by

Spriral Kecantikan

Sampai kemudian, ketika saya duduk di bangku SMP, tante itu datang lagi ke rumah. “Kok jadi jelek kau sekarang,” kritik Mami. Saya kaget, bertanya dalam diri: kenapa orang cantik bisa jadi jelek? Di kesempatan lain Mami pernah bilang ke temannya, “kok jadi cantik kau sekarang?”

Apa yang berubah, pikir saya. Bukankah bentuk hidung, bibir, pipi, alis, dan lain-lain dari wajah orang tersebut tak berubah? Saya penasaran. 

Di kelas saya minta foto teman-teman perempuan. Sebanyak-banyaknya, kalau bisa satu foto untuk setiap tahun usia. Teman-teman berpikir saya menderita kegilaan temporal. Saya tak peduli.

Saya perhatikan foto Marini, sejak dia berusia 3 tahun, lalu 4 tahun, lalu, 5 tahun, hingga akhirnya di usia 13 tahun. Saya lakukan hal yang sama untuk 11 teman perempuan yang lain. Betul, ada pergerakan keindahan. Ada yang mulai usia 9 tahun mencantik, ada yang mulai usia 8 tahun—artinya, semula mereka tidak cantik, setidaknya menurut mata, persepsi, dan selera saya.

Ada yang semula cantik, dan sejak di usia 19 tahun menjelek. Semakin lama data semacam itu makin banyak. Saya mulai terheran-heran dan dengan nekad menarik kesimpulan. Tapi saya simpan dalam hati, tak saya ungkap ke orang lain.

Tahun lalu, dalam rangka mulai mencari pemeran Kenisha buat buku ANK, saya melakukan pengamatan terhadap beberapa perempuan. Instantaneously saya teringat dengan penelitian sinting di bangku SMP. Terhadap perempuan-perempuan tersebut saya minta foto-foto mereka di masa balita, pra-remaja, remaja, dan dewasa. Kembali saya temukan keanehan-keanehan—sekurangnya menurut versi saya.

Dengan berani saya lalu menyimpulkan bahwa evolusi kecantikan bergerak searah jarum jam. Seorang perempuan bisa terlihat cantik di usia 9 tahun, mencantik di tahun-tahun berikutnya sampai kemudian berada di titik puncak kecantikan pada usia 36, katakanlah begitu. Setelah itu kecantikannya bergerak turun—atau dalam bahasa saya: ‘menjelek’.

Karena Anda adalah mahluk hidup dalam satu garis waktu, maka siklus kecantikan tersebut bergerak searah spiral yang meliak-liuk di garis hidup Anda. Pertanyaan kemudian: berapakah rentang satu siklus? 

Mungkinkah seorang perempuan lahir sebagai bayi jelek, katakanlah di posisi 2 dari 10 sebagai posisi maksimum, lalu kecantikannya menanjak hingga di posisi 10 pada usia 18, lalu perlahan menjelek ke posisi 9, dan lalu 8, dan akhirnya di posisi 1 pada usia 36, kemudian mencantik lagi ke posisi 2 di usia 37 dan bergerak naik ke posisi berikutnya di tahun-tahun mendatang? 

Kalau itu yang terjadi maka dapat disimpulkan bahwa 1 siklus kecantikan Marini berdurasi 18 tahun.

Saya gak punya data selengkap itu. Kesimpulan belum bisa ditarik. Lagipula saya tidak bisa menetapkan di posisi berapa kecantikan Marini saat dia mbrojol dari vagina Bunda. Tapi saya yakin bahwa kecantikan adalah sebuah siklus.

Apa pun dalam hidup Anda menjalani siklus. Bagaimana dengan benda mati? Warna sebuah kursi setidaknya memudar. Apakah warna kursi tersebut menjalani siklus sehingga setelah pudar ia bergerak balik, menajam hingga memancarkan warna semula? Ternyata tidak. Kita lupakan itu sejenak. Saya bahas pekan depan.

Gregg Braden, geologist dan pembawa acara terkenal di science tv program di Amerika Serikat, punya teori lain tentang momen. Sebuah momen menjalani siklus, katanya. Kejadian membahagiakan yang kamu rasakan di usia 11 tahun, misalnya, akan terulang lagi di suatu saat dalam hidupmu tapi dalam bentuk lain. 

Maksudnya? Mari saya jelaskan.

Katakanlah kamu lulus dari bangku SD sebagai pelajar terbaik. Itu di usia 12 tahun. Momen tersebut sangat berkesan dalam hidupmu. Menurut Gregg itu akan terulang lagi di satu tahun tertentu dalam peristiwa berbeda namun dengan kualitas sukacita yang sama. 

Kapan itu akan terjadi? Gregg menawarkan sebuah formula: Golden Ratio. Itu lagi-lagi perbandingan dalam gerak spiral rantai DNA, antara panjang gelombang dan tinggi yang dicapainya: 34:21. Keduanya adalah bilangan berurut dalam sistem bilangan Fibonacci. Jika dibagi, hasilnya adalah 1.618. 

Dalam beberapa aplikasi 1.618 disingkat menjadi .618. Nah, oleh Gregg, 0.618 tersebut dikali dengan 12 tahun. Hasilnya, 7.416 tahun. Artinya, sukacita dengan kualitas serupa di wilayah peristiwa-serumpun dalam hidup si A akan berulang setiap 7.416 tahun.

Gak cuma untuk peristiwa yang menerbitkan sukacita dan kebanggaan, hukum yang sama juga berlaku bagi peristiwa yang menerbitkan duka dan rasa malu. Maksudnya? Katakanlah kamu pernah patah hati pada usia 18 tahun. Peristiwa itu menyakitkan dan berbekas dalam. 

Sesuai teori Gregg, peristiwa serupa bakal terjadi lagi di 18 X .618 tahun berikutnya. Angka itu menjadi durasi siklus, berulang lagi dan terus. Dalam bentuk apa? Bisa jadi di siklus berikutnya kamu mengalami patah hati lagi, atau dikhianati teman bisnismu. Dan di siklus berikutnya kamu dikhianati suamimu atau dikibuli sahabat terbaikmu. Macam-macam.

Saya sudah memeriksa rumus Gregg dalam serangkai peristiwa hidup saya. Hasilnya, 93% tepat. Saya pun tahu kapan riak berikutnya terjadi atas sebuah kebanggaan puncak yang saya alami sekian belas-puluh tahun lalu. 

Kembali ke teori saya tentang siklus kecantikan.

Apakah kecantikan seorang bayi adalah titik awal dari kecantikannya? Tidak. Ini berbeda dengan teori Gregg. Hemat saya, posisi kecantikan seseorang saat lahir bisa jadi berada di posisi 5 atau 7 atau 2 dari posisi 10 sebagai puncak. Dengan demikian, posisi awal ketika si bayi lahir merupakan kelanjutan dari posisi sebelumnya. 

Hah? Saya mengakui keberadaan reinkarnasi?

Belum bisa saya pastikan. Kalau pun ya, medan reinkarnasi tak harus merupakan apa yang sebelumnya terjadi di planet bumi. Boleh jadi Jennifer yang sekarang di bumi adalah reinkarnasi Jennifer yang dulu di planet X12A57. 

Saya doyan mengamati, dan karenanya meneliti, apa saja. Ada belasan rumus saya hasilkan, sementara masih saya simpan sendiri. Seorang teman bersaran agar saya mengirimkannya ke sekian jurnal bergengsi. Saya tak tertarik. Buat apa? Cuma dibaca ratusan orang. Sayang banget.

Itu akan bertaburan dalam quadrilogi “Adagium”. Tiga rumus hadir dalam “Adagium: Namaku Kenisha”.

Sabar, ya. Gak lama lagi, kok.

 

(Sumber: Facebook Sahat Siagian)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed