Dan para aktor intelektual kerusuhan Mei 2019 mencoba mengcopy paste kejadian kerusuhan Mei 1998. Tapi GAGAL TOTAL. Mengapa rencana jahat mereka gagal ? Karena latar belakang masalah dan kondisi obyektif sosial politik dan ekonomi negara saat ini sangat berbeda dengan tahun 1998.
Tahun 1998 kegeraman rakyat sudah mencapai titik puncak yang siap meledak melihat kelakuan koruptif, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh Soeharto dan kroni-kroninya. Ditambah kondisi ekonomi Indonesia saat itu yang jeblok, inflasi meningkat tajam, dolar melambung sangat tinggi sehingga nilai tukar rupiah anjlok di titik yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kemudian mahasiswa bergerak. Tapi gerakan mahasiswa tersebut dihadapi secara represif dari aparat keamanan waktu itu. Titik puncaknya pada saat terjadi penembakan para pahlawan reformasi yaitu beberapa mahasiswa Universitas Trisakti. Mahasiswa bukannya surut langkah tapi malah semakin beringas dan ekskalasinya semakin membesar dengan mencapai puncaknya dengan didudukinya Gedung DPR/MPR RI.
Waktu itu para elite politik di Senayan tidak berdaya, anggota parlemen menghilang menyembunyikan diri. Kekokohan fondasi politik Soeharto semakin runtuh saat beberapa anggota kabinetnya yang dimotori Ginanjar Kartasasmita dan Akbar Tandjung secara ramai-ramai mengundurkan diri untuk menyelamatkan diri. Apalagi ditambah Pimpinan DPR/MPR RI yang dipimpin Harmoko datang dan menyarankan Soeharto untuk secara sukarela mengundurkan diri. Pada saat itu sudah diprediksi kejatuhan Soeharto hanya tinggal menunggu hari.
Situasi yang rumit ini dimanfaatkan oleh beberapa penjahat di puncak kekuasaan untuk mengail di air keruh dengan memobilisasi massa liar untuk melakukan kerusuhan di Jakarta. Pembakaran dan penjarahan terjadi dimana-mana. Korban nyawa ratusan bahkan ribuan tak terhindarkan. Ekskalasi kerusuhan semakin tidak terkendali saat massa perusuh semakin liar dan sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Dan akhirnya terjadilah aksi kejahatan kemanusiaan yang paling biadab sepanjang sejarah negeri ini yaitu perundungan sexual secara massal yang korbannya adalah saudara kita etnis Tionghoa. Sejarah hitam negeri ini telah ditulis oleh para penjahat kemanusiaan.
Sejarah kelam ini yang dicoba diulang lagi oleh para penjahat kemanusiaan milenial yang tergabung dalam KPPSP (Kelompok Perusuh Pecundang Songong Permanen) pada Mei 2019 ini. Tapi mereka lupa latar belakang dan kondisi sosial politik dan ekonomi saat ini berbeda dengan tahun 1998. Latar belakang KPPSP untuk membuat kerusuhan hanya karena tidak mau legowo menerima kekalahan Pilpres 2019. Sebuah alasan yang norak bin kampungan. Cuiih …..
Disisi lain kondisi ekonomi Indonesia saat ini sedang moncer. Semua terkendali dengan baik. Kepuasan masyarakat terhadap hasil kerja Presiden Jokowi mencapai di atas angka 78%. Hubungan TNI, POLRI dan aparat keamanan lainnya dalam kondisi amat sangat SOLID. Kabinet Kerja Jokowi juga sangat solid dan full support kepada Presiden. Mayoritas elite politik di Senayan dan sebagian besar tokoh bangsa yang berpengaruh mendukung penuh Pemerintah. Disamping itu pengakuan dan dukungan dunia internasional terhadap kinerja Presiden Jokowi juga sangat tinggi.
Dengan kondisi di atas tidak ada alasan para mahasiswa dan rakyat yang logikanya waras mau turun ke jalan mendukung aksi dzolim gerombolan KPPSP.
Sejatinya aksi kerusuhan yang dilakukan oleh massa perusuh liar yang dimobilisasi oleh KPPSP sudah layu sebelum berkembang. Dukungan logistik kerusuhan seperti aksi menyelundupkan senjata ilegal yang dilakukan oleh Soenarko cs sudah digagalkan oleh aparat kepolisian. Dukungan teror dari kelompok Islam radikalis yang akan melakukan bom bunuh diri di tengah massa demo sudah berhasil digulung dengan sukses oleh POLRI. Dan terakhir konon kabarnya suplai dana operasional juga berhasil dihentikan oleh aparat keamanan kita.
Lalu mereka bisa apa ?
Dengan alasan yang sangat lemah dan tidak adanya dukungan logistik yang memadai apalagi tidak adanya dukungan aksi dari mahasiswa dan rakyat. Aksi kerusuhan yang diinisiasi oleh Amien Rais cs itu layu dan hanya menghasilkan letupan kecil yang dengan sangat mudah dipadamkan oleh POLRI yang dibantu penuh oleh TNI.
Aksi “playing victims” dengan mengorbankan perusuh dengan menembak dengan sniper kepada para perusuh juga begitu mudah diungkapkan oleh pihak kepolisian. Aksi penyebaran HOAX oleh kelompok begudalpun jadi letoy saat Pemerintah dengan cerdas memperlambat bahkan memblokir akses internet.
Mereka GAGAL TOTAL di segala lini. Pola kerusuhan ala Mei 1998 yang digabungkan dengan model revolusi Arab Spring yang menggunakan Hoax sebagai ujung tombak untuk memprovokasi massa telah gagal total secara memalukan.
Kini kita tinggal menunggu pentolan dan otak KPPSP diciduk oleh aparat kepolisian. Saya yakin POLRI yang didukung penuh oleh TNI dan aparat intelijen negara sudah memetakan siapa-siapa para penjahat itu untuk ditangkap satu persatu. Seperti teori makan bubur panas, Polri dengan tenang dan terukur sedang menyisir tokoh pinggiran tapi perlahan dengan pasti POLRI akan bergerak ketengah, ketengah dan puncaknya….. HAP biangnya ditangkap.
Kita lihat saja nanti….. Insyaallah mereka akan menikmati lebaran di dalam penjara. Semoga.
Salam SATU Indonesia,
Comment