by

Serendah-Rendahnya

“Aku jual rumahku di Menteng, pindah ke kawasan Bekasi, menggunakan selisih penjualan dan pembelian ke dalam bisnis baru. Gak mudah. Para supplier tak lagi melihatku mengkilap. Term of payment yang mereka ajukan terasa mencekik. Kepingin rasanya gua gampar muka-muka mereka karena begitu gampang melupakan masa-masa gemilang gua. Ini gua, Franky, yang dulu membanjiri toko lu pade dengan order sebukit. Anjing.”

Saya menyela dengan meneguk teh.

“Tapi segera gua ingat bahwa perlakuan mereka wajar. Dulu gua mentereng, semua orang percaya dengan kesanggupan-bayar gua. Sekarang gua keré. Tentu mereka menyangsikan apa gua sanggup bayar tepat-waktu atau malah mundur 1-2 bulan. Gua putuskan untuk menerima perlakuan mereka dengan senyum.

Mertua gua lebih sadis lagi. Tahu bahwa puterinya hidup seperempat abad di dalam lingkungan mewah, dan menerus di 15 tahun berikutnya bersama kemewahan yang gua berikan, tentu mareka kuatir Nita sanggup menjalani kesederhanaan hidup hari ini. Mereka suruh gua jual mobil dan meminjamkan mobilnya untuk gua pakai.

Mereka paksa gua beli rumah sederhana yang jaraknya cuma seperempat kilo dari rumah mereka agar mereka bisa pastikan dapur kami terus berasap untuk memberi makan puteri dan 3 cucu mereka. Kadang ibu mertua gua datang ke rumah meriksa isi kulkas, meriksa dapur, pengen tahu apakah persediaan beras cukup, apakah telur tersedia paling nggak selusin, dan macam-macam inspeksi lain. Begitu beras tinggal 2 kilo, sopir mereka datang bawa beras Cianjur sekarung. Gua gak lagi punya harga.”

“Lu dihina mareka?”

“Secara langsung, nggak. Tapi repetan-repetan, yang menyindir kecerobohan gua berbisnis, gak pernah stop terdengar saban kami pulang bareng dari gereja.”

“Lu merasa terhina?”

“Ya, nggaklah. Gua dulu menerima pujian pas gua di atas, dan gua gak keberatan. Sekarang gua menerima hinaan pas gua berada di bawah, masak gua keberatan. You need to be fair, Sahat. Selega itu dulu elo menerima pujian, serela itu juga gua sekarang menerima hinaan.”

“Gak lu sesali keroyalan lu dulu pas lagi jaya?”

“Gak. Gua syukuri bahwa gua pernah mengalami itu. Makanya sekarang gua gak kaing-kaing ngadu ke Tuhan, protes kenapa gua miskin. Gak. Gua jalani kesederhanaan ini dengan hati girang, segirang gua dulu menikmati kemewahan.”

“Trus bagaimana lu berhadapan dengan mereka yang meremehkan lu sekarang?”

“Gua rendahkan diri gua serendah-rendahnya agar gak ada lagi ruang bisa mereka temukan untuk merendahkan gua. Selesai.”

“Ngapain lu ngundang gua makan siang ini?”

“Mau pamer.”

“Pamer apa?”

“Pamer kesiapan gua untuk berjaya di segala musim.”

“Katanya mau merendahkan diri?”

“Ini buktinya. Di depan elo yang maha tinggi, gua bawa diri gua apa adanya.”

“Bangsat lu.”

Sumber : Status Facebook Sahat Siagian

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed