by

Surat Terbuka dari Habib untuk yang Mengaku Habib

Oleh: Acin Muhdor
 

Sebetulnya saya sudah ingin menghentikan segala bentuk penulisan surat, dari surat terbuka, surat tertutup, surat syariah sampai surat konvensional. Tapi isu soal seseorang yang mengaku habib akhir-akhir ini sempat membuat saya tersentak dan menarik ke gelanggang. Saya rasa harus dipertegas kembali pengetahuan tentang kedudukan habib demi mengurangi korban dawir a.k.a dagang wirid dari siapapun yang menjadikan gelar habib sebagai pengganti modal dan skill.

Saya ingin menceritakan kejadian-kejadian yang menimpa saya paska penulisan surat terbuka saya yang pertama, yang bagi sebagian orang diklaim memiliki tendensi personal kepada Habieb Rizieq Sihab. Tak masalah, setiap orang berhak menilai tulisan dengan persepsinya masing-masing.
Selain saya ditimpuki degan ribuan komentar negatif, ratusan ancaman verbal, dan puluhan serangan teror, saya juga mendapatkan berbagai hikmah dan teman-teman baru. Hal ini yang membuat saya semakin yakin, bahwa mengkritik dengan sangka baik berbeda dengan menghina berlandaskan kebencian.
Beberapa teman-teman muslim kaget membaca surat terbuka saya kepada HRS, mereka menganggap ini sebuah sikap yang lancang, walaupun tidak sedikit juga yang memberikan apresiasi kepada saya. Di luar dari pro kontra seputar surat terbuka saya waktu itu, ada hal-hal positif yang saya hidupkan di tengah-tengah mozaik kehidupan masyarakat yang saat ini tengah heboh dengan gelar “habib”.
Sebagian teman dari muslim mengakui bahwa apa yang telah saya tulis mengubah opini negatif tentang habib yang selama ini dianggap identik dengan kekerasan, intoleransi dan ektremisme. Sebagian habib merasa terwakili oleh surat itu. Teman-teman non-muslim, terutama Kristen dan Etnik Cina merasa diperhatikan dan mendapatkan gambaran yang utuh tentang Habib.
Dan yang terpenting dari semuanya adalah, banyak dari kita jadi mengetahui bahwa seorang Habib besar sekalipun tidak luput dari kritikan. Dan mengajarkan cara baru untuk pemuda-pemudi bangsa dalam berdialektika di dunia maya, bukan hanya sibuk merawat dendam.
Sekarang, pesan saya tujukan untuk para pengaku Habib:
Yang perlu Anda sadari, “habib” bukanlah gelar yang diraih karena sebuah upaya. Gelar habib juga bukan prestasi akademik atau titik sempurna seorang manusia. Sehingga Anda tidak perlu bersusah payah menggandengkan kata “Habib” di depan nama Anda.
Gelar “Habib” yang dipaksakan hanya akan memberikan kenikmatan sementara di dunia ini. Kemudian Anda akan dibalas dengan perlakuan manusia melalui hukuman sosial. Contohnya kita sudah sama-sama tau. Di sela-sela kasus penistaan agama, ada seorang yang mengaku habib malah menistakan Pizza Hut. Dan jadi korban bullyingsemesta sosmed.
Walaupun setelah itu keluar klarifikasi dari pihak terkait bahwa dia tak mengaku habib, tapi memang bernama “habib”. Sehingga saya juga perlu klarifikasi ulang, bahwa dia tak mengaku habib, dan surat ini tertuju bukan untuknya. Tapi untuk para pengaku habib.
Anda tak perlu minder dengan perlakuan orang-orang yang begitu respect kepada seorang habib, sehingga Anda merasa berkepentingan menyandingkan diri Anda pada status “Habib”, karena masih banyak habib-habib mulia di negri ini yang tidak mendapatkan penghormatan serupa. Dan itu bukan masalah di mata Allah.
Saya mendengar kabar, di pelosok-pelosok pedesaan di Jawa dan berbagai daerah seberang, banyak orang mengaku habib. Saya bisa pahami, sulitnya ekonomi, rendahnya taraf pendidikan, minimnya kemampuan dan berbagai kelemahan lain membuat seseorang kalap dan tidak merasa bersalah mengaku habib. Karena sudah terlanjur mancung dan berjenggot, apa salahnya dieksploitasi?
Dalam hadis Nabi dikatakan: “Tidaklah seseorang menisbatkan kepada selain ayahnya sedang dia mengetahui melainkan dia telah kufur kepada Allah. Dan barangsiapa yang mengaku-ngaku sebagai suatu kaum dan dia tidak ada hubungan nasab dengan mereka, maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka”. (HR. al-Bukhori, No. 3508 dan Muslim, No. 112).
Hadis di atas bukan penegasan tentang kemuliaan kedudukan para habib, melainkan sebuah larangan untuk berbohong atas nama “keturunan”. Artinya Nabi sangat menekankan untuk setiap umatnya mengenali identitas dirinya. Dan menerimanya sebagai suatu amanat dari Allah. Anak siapapun Anda, ras apapun Anda, bangsa apapun Anda, terimalah itu sebagai anugerah.
Untuk para pengaku Habib, sadarlah! bahwa dunia tidak akan mencatat nama Anda dalam sejarah maupun buku-buku saku. Apabila kekeliruan yang sengaja Anda rawat ini tidak menyengsarakan Anda, percayalah, anak-anak Anda yang akan menanggung beban moral sebagai anak dari seseorang yang mengaku habib. Dan sialnya belum ada seorang pun yang mengaku habib memiliki kontribusi di dunia ini. Bahkan di Indonesia, negrinya para pengaku Habib, belum ada satupun dari mereka yang berjasa.
Sekian surat yang saya tulis untuk kebaikan bersama. Tanpa sedikitpun rasa bangga diri karena terlahir sebagai habib, surat ini hanya perspektif dari seorang yang terlanjur habib karena mendapat efek negatif berupa tuduhan kepalsuan kehabib-an, tuduhan pemanfaatan gelar habib, berserta banyak tuduhan-tuduhan tak sedap lainnya berkat ulah para pengaku habib.
Wassalamualaikum wr.wb.
(Acin Muhdor, 06 Januari 2017)
 
Sumber: Seword.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed