by

Senjakala Kedamaian Jogjakarta?

Pejah gesang melu Sultan. Adalah teriakan ketika Sultan tunjuk siapa partai yang dipilihnya. Tak heran jika Golkar terus mendominasi Jogya selama puluhan tahun. Dalam benak masyarakat Jogya, adalah keberkahan batin mempunyai seorang Sultan. Suasana kebatinan menyebabkan masyarakat Jogya lebih lentur dalam menerima cobaan. Mengalah dan mengalah pada kekuatan yang makin lama makin menjajah, termasuk radikalisme yang jahiliyah.

Masyarakat Jogya terus mengalah manakala organisasi Islam radikal membubarkan kirab lulusan SLTA di Tugu. Mereka diam melihat radikalisme mengancam kampus -kampus Kristen. Mereka diam ketika gerombolan radikal mencanangkan Daerah Istimewa ini sebagai Serambi Madinah padahal disini mereka berbudaya Jawa yang agung serta toleran.

Mereka juga tidak berdaya melihat rentetan perusakan gereja dan terakhir penganiayaan yang terjadi ditengah ibadah berlangsung di sebuah gereja Katholik. Mereka hanya berbuat semampunya, seperti menjaga gereja dan masjid.

Tidak terpikir sedikitpun dalam benak mereka, Sultan turun tangan. Sejak lama terjadi korosi kewibawaan manakala trah Hamengkubuwono dan Paku Alam berebut jabatan.

Sabdo pandito ratu tidak lagi keramat. Dia tamat dibalik kecurangan masif pedagang di Malioboro dan siasat licik para pengemudi becak serta pertarungan sengit taksi online di Adi Sucipto.

Sabda Sultan kalaupun ada menanggapi insiden pembacokan seorang pastur hanyalah dianggap sebagai basa basi belaka. Karena dia sudah kehilangan makna, seperti Kali Urang yang tidak dingin dan asri lagi ditelan penjajah.

Dan masyarakat Jogya seperti biasa. Diam. Pasrah. Menyerah.

Serasa patah hati melihat Jogya seperti ini.

Aku menyaksikanmu dengan setangkup haru tanpa rindu.

Tidak ada lagi senyummu yang abadi.

Seiring laraku kehilanganmu

Merintih sendiri

Di telan deru kotamu …

Dan ketidakperdulian Sultanmu

Sumber : Status Facebook Budi Setiawan

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed