by

Setelah Fahri Dipecat, Mungkinkah Muncul PKS Perjuangan?

Oleh : Muhammad As Hikam

Pertanyaan ini bisa saja dianggap terlalu mengada-ada oleh sebagian orang, khususnya para pendukung PKS. Tetapi dalam politik, tidak ada hal yang tidak mungkin. Misalnya, jika lima tahun lalu ada orang yg mengatakan bahwa seorang Fahri Hamzah (FH) akan dipecat oleh PKS, saya rasa anda akan menjawab bahwa itu adalah sebuah “hil yang mustahal.” Dan tentu saja dalam konteks lima tahun lalu, anda tidak terlalu salah jika bilang demikian.

Bisa dikatakan bhw FH ibarat “bintang kejora” partai Islam tsb yang kiprahnya sangat bersinar dan menjadi semacam ikon bagi para kader, anggota, simpatisan dan khususnya anak muda di PKS. FH barangkali adalah salah satu politisi muda yg paling cepat moncer dalam perpolitikan pasca-reformasi. Dan keberhasilan itu bukanlah karena dia dikatrol oleh elite partainya atau karena sebuah kebetulan belaka. FH muncul, berkembang, dan bersinar namanya karena aktivismenya, pengalamannya, kemampuannya, dan kepiawaiannya menjadi seorang politisi yang mumpuni dan populer. Orang boleh saja tidak setuju, tidak suka, atau bahkan marah thd sosok politisi yang satu ini, karena statemen-2nya yg sering bikin panas telinga, dan manuvernya yg sering beda dengan imaji partai Islam seperti PKS. Tapi sulit dibantah bhw FH adalah fenomena politisi muda pasca-reformasi yg memiliki warna tersendiri dan sekaligus kontroversial, karena tidak selalu ‘pas’ dengan citra konservatif seperti PKS itu.

Dalam setiap partai, serigid apapun, pasti akan ada faksi-faksi di elitenya. Tak terkecuali PKS yg di dlm elitenya, konon, terdapat dua faksi yg berkompetisi, yaitu Faksi “Keadilan” dan faksi “Sejahtera”. FH mungkin termasuk dalam kubu yg disebut terakhir itu: sosok politisi yg cenderung pragmatis dalam menyikapi dinamika politik dan partainya. Pandangan-2 dan manuver politiknya dengan demikian seringkali melawan citra yg ingin ditampilkan PKS sebagai sebuah ‘partai dakwah’. Kiprah FH yang ‘kontroversial’, antara lain mendukung pembubaran KPK, mendukung megaproyek DPR, membela mantan Katua DPR Setya Novanto (SN), mendukung revisi UU KPK, bisa dianggap oleh kubu ‘Keadilan’ sebagai sikap yang kebablasan dan ‘mencoreng’ karakter partai dakwah tsb. Ditambah lagi dengan cara FH berkomunikasi publik yg spontan, terang-2an, dan tak jarang juga vulgar (misalnya, menyebut adanya anggota DPR yg rada-2 blo’on), dg mudah digunakan sebagai justifikasi bhw wakil Ketua DPR itu tdk mencerminkan citra PKS sbg partai yg santun, bersih, dan intelektual.

Namun keputusan pimpinan DPP PKS utk memecat FH bukanlah hanya urusan kepribadian dan pembangkangannya, seperti yg pernah dilontarkan oleh Presiden PKS, M. Sohibul Iman (MSI) di media. Pemecatan FH, hemat saya, memiliki akar lebih dalam: ia merupakan manifestasi dinamika konflik internal dalam elite PKS pasca-lengsernya Anis Matta (AM), yg juga memiliki paradigma politik yg kurang lebih sama dengan FH. Faksi Keadilan yg didominasi para ‘old guards’, menginginkan kembalinya kontrol mereka dlm elite partai dan kebijakan politiknya. Kasus korupsi yang melibatkan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq (LHI) yg berdampak sangat serius bagi partai tsb, dijadikan sebagai alasan kuat bahwa kubu pragmatis mesti dikendalikan dan dikontrol pengaruhnya. Dan sikap tegas terhadap politisi pragmatis seperti FH adalah sebuah momentum, sekaligus pesan kepada para anggota dan kader PKS, bahwa mereka benar-benar serius utk mengambil alih kendali organisasi.

 

Jika analisa ini ada benarnya, kasus pemecatan FH dan perlawanan yang bersangkutan thd DPP PKS bukanlah sebuah ‘open and closed case’ yg bisa diremehkan implikasinya. Ia masih punya potensi berbuntut panjang manakala pimpinan PKS menempuh “jalan pedang” dan menggunakan “tangan besi.” Secara legal formal, bisa saja FH akan dikalahkan oleh DPP PKS di Pengadilan, seperti dlm banyak kasus pemecatan anggota partai-2 politik lainnya yg sudah pernah terjadi. Namun FH tentu bukan tanpa pendukung baik di dalam elite PKS maupun di daerah-2 bahkan di kalangan kelompok muda seperti ormas kamahasiswaan yg berafiliasi dg PKS, yaitu KAMMI.

Jika para petinggi PKS tetap memakai pendekatan legalistik seperti itu, FH dan para pendukungnya bukan tak mungkin melakukan perlawanan dg strategi ‘perang berlarut’. Ini jelas akan merugikan PKS di 2019 sebab parpol-2 lawannya tentu akan memanfatkan kondisi tsb. Lebih parah lagi jika perlawanan ini berujung pd munculnya aspirasi dan gerakan ‘tandingan’ di dalam partai Islam tsb. Walaupun PKS dikenal sebagai parpol berbasis kader yg solid dan memiliki kultur politik yg menjunjung loyalitas thd pimpinan, tetapi kemungkinan seperti itu tidak bisa diabaikan. Apalagi dlm lingkungan perpolitikan sampai saat ini, dimana aparat Pemerintah cenderung melibatkan diri dlm konflik internal partai, maka aspirasi ‘tandingan’ semacam itu mudah merebak (baik karena dinamika konflik internal maupun dorongan dari luar).

Berkaca kepada pengalaman partai-2 Golkar dan PPP, sebuah PKS “Perjuangan” bukanlah suatu ‘hil yg mustahal’. Na’udzubillah min dzalik…!!** (ak)

Sumber tulisan : Facebook Muhammad AS HIkam

Sumber foto :teropongsenayan.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

by

Setelah Fahri Dipecat, Mungkinkah Muncul PKS Perjuangan?

Oleh : Muhammad As Hikam

Pertanyaan ini bisa saja dianggap terlalu mengada-ada oleh sebagian orang, khususnya para pendukung PKS. Tetapi dalam politik, tidak ada hal yang tidak mungkin. Misalnya, jika lima tahun lalu ada orang yg mengatakan bahwa seorang Fahri Hamzah (FH) akan dipecat oleh PKS, saya rasa anda akan menjawab bahwa itu adalah sebuah “hil yang mustahal.” Dan tentu saja dalam konteks lima tahun lalu, anda tidak terlalu salah jika bilang demikian.

Bisa dikatakan bhw FH ibarat “bintang kejora” partai Islam tsb yang kiprahnya sangat bersinar dan menjadi semacam ikon bagi para kader, anggota, simpatisan dan khususnya anak muda di PKS. FH barangkali adalah salah satu politisi muda yg paling cepat moncer dalam perpolitikan pasca-reformasi. Dan keberhasilan itu bukanlah karena dia dikatrol oleh elite partainya atau karena sebuah kebetulan belaka. FH muncul, berkembang, dan bersinar namanya karena aktivismenya, pengalamannya, kemampuannya, dan kepiawaiannya menjadi seorang politisi yang mumpuni dan populer. Orang boleh saja tidak setuju, tidak suka, atau bahkan marah thd sosok politisi yang satu ini, karena statemen-2nya yg sering bikin panas telinga, dan manuvernya yg sering beda dengan imaji partai Islam seperti PKS. Tapi sulit dibantah bhw FH adalah fenomena politisi muda pasca-reformasi yg memiliki warna tersendiri dan sekaligus kontroversial, karena tidak selalu ‘pas’ dengan citra konservatif seperti PKS itu.

Dalam setiap partai, serigid apapun, pasti akan ada faksi-faksi di elitenya. Tak terkecuali PKS yg di dlm elitenya, konon, terdapat dua faksi yg berkompetisi, yaitu Faksi “Keadilan” dan faksi “Sejahtera”. FH mungkin termasuk dalam kubu yg disebut terakhir itu: sosok politisi yg cenderung pragmatis dalam menyikapi dinamika politik dan partainya. Pandangan-2 dan manuver politiknya dengan demikian seringkali melawan citra yg ingin ditampilkan PKS sebagai sebuah ‘partai dakwah’. Kiprah FH yang ‘kontroversial’, antara lain mendukung pembubaran KPK, mendukung megaproyek DPR, membela mantan Katua DPR Setya Novanto (SN), mendukung revisi UU KPK, bisa dianggap oleh kubu ‘Keadilan’ sebagai sikap yang kebablasan dan ‘mencoreng’ karakter partai dakwah tsb. Ditambah lagi dengan cara FH berkomunikasi publik yg spontan, terang-2an, dan tak jarang juga vulgar (misalnya, menyebut adanya anggota DPR yg rada-2 blo’on), dg mudah digunakan sebagai justifikasi bhw wakil Ketua DPR itu tdk mencerminkan citra PKS sbg partai yg santun, bersih, dan intelektual.

Namun keputusan pimpinan DPP PKS utk memecat FH bukanlah hanya urusan kepribadian dan pembangkangannya, seperti yg pernah dilontarkan oleh Presiden PKS, M. Sohibul Iman (MSI) di media. Pemecatan FH, hemat saya, memiliki akar lebih dalam: ia merupakan manifestasi dinamika konflik internal dalam elite PKS pasca-lengsernya Anis Matta (AM), yg juga memiliki paradigma politik yg kurang lebih sama dengan FH. Faksi Keadilan yg didominasi para ‘old guards’, menginginkan kembalinya kontrol mereka dlm elite partai dan kebijakan politiknya. Kasus korupsi yang melibatkan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq (LHI) yg berdampak sangat serius bagi partai tsb, dijadikan sebagai alasan kuat bahwa kubu pragmatis mesti dikendalikan dan dikontrol pengaruhnya. Dan sikap tegas terhadap politisi pragmatis seperti FH adalah sebuah momentum, sekaligus pesan kepada para anggota dan kader PKS, bahwa mereka benar-benar serius utk mengambil alih kendali organisasi.

 

Jika analisa ini ada benarnya, kasus pemecatan FH dan perlawanan yang bersangkutan thd DPP PKS bukanlah sebuah ‘open and closed case’ yg bisa diremehkan implikasinya. Ia masih punya potensi berbuntut panjang manakala pimpinan PKS menempuh “jalan pedang” dan menggunakan “tangan besi.” Secara legal formal, bisa saja FH akan dikalahkan oleh DPP PKS di Pengadilan, seperti dlm banyak kasus pemecatan anggota partai-2 politik lainnya yg sudah pernah terjadi. Namun FH tentu bukan tanpa pendukung baik di dalam elite PKS maupun di daerah-2 bahkan di kalangan kelompok muda seperti ormas kamahasiswaan yg berafiliasi dg PKS, yaitu KAMMI.

Jika para petinggi PKS tetap memakai pendekatan legalistik seperti itu, FH dan para pendukungnya bukan tak mungkin melakukan perlawanan dg strategi ‘perang berlarut’. Ini jelas akan merugikan PKS di 2019 sebab parpol-2 lawannya tentu akan memanfatkan kondisi tsb. Lebih parah lagi jika perlawanan ini berujung pd munculnya aspirasi dan gerakan ‘tandingan’ di dalam partai Islam tsb. Walaupun PKS dikenal sebagai parpol berbasis kader yg solid dan memiliki kultur politik yg menjunjung loyalitas thd pimpinan, tetapi kemungkinan seperti itu tidak bisa diabaikan. Apalagi dlm lingkungan perpolitikan sampai saat ini, dimana aparat Pemerintah cenderung melibatkan diri dlm konflik internal partai, maka aspirasi ‘tandingan’ semacam itu mudah merebak (baik karena dinamika konflik internal maupun dorongan dari luar).

Berkaca kepada pengalaman partai-2 Golkar dan PPP, sebuah PKS “Perjuangan” bukanlah suatu ‘hil yg mustahal’. Na’udzubillah min dzalik…!!** (ak)

Sumber tulisan : Facebook Muhammad AS HIkam

Sumber foto :teropongsenayan.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed