaca suara Jokowi sama seperti separuh kosong. Jadi mereka masih punya harapan mengejar ketertinggalan suara. Sedangkan pendukung Jokowi bisa membacanya sebagai separuh penuh. Jadi tinggal sebentar lagi untuk mencapai kemenangan.

Saya maklum saja Kompas menyajikan dengan sudut pandang separuh kosong tadi. Hal itu bisa menjadi penyemangat pendukung Prabowo. Kenapa? Kalau disajikan dengan sudut pandang separuh penuh, maka persaingan Pilpres jadi gak seru lagi. Gak greget lagi.

Bukan apa-apa. Mulai tanggal 24 nanti, KPU sudah membolehkan peserta Pemilu untuk beriklan. Sebagai media, Kompas tentu ingin mendapat berkah iklan juga. Karena itu persaingan harus dibuat agak ketat. Biar semangat beriklan gak luntur. Toh, yang akan diuntungkan media seperti Kompas.

Coba saja jika opini yang disajikan melulu menempatkan Jokowi di atas angin, orang akan malas membuang budget iklan. Biaya hanya wajar keluar jika masih ada harapan. Iklan akan gencar apabila ada suasana bersaing yang ketat.

Satu hal lagi, kemenangan Jokowi juga ditentukan dari angka Golput. Semakin tinggi Golput, semakin rawan juga prediksi hasil survei.

Jadi gimana hasil survei Kompas bagi saya? Ya, anggap saja itu untuk memicu bahwa kemenangan Jokowi memang harus diusahakan. Harus diwujudkan dengan keseriusan mendatangi kantong-kantong suara. Bukan dengan leha-leha. Atau mengandalkan orang yang bergerak.

Caranya pastikan kamu, keluarga dan orang-orang di sekitarmu nanti mendatangi TPS. Lalu salurkan hak politikmu secara rasional.

Sebagai informasi, HTI yang sangat mengharamkan demokrasi dan biasanya memilih menghindari Pemilu, kabarnya menginstruksikan kepada pengikutnya untuk berbondong-bondong ke TPS. Kita tahu, kepada siapa suara mereka akan diberikan.

Gerombolan itu membenci Jokowi sampai ke tulang sumsum. Mereka lebih suka Prabowo yang jadi Presiden. Justru karena agama Prabowo gak jelas. Sebab dengan begitu akan lebih mudah bagi mereka untuk menggoyangnya nanti. Caranya, ya dengan isu agama lagi. Plus isu LGBT yang dengan mudah ditempelkan kepada Didiet, putra Prabowo.

Jadi, kenapa HTI yang membenci demokrasi kini semangat mendukung Capres? Itulah salah satu jalan mereka menghancurkan demokrasi.

“Mas, mungkin mereka mau mencetak sejarah. Menjadikan satu-satunya di dunia pemimpin khilafah yang gak bisa ngaji,” ujar Abu Kumkum.

Masuk akal, Kum…

(www.ekokuntadhi.id)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed