by

Stempel “Islam Modernis”, Mitos yang Menjebak

Membaca ulang Modernitas Muhammadiyah

Generasi Kyai Dahlan dan murid-muridnya adalah generasi yang dinamis, berijtihad memberi solusi atas apa yang terjadi dan mungkin terjadi di masa depan. Maka tak heran lahir revolusi-revolusi sosial: pemberdayaan perempuan (di saat Barat masih menjadikan wanita sebagai kelas dua); pengorganisasian penyelenggaraan haji; pengelolaan zakat secara kelembagaan; pendirian rumah sakit modern; pengorganisasian respon bencana dan lainnya. Mereka tidak kenal dan menamakan dirinya sebagai muslim modern! Mereka hanya berusaha menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat.

Maka sesungguhnya pelabelan ‘modern’ itu tidak pas dan meninabobokkan, bahkan menjebak. Kyai Dahlan tidak bermaksud menjadi modern, beliau bermaksud menjadi solutif-transformatif. Solutif-transformatif itu lebih dinamis, sesuai dengan perubahan kondisi masyarakat.

Dan…. ini sama dengan gerakan yang dilakukan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Kyai Wahab Hasbullah dll dengan Nahdlatul Ulama. Jadi sebenarnya sama saja, sama-sama berijtihad memberi solusi atas persoalan masyarakat yang terus berubah.

Jadi sebenarnya Muhammadiyah dan NU sama saja. Sama-sama berjuang memberi solusi, tanpa harus dikotakkan dalam sangkar modern atau tradisional. Apalagi sekarang keduanya sudah hidup dalam geografi yang sama, alam yang sama dengan model gerakan yang relatif sama.

Bahkan, menurut beberapa survey, gerakan NU di media sosial dan internet, sebagai tonggak peradaban 4.0, lebih maju dari Muhammadiyah yang, diakui atau tidak, sekarang masih tergopoh-gopoh. Kalau masih pakai kacamata Deliar Noer, muncul pertanyaan: Jadi siapa sekarang yang modern, siapa yang tradisional?

Jadi warga Muhammadiyah hendaknya tidak terjebak dan ngantuk dininabobokkan oleh label ‘modern’ yang berkonotasi lebih maju dari ‘tradisional’. Meski dulu itu adalah realitas (setidaknya secara akademik perspektif Deliar Noer), tapi sekarang mungkin sudah jadi mitos. Bahkan auto-kritik ini sudah lama dilontarkan Kyai AR Fachrudin (Allahu Yarhamh) yang menggambarkan Muhammadiyah sudah sebesar gajah yang bergerak lamban, persis seperti diungkapkan juga oleh Prof. Mitsuo Nakamura 10 tahun lalu. Artinya sejak lama label modern tidak identik dengan kegesitan dan greget dalam memberi solusi bagi masyarakat.

Tantangan ke depan makin besar dan variatif, berbanding terbalik percepatan gerakan yang dibutuhkan untuk mengatasinya seperti kritik beberapa tokoh di atas. Oleh karena itu Muktamar 2020 ini adalah momen penting bagi Muhammadiyah untuk membebaskan diri keluar dari cangkang label modern yang disematkan sekian dekade lalu, dan lebih fokus pada gebrakan-gebrakan baru yang visioner sebagaimana dilakukan oleh generasi assabiquunal awwaluun Muhammadiyah.

Untuk itu Muhammadiyah harus berani melawan ketakutan-ketakutannya sendiri. Misalnya, harus diakui Muhammadiyah pernah takut menyematkan nama “Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam” dan di Muktamar Malang diganti menjadi “Majelis Tarjih dan Tajdid”, nama yang menurut banyak pihak kurang greget yang disebabkan ketakutan untuk menjadi liberal karena menyandang nama “Pengembangan Pemikiran Islam”. Sebuah ketakutan yang berlebihan dan tidak faktual, yang bahkan diduga disuntikkan oleh pihak yang mendorong konservatisme ke dalam Muhammadiyah.

Kalau dulu Kyai Suja’ berani berpikir melompat sehingga berdirilah klinik Muhammadiyah, padahal banyak ditentang karena tasyabbuh pada orang kafir, maka generasi sekarang setidaknya harus punya semangat dan keberanian yang sama. Berat? Ya tentu.. dan harus dilakukan. Kalau Kyai Suja’ saat itu kalah dengan tantangan yang berat itu, bangsa ini tidak akan memiliki 400an Rumah Sakit Muhammadiyah seperti sekarang ini.

Wallahu a’lam.

Sumber : Status Facebook Alim

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed