Oleh: Supriyanto Martosuwito
Setiap akhir tahun, di negeri Indonesia tercinta yang multi agama ini, selalu muncul Sekte AntiNatal dan Sekte Antiatribut Natal. Terhadap mereka, warga yang waras memilih mengalah dan terus memberikan pemahaman dan permakluman atas keyakinan menyimpang mereka.
‘Sekte’ adalah sekelompok orang yang yang memiliki keyakinan yang berbeda dan menyimpang dari ajaran utama yang diyakini sama.
Meski sesembahannya sama, kitab suci yang sama, ritualnya sama, namun berbeda dalam praktik kehidupan sosialnya.
Sekte cenderung berbeda dari kaidah ajaran agama yang umum. Mereka merujuk pada tafsir ajaran dan kitab kitab yang ditulis ribuan tahun lalu – ketika kondisi masyarakat masih jauh dari kehidupan global di hari ini .
Dalam setiap agama besar ada Sekte. Penganut yang menyimpang.
Dunia Barat mengenal sekte ‘Children of God’, ‘The Ku Klux Klan’, ‘Branch Davidians’, ‘Order of the Solar Temple’, ‘The Peoples Temple’, ‘Heaven’s Gate’. Di Jepang ada ‘Aum Shinrikyo’.
Kita juga mengenal ISIS dan Taliban, yang meski menonjol sebagai gerakan bersenjata, tapi para petinggi dan penganutnya, merujuk pada tafsir ajaran agama yang menyimpang dari ajaran normal.
Sekte cenderung mengganggu pendakwahan agama agama inti, yang menyebarkan kedamaian, keharmonisan dan kesejukan. Sekte cenderung ‘nyeleneh’, tidak normal, antikemajuan dan anti perkembangan zaman.
Bahkan sekte sekte agama cenderung melakukan hal-hal anarkis, menimbulkan kekacauan. Melakukan perusakan, pembunuhan, pengeboman dan bunuh diri.
Sekte sekte sesat di Amerika di Jerman, di India, jazirah Timur Tengah dan di Indonesia – sama saja.
SEKTE ANTINATAL adalah sekte antitoleran, antilogika, dan memborong kebenaran sehatui. Cenderung fanatik buta dan merujuk pada kepercayaan ribuan tahun lalu, ketika masyarakat gurun pasir masih hidup bersuku suku, berpuak puak – yang tak terhubung satu dengan yang lain. Belum sepenuhnya menyadari kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan bermasyarakat dalam arti yang luas
Sekte AntiNatal merujuk pada tafsir ajaran dan kitab kitab jadul dan bertentangan dengan realitas hari ini – ketika batas negara makin kabur, ketika bangsa bangsa berkumpul dan bergaul lebih erat – kawin mawin antar suku, ras, agama tak terhindarkan.
Tapi mereka masih mempertahankan dengan kefanatikan dan kenaifan.
Ironinya – ketika di negeri asal muasal agama disebarkan – jazirah Arab maksudnya – dan kini mengembangkan toleransi dan kebhinekaan – justru Arab Arab KW, Arab sawo matang di sini justru melestarikannya.
Argumen “mengucapkan selamat” dan ikut bahagia atas perayaan agama lain sebagai “pengakuan tuhan dari agama lain” menjadi dalil pembenar sekte Anti Natal.
Analogi dari seorang pria yang ikut bahagia atas pesta perayaan ulang tahun isteri temannya, di kediaman temannya, dianggap sama dengan mengakui isteri temannya sebagai isterinya. Itulah absurditas penganut sekte.
Penganut sekte dan kaum fundamentalis intoleran umumnya menganut tafsir agama – yang didapat dari tokoh perantara – bukan pada ajaran dan inti agama.
Para Calo Tuhan, yang menafsir kefanatikan menjadi rujukan. Naluri intoleran yang melekat pada penganut agama fanatik, menjadi pembenaran.
Naluri antipati pada agama lain, pada perayaan agama lain, anti atribut agama lain – sama dengan naluri menganiaya, menggauli banyak wanita.
Mereka yang menganutnya, mendapat pembenaran dari dalil dalil yang ada di kitab suci atau tafsirnya. Bahkan naluri membunuh dan bunuh diri pun dibenarkan dan disiapkan dalilnya.
SEBALIKNYA, para pendakwah moderat cenderung membolehkan ucapan Selamat Natal. Juga perayaan agama lain, seperti Nyepi, Waisak, Imlek, dll.
Merayakan hari raya agama adalah hak masing-masing agama – yang kegembiraanya bisa menular ke umat agama lain. Selama perayaan tidak mengganggu dan merugikan warga lain, kenapa tidak? Kewajaran dan sopan santun tiap umat agama untuk memberikan selamat saat perayaan agama lainnya.
Bahagia melihat kebahagiaan warga lain adalah esensi kemanusiaan – makhluk mulia di mata Tuhan. Bukan bahagia lihat orang lain susah dan susah saat orang lain bahagia. Bukan marah marah karena ada yang sedang bergembira merayakan agama sesuai keyakinannya.
Itu bukan logika kaum beragama, melainkan logika para penganut Sekte. ***
(Sumber: Facebook Supriyanto M)
Comment