by

Sesat Pikir Fahri Hamzah

Begitu pula di era pemerintahan Presiden Jokowi, kader-kader partai politik pendukung pemerintah mulai dari PDI Perjuangan, Nasdem, dan Golkar. Masih segar dalam ingatan bagaimana Ketua DPRD Mojokerto dari PDIP dan Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Patrice Rio Capella menjadi pesakitan KPK.

Bahkan KPK mengusut keterlibatan adik ipar Presiden Jokowi dalam kasus pajak. Presiden pun menghagai upaya KPK yang tak pandang bulu dan menyerahkan hal tersebut sepenuhnya kepada KPK. Apa pun partai politiknya, pendukung pemerintah atau oposisi, kalau memang terbukti korupsi, pasti berurusan dengan KPK.

Kalau Fahri Hamzah memiliki bukti “bisnis penangkapan oleh KPK” mengenai ini, tunjukkan saja kepada publik dan bawalah ke pengadilan. Fahri harus menunjukkan apa yang dimaksud bisnis penangkapan, siapa yang melakukan bisnis, siapakah yang menerima dana, berapa dananya, untuk apa dana tersebut, dan seterusnya. Semua ini harus jelas kalau tidak mau disebut asal bunyi alias asbun.

Fahri Hamzah bukan aktivis jalanan atau pengamat TV biasa, dirinya adalah seorang pimpinan DPR. Karena itu, kita mengharapkan omongan seorang pimpinan DPR disertai oleh bukti yang konkret. Jika Fahri Hamzah tidak memiliki bukti yang jelas, diam adalah pilihan yang bijak. Jangan sampai rakyat tidak mau lagi percaya dengan wakilnya. Buktinya saat ini saja survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) periode 4-20 Mei 2017 menyebutkan hanya 6,1% rakyat Indonesia yang percaya kepada DPR.

Lebih baik Fahri Hamzah memikirkan caranya meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap lembaga yang (seharusnya) mewakili mereka, dibanding sibuk merecoki lembaga pemberantasan korupsi yang sangat dipercaya oleh rakyat.

Ketiga, pernyataan Fahri Hamzah yang teraneh dari yang paling aneh adalah soal bagaimana KPK sebenarnya bukan lembaga yang sukses. “Pertanyaannya kok #15TahunKPK OTT makin banyak? Bukankah ini pengakuan korupsi tambah banyak? Lalu sukses KPK di mana?” cuit Fahri Hamzah (20/06/2017).

Sejak berdiri KPK berhasil menangkap 124 anggota DPR, 17 Gubernur, dan 58 Wali Kota/Bupati. Ini belum termasuk menteri, hakim, ketua lembaga tinggi negara, pejabat eselon, hingga swasta.

Banyaknya penangkapan KPK justru membuktikan bahwa KPK menjalankan fungsi penegakan hukumnya. Saya heran mengapa Fahri Hamzah menyatakan demikian. Ini mudah dijawab: bagaimana korupsi bisa habis kalau koruptor tidak ditangkapi? Menangkapi para koruptor yang selama ini biasa hidup enak dari mencuri uang rakyat adalah upaya menghabisi korupsi. Korupsi pasti terus berjaya kalau tidak ada efek jera.

Seharusnya Fahri Hamzah justru berkaca terhadap lembaga yang ia pimpin. Selama ini kinerja DPR selalu di bawah target. Pada tahun 2015, ada 39 rancangan undang-undang (RUU) yang harus diselesaikan DPR, faktanya hingga akhir tahun hanya tiga undang-undang yang berhasil diselesaikan. Tahun 2016 pun begitu, dari 50 RUU yang menjadi prioritas DPR, hanya sembilan yang selesai. Ini membuktikan bahwa kinerja DPR masih jauh di bawah target dan belum efektif.

Intinya, saya bingung kenapa Fahri Hamzah begitu getol menyerang KPK. Ada apa sebenarnya? Apakah Fahri Hamzah lupa bahwa memberantas korupsi adalah amanat reformasi? Seharusnya sebagai seorang pimpinan DPR dan MPR, Fahri Hamzah sadar bahwa amanat pemberantasan korupsi juga tertuang dalam TAP MPR XI/98 tentang PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME.

Ini kemudian diturunkan menjadi UU No 20/2001 yang menyatakan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Ini karena korupsi telah terjadi secara sistematis dan merasuki sendi-sendi kehidupan berbangsa kita. Itulah mengapa KPK dibentuk karena dirasa perlu ada lembaga khusus yang menangani kejahatan luar biasa ini.

Meskipun pemikiran ini sudah saya tuangkan dalam kultwit, saya kecewa dengan jawaban Fahri Hamzah yang tidak substantif. Dari rangkaian tweet saya tersebut, Fahri Hamzah hanya menjawab bahwa indikator kesuksesan KPK adalah jika korupsi sudah tidak ada lagi. Seperti yang sudah saya jelaskan, bagaimana korupsi mau hilang kalau koruptornya tak ditangkap?

Fahri Hamzah juga lebih memilih mengajak bertemu di DPR agar bisa menjelaskan dengan detail permasalahan ini. Saya bingung, apa kaitannya dengan datang ke DPR? Yang membutuhkan penjelasan atas setiap pernyataan Fahri Hamzah adalah publik yang menggaji Fahri Hamzah lewat uang pajaknya, bukan hanya saya saja.

Isu hak angket  KPK merupakan isu publik, bukan isu pribadi. Jadi, kalau memang ingin bertemu untuk menjelaskan ini semua, mengapa tak membuatnya menjadi debat terbuka saja agar publik bisa menilai?

Lebih-lebih lagi saya dikecewakan oleh tanggapan Fahri Hamzah mengenai tweet saya yang sebagai rakyat merasa tak terwakili oleh sikap Fahri Hamzah dengan menyebut: “Rakyat gak seragam mba.. ada lebih banyak yang cerdas,” katanya. Wah apakah 64,4% rakyat yang dalam survei SMRC menyatakan mendukung KPK dikategorikan tidak cerdas oleh Fahri Hamzah? Sayang ia tak mau menjawab ini.

Lebih disayangkan pula, Fahri Hamzah mempermasalahkan saya yang bukan berasal dari Dapil NTB. Aduh Pak Fahri, sadarlah bahwa Bapak ini anggota dan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, bukan hanya Dewan Perwakilan Rakyat NTB. Uang pajak saya juga dipakai untuk membayar fasilitas yang Bapak pakai lho sebagai pimpinan DPR, masa yang boleh mengkritik hanya kalau satu dapil saja?

Kalau memang betulan pimpinan DPR, bukan sekadar ilusi, harusnya mau berdialog dengan seluruh rakyat Indonesia. Apalagi ketika Bapak mengetuk palu angket itu, yang terdampak oleh keputusan itu bukan hanya rakyat NTB, kan?

Kalaupun Bapak memang begitu sensi dengan KPK, tolong berikan argumen yang sehat. Seperti kata Ray Rangkuti dalam salah satu dialog di Kompas TV, tugas Bapak sebagai pimpinan DPR bukan hanya melakukan pengawasan, tapi juga mengedukasi publik. Jangan suguhi publik dengan pernyataan-pernyataan yang tidak berdasar. Ingatlah, Pak Fahri, Bapak ini seorang anggota dewan yang terhormat. Jika Bapak ingin DPR dihormati, seharusnya Bapak menjunjung tinggi lembaga ini dengan sikap-sikap yang terhormat pula.

Ya.. kalau sebutan bahwa saya ini anak baru atau partai baru tidak apa-apalah. Tidak salah dan tidak malu, kok, menjadi baru. Meskipun sebutan ini menambah daftar sesat pikir Bapak di mata saya. Sejak kapan usia seseorang menjadi dasar penilaian benar atau salahnya suatu argumen?

Justru saya malu kalau masih muda dan masih baru tapi tidak berani bersuara lantang membela pemberantasan korupsi.

Sumber : geotimes

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed