by

Seks Diluar Nikah Halal? Ini Lemahnya Analisa Disertasi Abdul Aziz

Dengan melihat fakta-fakta Syahrur di atas saya melakukan kritik atas kesimpulan Abdul Aziz.

1). Menjadikan tesis Syahrur untuk menghalalkan hubungan seksual di luar nikah adalah sangat lemah. Bertentangan dengan konsensus-konsensus para ulama yang sudah mapan.

2). Perbudakan yang oleh Syahrur dijadikan pijakan telah lama dihapus dan etika-etika moral hukum telah berevolusi ke arah kesetaraan jender.

3). Prinsip hukum Syariah bukanlah sekadar soal untung dan rugi; tapi soal etis dan tidak etis, soal akhlak. Meskipun hubungan seksual suka sama suka bukan pidana menurut KUHP kecuali diadukan (delik aduan), tetapi secara akhlak melanggar norma masyarakat. (Saya yakin jika anak-anak perempuan kita, atau mahasiswa-mahasiswa kita melakukan hubungan seksual di luar nikah, kita akan marah dan berusaha mencegahnya).

4). Bicara hukum keluarga adalah sangat sensitif. Karena hanya hukum keluargalah yang masih berlaku dari Hukum Syariah di seluruh dunia Muslim (pernikahan, talak, rujuk). Karena itu, perlu kabijakan tinggi dari setiap elit intelektual untuk berhati-hati dalam ucapan di ranah publik.

5). Menghalalkan secara Syariah hubungan seks di luar nikah (meski bersifat konsensual) dalam bentuk kesimpulan-kesimpulan disertasi dari studi tokoh sangatlah fatal. Ia bisa menjadi persetujuan ilmiah untuk kumpul kebo para mahasiswa di asrama, di kos-kosan, dan di masyarakat—meski praktik ini sudah marak terjadi.

6). Kesimpulan-kesimpulan Abdul Azis harus direvisi sesuai saran para penguji dan harus adil pandangan-pandangan yang kontra—agar meredakan kegaduhan di masyarakat.

7). Secara faktual hukum tertinggi Syariah adalah ijma’. Betapapun dalil-dalil hukum al Quran dan hadis berjejer menyertai argumen Syahrur atau siapapun itu tanpa mendapat persetujuan ijma akan dengan sendirinya runtuh dan tidak dapat diterima. Siapa yang setuju hubungan seksual di luar nikah halal di masyarakat Muslim?

8). Saat alm Nurcholish Madjid mengumandangkan desakralisasi atas selain Tuhan tahun 1970-an (?) atas dasar tauhid, beliaupun mengecualikan perkawinan. Selain Tuhan tidaklah sakral, profan. Tetapi perkawinan tetaplah sakral meski bukan Tuhan. Sebab jika desakralisasi berlaku bagi perkawinan, maka hubungan seksual manusia akan seperti binatang.

Akhirnya, saya setuju dengan pendapat bahwa seharusnya ilmu dikembangkan bukan sekadar ilmu untuk ilmu, tapi perlu mempertimbangkan aspek-aspek nilai (value bond).

Namun begitu, disertasi Sdr Abdul Aziz yang sebenarnya sudah banyak dibahas tetap dianggap sebagai karya ilmiah. Subyektivitas, pilihan-pilihan kesimpulan, kecenderungan filsafat, pandangan dunia yang dianut, bahkan pengalaman-pengalaman pribadi (jika ada), pastilah banyak mewarnai disertasi ini.

Karena itu, perlakukan disertasi ini sebagai karya ilmiah yang belum selesai dan bukan finalitas. Ia terus berdialog dengan sejarah. Masyarakatpun tidak boleh mengkriminalisasi penulis, para penguji disertasi, dan institusi. Ketidaksetujuan kita atas kesimpulan-kesimpulan Syahrur dan Abdul Aziz sebagaimana viral di sejumlah media haruslah dengan cara-cara yang ilmiah juga. Dengan cara ini, kebebasan berpendapat (freedom of speech) tetap berlangsung dengan terus menjaga tatakrama bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(Mudofir Abdullah, Guru Besar Ilmu Pengkajian Islam dan Rektor IAIN Surakarta).

Sumber : Solopos 3 September 2019

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed