by

SOS Dunia Pendidikan Kita

 
Saya membayangkan anak-anak dengan wajah lucu dan pipi gembil. Lemak bayi belum seluruhnya pupus dari wajahnya. Anak-anak yang jika kita memandangnya bisa menghilangkan kepengapan hidup.
 
Mereka yang jika berselisih dengan temannya satu jam kemudian sudah tertawa-tawa lagi bersama. Guru-guru koplak itu datang untuk merusak dunianya yang ceria. Kebencian dijejalkan di kepala anak usia 5 tahun.
 
Saya juga pernah mendengar cerita seorang ibu yang aneh melihat anaknya usia 8 tahun belakangan lebih suka bermain di rumah. Dia malas bersosialisasi dengan teman-temannya. 
 
Setelah ditelusuri, anak-anak di kompleks perumahan menjauhi anaknya karena dia beragama kristen. “Saya sedih. Dulu waktu kecil saya bisa bermain bebas dengan semua teman muslim. Bahkan mama saya membelikan mukena untuk teman yang main ke rumah dan mau sholat,” kisahnya. Tapi kini putrinya dijauhi karena berbeda agama. 
 
Banyak kisah serupa terjadi. Sekolah-sekolah yang mestinya menjadi penyemai keluhuran sikap kemanusiaan kita jadi lembaga provokasi kebencian.
 
Yang paling parah bukan hanya membenci agama lain. Sekolah juga menjadi sarang memberangus cinta tanah air. Ada sekolah yang mengharamkan upacara bendera. Ada yang tidak mau lagi memperkenalkan lagu-lagu patriotisme. Alasannya karena bertentangan dengan Islam. Entah Islam seperti apa yang dimaksud. Biasanya sih, ini cara berfikir khas Wahabi.
 
Padahal lembaga agama seperti NU sudah berkali-kali menegaskan, cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Sebuah rumusan yang indah menyatukan keislaman dan keindonesiaan. 
 
Tapi kini sikap beragama model baru ingin dicekoki ke anak-anak kita. Sikap beragama yang mempertentangkan keindonesiaan dengan keislaman. Sikap beragama khas aliran Wahabi.
 
Betapa mengerikan ekspansi ajaran ini. Bahkan Taufik Ismail, penyair yang puisinya dijadikan referensi pelajaran bahasa Indonesia, kini terang-terangan mengharamkan lagu ‘Padamu Negeri’. Sebuah kesempitan cara berfikir.
 
Bukan hanya pada sekolah berbasis agama seperti SDIT yang mengajarkan muridnya mabuk agama. Guru-guru pada sekolah umum juga mulai ketularan sikap intoleran. 
 
Fenomana lain, HTI juga membangun jaringan sekolah. Mereka mengajarkan soal khilafah kepada muridnya. 
 
Saya rasa kini sekolah-sekolah kita sedang berada dalam situasi SOS. Bisa dibayangkan jika sekarang anak-anak kita dicekoki sikap intoleran dan kebencian pada tanah airnya sendiri, bagaimana mereka tumbuh nanti.
 
Singkatnya Indonesia yang seperti apa yang akan mereka tinggali nanti?
 
Saya rasa ada PR besar buat kita saat ini untuk menyadarkan sekolah agar tidak menjadi kecambah perpecahan. 
 
Guru-guru harus mulai disadarkan bahwa mentransformasi kebencian kepada anak didiknya sama saja dia sedang merusak masa depan bangsa ini. Apaguna pendidikan yang mereka ajarkan, jika justru menumpulkan nilai kemanusiaan. 
 
Saya rasa sudah saatnya prosesi sertifikasi guru oleh Kemendikbud juga memasukkan penilaian pada sikap intoleransi ini. Jangan biarkan siapa saja menyemai kebencian dan intoleransi di sekolah. Jangan beri kesempatan calon guru intoleran meracuni anak-anak kita.
 
Bagi orangtua murid, jangan mendiamkan jika kita tahu anak-anak kita dididik dengan kebencian. Capek-capek kita mengajarkan tentang kesantunan, sayang pada sesama dan menghargai kemanusiaan, tapi sekolah justru merusaknya.
 
Jika menemukan kasus intoleran terjadi di sekolah, bersikaplah dengan tegas. Protes dan tegur penanggungjawabnya. Kalau perlu umumkan di medsos nama sekolahnya. Agar calon orangtua murid lain lebih berhati-hati memilih sekolah untuk anaknya.
 
Menurut saya harus ada perlawanan serius. Ini berkenaan dengan masa depan Indonesia. Ini berkenaan dengan dunia seperti apa yang akan kita siapkan untuk anak-anak kita tumbuh nanti. 
 
Jika ujung dari agama menjanjikan surga, bagaimana mungkin bisa diraih dengan menciptakan neraka di bumi. Kebencian, perpecahan, intoleransi adalah neraka bagi kehidupan kita. 
 
Saya yakin semua agama mengajarkan raihlah surgamu dengan menciptakan surga di bumi : saling berkasih sayang, saling menghargai kemanusiaan dan saling membangun kepercayaan. Kita semua berperan untuk menciptakan surga kita masing-masing.
 
Cuma ajaran aneh saja yang berharap masuk surga dengan cara menciptakan neraka.
 
(Sumber: www.ekokuntadhi.com)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed