by

Siasat Menteri Susi

Oleh: M Fajar Marta

“Kita hampir kehilangan semua kedaulatan atas sumber daya alam (SDA) kita. Minyak kita habis dieksploitasi asing, apakah masyarakat di kawasan penghasil minyak sejahtera?” begitu kalimat retorik Susi Pudjiastuti.

Masih menurut Susi, hutan kita sudah habis dibabat, apakah juga masyarakat di sekitar hutan sejahtera?

“Satu-satunya SDA yang masih kita kuasai penuh, yang kita masih berdaulat adalah laut. Mari kita jaga agar laut kita tidak jatuh ke tangan asing, mari kita jaga agar asing tidak bisa lagi menangkap ikan di laut kita,” katanya.

“Biarkan ikan di laut untuk masyarakat negeri kita sendiri, untuk nelayan-nelayan kita sendiri, supaya nelayan kecil menjadi makmur, agar anak-anak Indonesia berotak cerdas karena setiap hari bisa makan ikan, agar bangsa Indonesia yang besar ini tidak melulu dipermainkan bangsa lain, agar bangsa yang kaya ini bisa maju setara dengan bangsa-bangsa lain…!” lanjut Susi bersemangat.

Pernyataan Susi yang tampaknya ditujukan untuk menularkan energi nasionalisme itu disampaikan kepada ribuan orang civitas akademika Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan para stakeholder sektor perikanan di Kampus UMS, pekan lalu.

Rentetan kalimat tersebut sungguh menggetarkan, bukan hanya karena maknanya yang membangkitkan rasa kebangsaan, tapi juga karena merupakan jeritan hati terdalam Sang Menteri Susi, yang sepanjang masanya menjadi menteri, tak pernah berhenti “berperang” melawan kepentingan asing yang selama ini menjajah perairan Indonesia.

Ya, selama hampir dua tahun menjabat menteri kelautan dan perikanan, sebagian besar waktu Susi memang dihabiskan untuk “berperang” melawan praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (illegal, unreported, and unregulated fishing/IUU fishing) yang sebagian besar dilakukan kapal eks asing dan kapal asing pencuri ikan.

“Peperangan” itu dimulai Susi dengan mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) nomor 56 tahun 2014 tentang penghentian sementara (moratorium) izin kapal eks asing dan Permen nomor 57 tahun 2014 tentang larangan transhipment atau bongkar muat ikan di tengah laut.

Izin kapal eks asing dihentikan sementara karena banyak yang tidak melaporkan jenis dan jumlah ikan yang ditangkap. Selain itu, kapal eks asing pada kenyataannya masih dimiliki oleh asing.

Perubahan bendera kapal menjadi bendera Indonesia  ditengarai hanya untuk mengelabui petugas.

Saat ini, hampir semua kapal penangkapan ikan eks asing sudah tidak lagi diperpanjang izinnya untuk beroperasi di perairan Indonesia.

Kebijakan perempuan kelahiran Pangandaran itu dibarengi dengan langkah tegas meledakkan dan menenggelamkan kapal-kapal asing pencuri ikan, yang merupakan amanat Undang-undang.

Dalam menghadapi perang ini, Susi dibantu Satgas 115 yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 115 Tahun 2015.

Satgas  115 merupakan penyelenggara penegakan hukum satu atap (one roof enforcement system), yang terdiri atas unsur TNI AL, Polri, Bakamla dan Kejaksaan Republik Indonesia, sehingga memudahkan koordinasi, mendorong sinergi dan melaksanakan fungsi fasilitasi dalam memberantas illegal fishing untuk mencapai penegakan hukum yang adil dan memberikan efek jera.

Susi rela berperang untuk mengembalikan kedaulatan perairan Indonesia yang selama ini diinjak-injak pihak asing.

Strategi itu juga bertujuan untuk menanamkan fondasi yang kuat pada pembangunan industri perikanan yang berkesinambungan dan mandiri, yang ditandai dengan meningkatkan kesejahteraan nelayan dan sumbangsih sektor perikanan terhadap perekonomian nasional.

Langkah wanita berusia 51 tahun itu sejalan dengan gagasan Presiden Joko Widodo yang ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Mustahil Indonesia bisa menjadi poros maritim dunia jika tidak memiliki kedaulatan atas perairan sendiri dan tidak memiliki kemandirian dalam mengelola sumber daya alam perairan sendiri.

Sejauh ini, menteri yang baru saja mendapatkan penghargaan sebagai “Leaders for a Living Planet” dari organisasi konservasi World Wildlife Fund (WWF) International itu bisa dikatakan memenangi perang melawan kapal-kapal asing pencuri ikan.

Sejak didirikan pada 19 Oktober 2015, Satgas 115 telah menenggelamkan 200 lebih kapal ikan pelaku illegal fishing.

Sepak terjang Satgas 115 yang konsisten menangkap dan menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan telah terdengar di seantero dunia.

Perlahan-lahan dunia pun mulai menghormati kedaulatan maritim Indonesia. Kapal-kapal asing kini harus berpikir seribu kali untuk mencuri ikan di perairan Indonesia.

Bahkan, kini mereka bergidik dengan ketegasan Indonesia dalam menegakkan hukum di laut.

Sampai di sini, Menteri Susi seolah telah mengakhiri perang dengan kemenangan gemilang.

Apalagi, pemilik perusahaan penerbangan Susi Air ini juga berhasil mengegolkan sektor perikanan tangkap dalam daftar negatif investasi untuk investasi asing.

Presiden Jokowi, yang juga ingin menegakkan kedaulatan di laut, akhirnya mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2016 yang mengatur Daftar Negatif Investasi (DNI).

Dalam perpres tersebut, usaha perikanan tangkap terlarang bagi pemodal asing. Ini berarti, asing hanya diperbolehkan menanamkan modal dalam industri pengolahan.

 

Perang belum selesai

Namun ternyata, perang yang dihadapi Susi tak pernah benar-benar selesai. Perang melawan illegal fishing ternyata hanya antara yang membawa Susi untuk menghadapi perang yang lain, yakni perang melawan para pihak yang setuju asing masuk kembali ke sektor perikanan tangkap Indonesia.

Belakangan memang ramai pro dan kontra soal boleh tidaknya investasi asing dalam sektor perikanan tangkap. Kedua pihak saling melontarkan argumen yang meyakinkan mengapa investasi asing boleh atau tidak boleh.

Menko Maritim Luhut B Pandjaitan merupakan salah satu pihak yang mewacanakan membuka peluang kapal asing masuk dalam bisnis penangkapan ikan di Tanah Air.  

Luhut berargumen, seiring menurunnya aksi pencurian ikan akibat tindakan tegas Menteri Susi, ikan kini melimpah ruah di perairan Indonesia, contohnya di Natuna.

Sayangnya, potensi itu belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh nelayan dan kapal ikan dalam negeri.

Padahal, pasokan ikan sangat diperlukan untuk mendorong kapasitas industri perikanan di tanah air yang belum berkembang.

Apalagi, Presiden Jokowi juga mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional. 

Posisi Susi makin tertekan karena kolega yang juga sahabatnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta Susi segera meningkatkan kontribusi sektor perikanan terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) negara.

Industri perikanan tumbuh

Susi jelas meradang dengan wacana dibukanya kembali investasi asing di sektor perikanan tangkap. Sebab, ia telah berjuang mati-matian untuk menyingkirkan pihak asing dari perairan Indonesia.

Menurut susi, sejak pelarangan kapal eks asing dan pembasmian besar-besaran kapal asing pencuri ikan, potensi ikan di perairan Indonesia memang meningkat pesat.

Hasil kajian Komnas Pengkajian Sumber Daya Ikan (Kajiskan) dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) menunjukkan bahwa potensi ikan yang bisa ditangkap secara lestari (maximum sustainable yield/MSY) meningkat pesat dari 7,31 juta ton pada 2013 menjadi 9,93 juta ton pada tahun 2015.

Hal itu menunjukkan habitat dan ekosistem yang lebih sehat telah terbangun di perairan Indonesia. Tidak hanya jumlah ikan yang bisa ditangkap semakin banyak, tetapi ukuran ikan juga semakin besar.

Pelarangan kapal eks asing dan pembasmian pencurian ikan nyatanya telah memberikan kesempatan pada alam untuk merestorasi dirinya. Induk-induk ikan dapat bertelur dengan tenang, juvenil-juvenil ikan dapat tumbuh hingga dewasa karena tak keburu tertangkap.

Sementara itu hasil Kajian University of California Santa Barbara AS dan Balitbank KP tahun 2016 juga menunjukkan, pemberantasan ilegal fishing telah mengurangi 30 – 35 persen eksploitasi perikanan di perairan Indonesia.

Sebaliknya, jika tidak ada kebijakan IUU, biomassa ikan di Indonesia akan turun hingga 81 persen pada tahun 2035.

Riset itu juga menjelaskan, jika kebijakan IUU dilanjutkan dengan tata kelola perairan yang baik, maka biomassa ikan akan naik hingga 25 persen pada tahun 2035.

Bahkan, apabila terus konsisten, pada tahun 2050, biomassa ikan di perairan Indonesia akan naik hingga 224 persen, meningkatkan tangkapan hingga 100 persen, dan menambah keuntungan hingga 3,7 miliar dollar AS.

Potensi ikan yang melimpah ruah tesebut kini dinikmati oleh nelayan dan pelaku industri perikanan di Tanah Air. Jadi, kata Susi, tidak benar jika potensi tersebut tidak bisa dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia.

Susi lalu membeberkan sejumlah indikasi yang menunjukkan industri perikanan dalam tren meningkat saat ini.

Pada akhir tahun 2015, produk domestik bruto (PDB) sektor perikanan mencapai Rp 267,75 triliun, meningkat 8,4 persen dibandingkan tahun 2014 yang senilai Rp 247 triliun.

Petumbuhan PDB perikanan tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan PDB nasional yang sebesar 4,79 persen. Pertumbuhan PDB sektor perikanan tahun 2015 merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir.

Tumbuhnya sektor perikanan juga terindikasi dari meningkatnya kesejahteraan nelayan. Nilai tukar nelayan, sebagai indikator kesejahteraan nelayan, mencapai 108,89 pada Juli 2016 berdasarkan data BPS.

Angka nilai tukar nelayan terus meningkat sejak tahun 2014. Nelayan makin sejahtera jika nilai tukarnya semakin besar.

Kontribusi sektor perikanan terhadap penerimaan negara juga mulai meningkat. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor perikanan per Agustus 2016 mencapai Rp 279,74 miliar.

Angka ini meningkat signifikan dibandingkan keseluruhan tahun 2015 yang hanya sekitar Rp 140 miliar.

Meningkatnya potensi perikanan Indonesia  membuat investor baik asing maupun domestik semakin tertarik menanamkan modalnya di sektor perikanan Indonesia.

Buktinya, realisasi investasi sektor kelautan dan perikanan pada triwulan II 2016 mencapai Rp 5,56 triliun, meningkat 65,71 persen  dibandingkan realisasi investasi pada triwulan I 2016.

Besarnya pasokan ikan dan tumbuhnya industri-industri pengolahan baru akhirnya mendorong volume ekspor perikanan Indonesia selama semester I 2016 naik 7,34 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

Di sisi lain, impor sektor perikanan terus menurun. Nilai impor hasil perikanan pada 2015 sebesar 370,2 juta dollar AS, atau hanya 9,3 persen dari nilai ekspor produk perikanan yang sebesar 3,94 miliar dollar AS. Meningkatnya pasokan ikan di dalam negeri juga turut andil mengurangi impor tepung ikan dari negara lain.

Ekspor tuna, tongkol, cakalang Indonesia pada periode Januari – september 2015 tumbuh 25,19 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

Sementara, negara eksportir besar seperti Thailand dan Filipina malah tumbuh negatif. Alasannya jelas, sejak kebijakan IIU fishing diberlakukan, oleh Menteri Susi, pasokan ikan curian ke Thailand dan Filipina menurun drastis.

“Jadi, tidak benar jika dikatakan potensi perikanan kita tidak bisa dimanfaatkan. Sekarang, seluruh tangkapan di laut dihasilkan oleh nelayan dan kapal bangsa sendiri. Kita harus mandiri karena kita adalah bangsa bahari. Masak bangsa pelaut seperti kita tidak bisa menangkap ikan? Masuknya asing hanya akan menghambat kita untuk mandiri dan perlahan-lahan akan kembali menginjak-injak kedaulatan kita di laut,” kata ibu tiga anak ini.

Menteri nyentrik ini juga membantah bawah kapal-kapal nasional belum bisa menggantikan kapal-kapal eks asing yang telah dilarang beroperasi.

Pada akhir 2014, terdapat 643.100 unit perahu atau kapal perikanan. Rinciannya, 41 persen merupakan perahu motor tempel, 27 persen perahu tanpa motor, dan 32 persen kapal motor.

Nah, kapal eks asing masuk dalam golongan kapal motor (KM) berukuran di atas 30 GT. Dari total kapal motor perikanan di Indonesia, jumlah kapal motor eks asing tidak sampai satu persennya.

“Ketiadaan kapal-kapal eks asing itu justru bagus karena pasarnya bisa diambil kapal nasional. Jangan salah lho, banyak kapal nasional yang besar-besar juga,” kata tokoh yang mengenyam pendidikan formal hanya sampai kelas II SMA itu.

Menurut Susi, sudah berpuluh-puluh tahun asing diberi izin untuk berinvestasi di sektor perikanan tangkap.

Namun, faktanya tak ada manfaat signifikan yang diperoleh negara. Yang ada, perairan Indonesia hancur akibat over fishing dan pencurian ikan.

Pihak asing tentu saja tidak mau bangsa Indonesia maju dan mampu mengelola sendiri sumber daya lautnya.

Tahu apa sebabnya? Karena asing mengetahui kekayaan laut kita sangat besar. Jika kita mampu mengelola sendiri laut kita, maka kita akan menjadi negara besar. Itulah yang ditakutkan asing**

Sumber : kompas.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed