by

Sekolah Lagi

Keempat : Pengeluaran untuk kuota bertambah.
Iya betul. Saya juga ngerasain kok… tapi kalau saya gunakan perbandingan jingga menggunakan zoom hampir 4-5 jam per hari, 5 hari dalam seminggu, 25 hari dalam sebulan itu habisnya sekitar 200-400 Mb x 25 = 5-10 Gb.
Sebagai gambaran saya ambil harga dari operator paling mahal seIndonesia, untuk kuota dari Telkomsel Combo Sakti 14 Gb dengan masa aktif 30 hari harganya Rp. 107.000 (per 03.08.2020) artinya untuk internet, pengeluaran hariannya sekitar 3600.
Operator lain, mungkin lebih murah lagi. Bahkan ada banyak paket internet yang lebih murah setahu saya.
Kalau yang mengeluhkan ini adalah orang tua yang kalau anaknya sekolah ngasih uang sakunya 10rb per hari, mungkin saya usul untuk diamplas saja jari dan mulutnya. G imbang jeh.
Kalau yang mengeluh adalah orang yang tidak mampu, nah, itu harus dicarikan solusi oleh pemerintah.. bagaimana mereka juga bisa mengakses sekolah secara online. Apakah ada sumbangan kuota, WiFi RT, atau apa saja yang mungkin.
Tapi ya tulung, emaknya jangan nebeng drakoran juga… nanti ndak cukup kuotanya

Kelima : Tidak punya gadget.
Ra duwe gadget kok iso komen di portal informasi online?
Ok bagi yang tidak memiliki gadget, memang harus dipikirkan. Karena memang tidak semua orang mampu beli gadget. Ya itu kondisi riil masyarakat. Contoh di sini, di SD dekat rumah, menggunakan metode yang dinamakan dengan “GuLing”, yaitu Guru keliLing. Jadi guru ini akan bergantian datang ke rumah siswa yang sudah dibagi dalam kelompok kecil (4-5 orang) dan mengajar disana dengan durasi waktu lebih singkat, 2 jam perhari. Tentu dengan tetap mengindahkan protokol kesehatan seperti penggunaan masker, physical distancing, menghindari area tertutup, dll. Tidak ideal memang, tetapi itu hanya salah satu cara untuk mengurangi kerumunan dalam jumlah besar.
Masih lebih feasible daripada harus dibuka lagi sekolah secara masif.

Keenam : Karena Mall/Pasar sudah dibuka.
Ini saya ngga paham, apa korelasi sekolah dengan mall? Kalau sekolah kan “wajib”, anak harus datang pada hari tertentu dengan durasi waktu tertentu dan berinteraksi dengan orang dalam jumlah yang relatif tetap dari waktu ke waktu.
Lha kalau Mall/Pasar? Apakah anda juga datang ke mall dengan intensitas seperti datang ke sekolah?
Tolong dibedakan antara keinginan dan kebutuhan.
Sejujurnya saya tidak paham.

Ketujuh : Saya biasa nongkrong tapi sehat-sehat saja.
Bedakan antara sehat dan merasa sehat. Banyak dari pasien COVID-19 yang meninggal adalah orang tanpa comorbid dan “sehat”. Selain itu, walaupun anda sehat, bukan berarti anda bukan pembawa virus. Anda sehat tapi nulari yang lain, kan celaka.

Kedelapan : Sudah lelah dengan COVID-19, jadi los saja.
Sama, saya juga sudah lelah. Hobi saya itu ngadem di mall, atau duduk di meja kerja saya di kampus, pakai baju rapi. Sekarang saya hanya dasteran aja di rumah. Anda kira saya tidak bosan? Tidak lelah?.. Lelah kakak…
Bayangin lagi mereka yang ber APD level 3 selama 8 jam? Apa anda kira mereka tidak lelah?
Maaf, sejujurnya saya ngga peduli anda mau los saja, kalau penyakit ini bukan penyakit menular. Kalau anda sakit sendiri, mati sendiri silahkan, saya akan anggap itu nasib. Takdir. Selesai.
Tetapi sakitnya anda itu beresiko besar menyebabkan sakitnya orang lain juga. Itulah masalahnya.
Kalau saya boleh jahat, saya sedih karena orang-orang yang abai ini belum juga dibawa ambulance, malah sejawat saya yang beneran berusaha supaya tidak timbul korban lebih banyak lagi, justru banyak yang sudah dikafani.

Kesembilan : Tetap bayar spp padahal kita yang jadi guru dan gurunya kerjanya enteng.
Awalnya saya juga berpikir begitu. Tapi setelah saya sadari, saya sendiri dosen, ngajar online itu lebih ngga enak dan merepotkan daripada ngajar offline. Persiapan harus lebih banyak, belum lagi harus terus berkomunikasi dengan wali murid tanpa kenal waktu. Anda kira itu tidak pantas dibayar?
Apa karena sekolah online, materinya muncul sendiri? Kan tidak. Apakah anda sepenuhnya ngajar sendiri? Kan juga tidak. Wong anda sekedar ngulangi lagi apa yang diajarkan guru. Bahasa kerennya me-review.

Kesepuluh : anak- anak lebih tahan covid-19.
Mungkin. Tetapi ingat, anak-anak adalah reservoir sekaligus carrier yang baik sars-cov2. Mereka mungkin lebih rendah resiko sakit dan fatalnya… tetapi anda dan keluarga berinteraksi dengan mereka setelah mereka pulang sekolah, ingat itu.

Kesebelas : kan pakai protokol kesehatan.
Iya bener, pakai protokol kesehatan. Tapi coba direnungkan, itu perkantoran masuk juga pakai protokol kesehatan, nyatanya clusternya nambah. Padahal mereka sudah lebih dewasa, relatif lebih mengerti, terhadap pentingnya protokol kesehatan, itupun masih kebobolan.
Sekolah?

Njir, g berasa udah panjang kek kolor Bimbon.

Baiklah, kita sepakat kondisi pandemi ini bukanlah kondisi ideal yang kita inginkan. Dalam situasi pandemi ini, kita memang harus mengikat pinggang. Menentukan prioritas, mana yang paling utama, mana yang paling banyak manfaatnya sekaligus paling sedikit mudharatnya, dst.
Kita tidak sedang diminta memilih antara coklat silverqueen atau toblerone.. kita suruh milih, antara laos dengan kencur.. antara brotowali dan pare…

Ingatlah, semakin kita abai, semakin penularan susah dikendalikan, semakin lama masa pandemi, maka semakin lebih lama lagi kehidupan kita akan bisa kembali sebagaimana yang sebelumnya kita sebut dengan normal.

Mari tetap dengan prinsip menjaga kesehatan.. mematuhi protokol kesehatan.. dan melakukan hanya yang perlu saja dan menghindari segala hal yang life threatening nya lebih besar daripada manfaatnya.

Saya berpendapat pembukaan sekolah lagi, lebih baik tidak dilakukan.

Salam,

#paramitasari #thisisapril #itsme

Ps. Saat menguji exit exam secara online.

Sumber : Status Facebook Aprilia Paramitasari

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed