by

Stairway to Heaven

Oleh: Denny Siregar

Hal yang kita semua percayai adalah Tuhan ketika menciptakan sesuatu pasti tidak sia-sia.

Mulai dari tumbuh-tumbuhan yang berfungsi sebagai obat-obatan termasuk menyerap racun dalam udara, sampai ke hewan yang terkecil yang mampu memusnahkan organ-organ yang sudah tidak berguna. Alam seperti mesin besar yang masing2 bagiannya berfungsi untuk menyeimbangkan semesta ini.

Jika semua ciptaan Tuhan berfungsi, seharusnya begitu juga manusia. Lalu, apa fungsinya manusia terhadap alam jika alam sejak sebelum terciptanya manusia sudah mampu menyeimbangkan dirinya?

Manusia itu sebenarnya perusak keseimbangan alam. Nafsu mereka yang semakin lama semakin besar membuat alam semakin lama semakin mengecil. Banyak sekali bencana alam bukan karena alam itu sendiri yang berbuat, tetapi karena manusia-lah yang merusaknya.

Jika manusia tidak berguna untuk alam, lalu untuk siapa manusia berguna ? Ternyata, untuk manusia itu sendiri.

Keberadaan kita sebagai manusia seharusnya membuat kita ada bagi manusia lain. Tuhan memberi kita anugerah-anugerah yang berbeda di setiap manusia untuk membuat kelompok besar ini menyeimbangkan dirinya.

Anugerah berupa kemampuan khusus ini diberikan kepada manusia sesuai porsinya, karena adil itu bukan sama rata tetapi sesuai kemampuan. Ada yang diberikan kemampuan untuk menjadi dokter, ada yang menjadi petani, ada yang jiwanya menjadi pengusaha sangat kuat dan sebagainya. Tuhan menyematkan kemampuan itu melalui akal manusia, yang terus menerus mengalami pengembangan sesuai usaha manusia dalam mempelajarinya.

Dan kemampuan khusus itu juga berguna sebagai anak tangga menuju surga. Ketika kita mengenal keberadaan kita sebagai manusia, maka kita selayaknya mampu mem-fungsikan diri kita juga untuk membantu manusia. Kita akhirnya menjadi ada bagi manusia lain.

Ini sesuai dengan perkataan Imam Ali as ketika ditanya, “Wahai Imam, kenapa ada orang miskin ?” Lalu dijawab oleh Imam, “Karena ada orang kaya yang tidak membagi rejekinya.” Situasi inilah yang membuat ekosistem manusia menjadi tidak seimbang. Ketidak-seimbangan ini membawa dampak kebodohan dan kemiskinan yang menjadi dasar orang untuk berbuat jahat. Dan ketika orang jahat menjadi kaya, ia akan berlaku sama dengan orang kaya yang mencuri rejekinya yang dititipkan Tuhan untuknya. Terus begitu membentuk siklus.

Kita dengan rela menjual anak-tangga kita dengan dunia. Kita ada tetapi tidak ada. Kita sibuk menumpuk kekayaan, menjaga dengan sepenuh hati padahal kita sebenarnya tahu bahwa semua materi di dunia tidak akan pernah bisa kita bawa ke alam akhirat sedikitpun, karena disana yang dibawa adalah pertanggung-jawaban atas penggunaan materi yang kita miliki yang didapatkan dari anugerah yang diberikan Tuhan. 
Kita lupa, bahwa anugerah yang diberikan kepada kita selain menjadi peluang kita menuju surga, itu adalah amanat kita di dunia. Semakin kaya diri kita, semakin pintar kita, maka tanggung jawab kita semakin besar. Surga ditukar dengan dunia dan kita melakukannya dengan sadar.

Inilah yang nanti akan ditanya dengan detail terhadap pertanggung-jawaban anugerah berupa kemampuan khusus yang diberikan Tuhan kepada kita, untuk apa semua itu digunakan. Dan jika Tuhan adalah Maha, maka Ia juga Maha detail.

Ketika ternyata rejeki yang disalurkan kepada kita, kita tutup kerannya untuk orang lain sehingga membuat penampungan kita menjadi besar sampai tumpah2 dan mubazir, maka azab-lah yang kita dapatkan. Tidak mampu kita menjawab untuk apa saja miliaran aset yang kita punya. Untuk keluarga yang ditinggalkan ? Sedangkan doa mereka tidak menjamin siksaan terhadap kita berhenti, karena mereka juga akan mengulang hal yang sama dengan kita.

Memahami ini membutuhkan kesadaran yang tinggi, karena godaan duniawi ini sangat kuat. Kecintaan kita kepada dunia membuat kita terbentuk menjadi manusia yang egois, arogan dan semua berujung pada sifat dasar iblis yang membuatnya dikutuk, yaitu sombong.

Seorang teman bertanya, “bagaimana aku bisa mengenali anugerah khusus apa yg diberikan kepadaku karena aku sebenarnya tidak bisa apa-apa..”

Kuangkat secangkir kopi sambil tersenyum, “Berarti kamu sedikitpun tidak mengenal dirimu. Berusahalah mencarinya…” 

(Artikel diambil dari Facebook)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed