by

Sentuhan Manusia dalam Ajakan Jokowi

“Informasi terakhir dari WHO yang saya terima, bahwa meskipun kurvanya sudah agak melandai atau nanti menjadi kurang, tapi virus ini tidak akan hilang. Artinya kita harus berdampingan hidup dengan Covid. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, berdamai dengan Covid. Sekali lagi, yang penting masyarakat produktif, aman, dan nyaman,” begitu pernyataan Pak Jokowi yang saya sarikan dari sebuah sumber sahih dan terpercaya. 

Negara kita ini memang punya track record panjang dalam salah urus. Tapi, kali ini, saya pribadi masih tetap berharap pada itikad baik pemerintah. Haqqul yackqueen, tak ada sedikit pun niat Pak Jokowi, Pak Doni, Pak Achmad Yurianto, dan siapa pun di gugus tugas Covid-19 itu untuk mengorbankan masyarakat, menggiring orang-orang ke padang penyembelihan. Insya Allah, mereka orang-orang baik yang bekerja dengan tulus.

Bicara begini pasti rentan dituding buzzerRp, ya tak apa. Padahal mah boro-boro dapat duit dari Pak Jokowi, saya tetap bekerja di hari Minggu begini, tersengal-sengal di balik masker, salah satunya justru supaya bisa tetap bayar pajak dan ikut membiayai negara. 

Seperti yang saya bilang kemarin, usaha untuk mempercayai pemerintah saat ini persis mencari ujung pita wafer Khong Guan edisi baru. Susahnya minta ampun. Kalau meminjam analoginya mas Haryo, kayak mau melepas beha yang kaitnya ada di belakang. Saya sepakat meski Mas Haryo tidak sepenuhnya benar. Karena tidak hanya beha rear hook, beha yang kaitnya di depan juga susah dibuka. Apalagi kalau belum terlalu akrab…

 

Kepada negara dan ulil amri, kita sebaiknya memperlakukannya seperti dalam rumah tangga. Kepada istri atau suami, kita harus tetap percaya pada apa pun yang ia lakukan, sampai ia membuktikan sebaliknya. 

Mau bertindak sendiri-sendiri juga tak masalah, selama tidak merusak konstelasi. #IndonesiaTerserah juga silakan. Menyelamatkan diri sendiri, silakan. Asal jangan kayak Youtuber milenial, siapa itu namanya, Indira siapa gitu, yang malah ngajak-ngajak orang untuk mengabaikan penyebaran corona. Nggak gitu juga kali.

Jadi menurutku tak ada yang salah dengan ajakan Pak Jokowi untuk berdamai itu. Ini situasi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Corona mungkin akan seperti kuman TBC atau lepra yang tidak pernah benar-benar hilang. Ia akan selalu ada. Yang kita bisa cuma berusaha dan berdoa agar tidak terpapar. Saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran. Haseeeek.. sudah kayak Pak Das’ad Latif saya ini. 

Mau tidak mau, kita harus mempersiapkan diri memasuki fase yang katanya “new normal” ini. Hari Senin pertama setelah lebaran besok, kantor-kantor pemerintah konon sebagian besar sudah diperintahkan buka. Institusi sosial lain pasti akan segera menyusul. Ada banyak hal yang tidak bisa menunggu. 

Yang penting untuk dilakukan saat ini adalah belajar bersiasat,mengerahkan segala potensi tersembunyi otak reptil kita. Bagaimana bisa tetap cari nafkah dengan tetap mematuhi aturan pembatasan. Tentu ada yang perlu dikorbankan, tapi mudah-mudahan terbayar di sisi lainnya. Misalnya usaha keluarga kami Rivpo.id yang sekarang mangkrak dan merugi, tapi alhamdulillah olshop yang dikelola istriku yaitu River’s Corner cukup meningkat omzetnya. Kebetulan sedang banyak masuk baju-baju anak yang lucu. Silakan dilihat-lihat, Sis. Eh, kok malah ngiklan. 

Ini ada cerita bagus tentang berdamai dengan situasi. Salah satu bisnis paling babak belur di masa pandemi ini adalah bisnis EO (event organizer). Jual baju lebaran sih mending, masih ada yang mau beli, tapi kalau bisnis EO, tak mungkin memaksa orang untuk tetap menghelat acara di situasi macam begini. 

Menyiasati pandemi ini, sebuah EO di Jogja menawarkan paket layanan virtual wedding atau resepsi virtual. Sudah ada beberapa klien yang menggunakan. 
Dalam konsep virtual wedding ini, yang benar-benar ada di venue cuma kedua mempelai dan orang-orang yang menjadi syarat sahnya pernikahan. Keluarga besar kedua mempelai cukup hadir secara virtual dengan aplikasi Zoom, sementara para “tamu undangan” bisa menyaksikan jalannya acara lewat live streaming Youtube atau FB.

Isi amplop dari para tamu bisa ditransfer ke nomer rekening yang ditampilkan di layar. Nanti pihak pengantin juga akan mengirimkan makanan resepsi langsung ke rumah tamu yang sudah hadir. 

Ini cukup menguntungkan bagi semua pihak. Bagi kedua mempelai yang akan segera ena-ena, bagi EO yang dapat job, dan terutama juga bagi para tamu. Setidaknya untuk urusan dandan bisa dihemat setengahnya. Atau malah seperempatnya. Cukup wajah yang dibedakin. Atau tidak perlu bedak sama sekali kalau kameramu masih VGA. Percuma juga.

Ini sebuah contoh terobosan cerdas dan anarkistis, bagaimana upaya untuk selamat dari gelombang pandemi ini tanpa harus banyak mara-mara. Bahwa ada hal yang hilang, itu tak bisa dipungkiri. 

Ada sebuah film remaja, judulnya “Five Feet Apart”. Dikisahkan Stella dan Will yang saling jatuh jatuh cinta tapi tak boleh bersentuhan. Mereka berdua sama-sama pasien cystic fibroris yang harus tinggal di rumah sakit untuk perawatan jangka panjang. Cystic fibroris (CF) menurut Wikipedia adalah kelainan genetik yang menyebabkan malfungsi pada organ tubuh, terutama paru-paru. Penderita CF kesulitan bernafas dan memproduksi lendir dahak berlebihan yang bisa menyumbat salauran nafas. Mirip dengan kondisi akhir yang dialami pasien Covid-19 pada umumnya yang paru-parunya dibanjiri cairan. 

Meski bisa beraktivitas normal seperti jalan-jalan di koridor RS bahkan berolahraga, Stella dan Will harus membawa suplai oksigen kemana-mana. Bentuknya seperti tas yang ditenteng.

Kurang paham bagaimana kondisi sebenarnya, tapi di film itu diceritakan, sesama pasien CF tidak boleh berdekatan kurang dari enam kaki yang dipercaya sebagai jarak aman. Itu untuk mencegah infeksi silang supaya mereka tidak saling membunuh tanpa sadar. Padahal Stella dan Will sudah terlanjur jatuh cinta. Stella yang kemudian berinisiatif mengakali aturan itu. Ia mengkorting jarak satu kaki, sehingga mereka bisa berdekatan sejauh 5 kaki. Itu yang kemudian jadi judul film yang berdasarkan kisah nyata ini. 

Bagaimana kelanjutannya, tidak perlu saya ceritakan di sini karena bisa panjang dan pasti capek ngetiknya. Apalagi ini bulan puasa. 

Saya mau ceritakan saja sedikit di bagian awalnya ketika suara Stella terdengar dan membacakan sesuatu. “Sentuhan manusia,” kata Stella, “Adalah bentuk komunikasi kita yang paling awal.”

Ketika kita lahir, bukan kata-kata yang pertama kali membuat kita merasa aman dan nyaman, tapi sentuhan. Ketika kita besar dan dewasa, sentuhan kemudian berkembang dalam banyak rupa. Usapan, tepukan, jabat tangan, dan pelukan. Apa pun namanya, awal dan akhirnya sama. Bermula dari ujung jari dan berakhir untuk membuat seseorang merasa senang, dijaga, dan dicintai. 

Siang ini, saya ada mengerjakan sebuah berita dari Illinois. Pukul 6 sore waktu setempat kemarin, August James Bleacher lahir dengan berat 3,2 kilogram dan panjang 49 centimeter. Semua normal, kecuali bahwa ia sama sekali belum sempat disentuh oleh ibunya. Kari Fanslow baru minggu lalu dinyatakan positif Covid-19. Ketika Kari melahirkan, hanya ada ia dan dokter bersama seorang perawat di ruang bersalin. Kalau semuanya berjalan baik dan lancar, Kari baru diperbolehkan menyentuh August 2 minggu lagi. 

Dan dari tempat yang tidak terlalu jauh, saya mau ceritakan kisah ini. Kamaludin dinyatakan positif Covid-19 sekitar sebulan yang lalu, setelah mertuanya meninggal dalam status PDP. Belakangan, Yuni istrinya juga positif Covid-19. Sebuah pukulan berat karena mereka punya dua anak kecil. Dua anaknya kemudian diungsikan ke rumah kerabatnya di Karawang, sementara Kamaludin dirawat di Rumah Sakit UI, Depok. Setelah menjalani isolasi, Kamaluddin dinyatakan negatif Covid-19 dan diperbolehkan pulang. 

Lama tak bertemu anaknya, Kamaludin tak tahu lagi bagaimana bentuk rindunya. Tapi ia tak bisa berbuat banyak. Mobilitasnya masih terbatas karena mengkhawatirkan resistensi warga dan aturan PSBB. 

Seorang tentara kenalannya kemudian berinisiatif mempertemukan mereka. Ia menjemput putra Kamaludin di Karawang dan membawanya ke Depok. 

Setelah satu bulan lebih, Kamaluddin untuk pertama kalinya bisa memeluk anaknya lagi. Pertemuan ini diliput oleh kawan saya Miladia Rahma dan Sonny Sulistiono kemarin. Saya cuma menonton hasilnya di layar sambil membayangkan ucapan Stella di film Five Feet Apart itu. 

Saya tak mau ikut-ikut menyalahkan Pak Jokowi kalau ia terkesan mewacanakan kepasrahan tanpa dasar. Bahwa memang selalu ada orang yang tak becus bekerja di setiap lingkaran persoalan, itu sudah pasti. Tapi bukan itu poinnya. 

Merujuk pada model tahapan kesedihan (Five Stage of Grief) Kubler-Ross, Pak Jokowi seolah ingin kita semua langsung ke stage ke-5 (penerimaan), tanpa harus melewati 3 stage lainnya yang menguras tenaga dan emosi karena sudah diwakilkan kepada sebagian orang. Kelihatannya, dengan pernyataannya itu, Pak Jokowi hanya ingin mempersiapkan kita, warganya yang lucu-lucu ini, untuk menghadapi sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Termasuk menerima jika memang ada yang harus hilang.

Dunia sedang menuju bersalin rupa. Bisa new normal, bisa juga new abnormal. Pelukan 20 detik yang dulu pernah dikampanyekan Kang Ridwan Kamil, bisa jadi tidak relevan lagi dalam konteks apa pun di masa depan. 

Anggaplah kita berhasil melewati ini, tapi cara kita untuk saling menenangkan mungkin tidak akan pernah sama lagi.

Nikmatilah selagi bisa.

 

(Sumber: Facebook Fauzan Mukrim)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed