by

Sungguh, Saya Tak Dapat Apa-apa dari Pak Jokowi

Oleh: Muhammad Ilham Fadli
 

“Buyung, apa yang kamu dapatkan dari Jokowi – JK sehingga hari ini tetap respek pada mereka berdua?”.

Tak ada. Bahkan martabak Markobar anak-nya pun tak pernah saya cicipi.:

Pertanyaan sejenis, secara berulang-ulang, baik di alam nyata apatah lagi di dunia maya, selalu ditanyakan kepada saya. Sebagaimana pertanyaan sejenis juga ditujukan pada saya ketika SBY menjadi Presiden, pun demikian di kala Megawati dan Gus Dur.

Oke, fokus pada Jokowi sahaja.

Satu suara dari saya untuk Jokowi-JK pada Pilpres 2014 yang lalu. Kawan-kawan saya berhak untuk “meminta” pertanggungjawaban atas pilihan saya waktu Pilpres yang lalu. Harus saya hormati. Saya tak marah bila mereka “menyungkit” saya. Sepantas dan seharusnya mereka lakukan itu.

Kalau begitu, bagaimana dengan saya-nya ?

Bagi saya, Jokowi menjadi Presiden saja sudah cukup menjadi langkah awal yang baik. Sekali lagi, bagi saya. Saya tak mendapatkan apa-apa dari dukungan saya itu. Tak dapat uang atau jabatan. Apalah …… apalah saya ini (meminjam lagu dangdut teh Iis Dahlia). Hanya guru “kecik” di sebuah Perguruan Tinggi Islam Negeri. Namun, saya tetap meyakini, kalau ada perbaikan dalam hidup saya, tetap semua itu adalah kemurahhatian Allah Sang Maha Sayang, jerih payah saya serta do’a tulus nan selalu dilantunkan istri dan anak-anak saya. Besok atau lusa mungkin saja saya tak bersepakat dengan Jokowi-JK, atau menteri-menterinya.

Tetapi yakinlah, bukan karena saya kecewa, melainkan karena pikiran kritis harus dihidupkan senantiasa. Jokowi bukan manusia setengah dewa. Karena sangat terbuka kemungkinan dia lakukan kesalahan atau kinerjanya tak maksimal. Jokowi-JK tak akan bisa memenuhi kemauan 240 jutaan warga ? sebagaimana halnya Presiden-Presiden terdahulu. Sepanjang dia dan keluarganya tak korupsi, kabinetnya bukan sejenis penyamun-lanun berjas, mau kerja serius, bagi saya cukuplah untuk sepenggal masa pemerintahannya. Selanjutnya, mari menilainya dengan pikiran rasional bukan cuma sentimen atau apriori belaka. Lepas dari itu semua, saya ingin mengatakan pada diri saya …… hormati pilihan mayoritas. Bila tidak suka, “hukum” mereka pada masa berikutnya. Sayangnya, selama ini kita lebih banyak mengidap penyakit “hostage syndrom”.

Apa itu hostage syndrom ?
Ada satu teori dalam psikologi politik, namanya Sindrom Sandera (hostage syndrom). Mungkin diantara kita pernah menonton film Hollywood yang disiarkan salah satu TV swasta secara berulang-ulang. Kalau tak salah, lakonnya bernama Charlie Sheen. Bercerita tentang penculikan seorang gadis, anak konglomerat. Penculik, yang kebetulan anak muda ini, menuntut uang tebusan. Setelah perjanjian yang alot dengan melibatkan polisi, pihak keluarga memutuskan untuk membebaskan gadis tersebut. Tapi ajaibnya, si gadis tidak mau dibebaskan. Ia justru membela para penculiknya dan mencintainya.

Kebetulan, dalam waktu yang menegangkan itu, terjadi perubahan pandangan si gadis. Awalnya ia begitu benci dan takut dengan penculik yang dianggapnya merampok kebahagiaanya dan menyengsarakan anggota keluarganya. Dalam masa-masa menegangkan itu, rupanya penculik itu berusaha untuk bersikap baik, melepaskan borgol ditangan sang gadis dan menemani gadis itu pipis di malam hari. Ketakutan yang panjang dikalahkan oleh kelonggaran yang sedikit. Bagi sang gadis itu, hal-hal simpel tersebut membuat ia merasa bahwa penculik itu tak sekejam yang ia bayangkan. Dan cinta-pun bersemi.

Pesannya :
Awalnya kita benci, tapi karena hal-hal kecil, kita langsung jatuh cinta. Awalnya kita suka, tapi karena hal kecil, kita lantas benci. Padahal, menilai seseorang itu terletak pada konsistensi dan akumulasi kiprah hidupnya.

Ruang Jurusan, Kampus Lubuk Lintah. 
Salam Damai 
Siang ini, Teh Susu begitu enak plus Martabak yang diberi mahasiswa, martabak Bandung, bukan Markobar 

 

(Sumber: Status M Ilham Fadli)

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed