by

Sejarah Siapa?

Oleh: Iqbal Aji Daryono

Dalam sebuah postingan saya, ada seorang kawan yang berkomentar bahwa di Indonesia sejarah memang sering ditulis semau-maunya penguasa.

Saya sering gatel mendengar celetukan semacam itu. Itu mindset minder yang membayangkan bahwa cuma negeri kita sendiri yang bobrok nggak karuan. Lha rumangsamu di negara lain enggak po?

Sejarah selalu milik penguasa, lah. Di mana pun.

Sejarah versi Orde Baru, misalnya, memang penuh spirit antikomunis. Tapi coba bayangkan, apa yang terjadi andai Perang Dingin tidak menciptakan Tragedi 65, dan lantas Indonesia mutlak dikuasai Blok Timur? Ya jelas saja versi sejarah resmi Indonesia akan jadi versi komunis. Natsir, misalnya, tampaknya mustahil dicatat jadi pahlawan. Tak terkecuali banyak tokoh feodal semacam Sultan Agung, hingga Mahmud Badaruddin.

Saya ambil contoh yang di luar Indonesia. Ingatkah Anda ketika dulu para aktivis di Korea memprotes buku sejarah untuk anak-anak sekolah di Jepang? Mereka nggak terima, sebab di buku tersebut tidak disebutkan fakta tentang militerisme Jepang di Perang Dunia Kedua, berikut keberingasan seksual para tentaranya yang turut memangsa perempuan-perempuan Korea.

Di Ostrali sini beda lagi. Saya nggak tahu buku pelajaran yang sekarang. Tapi Alfira, kawan saya yang sekolah dasar hingga menengah di sini di tahun 1990-an bercerita, pelajaran sejarah isinya puja-puji semata pada Captain James Cook, Jendral Stirling, dan lain-lain. Mereka-mereka itu orang Inggris yang berjasa dalam mengawali pendudukan tanah Ostralia (dan tentu saja yang merintis “penyingkiran” penduduk asli).

Itu belum tentang Anzac Day, semacam Hari Pahlawan campur Hari ABRI-nya Ostrali. Hayun pun sudah apal itu, karena di sekolahnya sudah diajarkan bahwa “Anzac Day is a day when we remember how brave they are.” Nah, ‘they’ refers to Australian soldiers, of course. Persoalan brave di situ adalah brave dalam membebek Amerika atau gimana, ya itu suka-suka penguasa.

Makanya, saya langsung nggak minat masuk waktu di Albany ada Anzac Museum yang kayaknya secara fisik keren sekali. Mahal sih, tiket masuknya haha.

Di Vietnam pun, dulu pernah saya tuliskan betapa konaknya saya menelusuri War Remnant Museum di Ho Chi Minh City. Seru, menggairahkan, karena museum itu menyajikan gambaran visual lengkap dan detail tentang kekejaman dan kebrutalan tentara Amerika di sana pada 1975-an. Itu jelas pengalaman baru, karena selama ini referensi audio-visual saya terkait Perang Vietnam ya cuma film Holiwud.

Sudah tentu, museum itu bakalan beda jauh isinya kalau Amerika menang di sana.

***
Lha trus apa lantas kita menyerah saja kepada sejarah versi penguasa? Wo ya jangan. Toh, sekarang ada Fesbuk. Obrolan sejarah bukan cuma milik akademisi atau pegawai P & K. Jadi mestinya nggak cuma kritik atas sejarah komunisme versi Orba saja yang perlu dibikin rame. Sisi-sisi yang lain pun perlu.

Makanya, daripada para aktivis Islam menghabiskan waktu untuk menolak diskusi buku tentang Gerwani, misalnya, mending mereka tak lupa menyusun dan menyebarkan kritik sistematis atas reduksi pengakuan peran tokoh-tokoh Islam dalam sejarah kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan. Itu contohnya.

Yang begitu-begitu jelas akan lebih produktif, lebih membangun orientasi menuju historiografi yang tidak tersentralisasi di tangan penguasa, dan jauh di atas segalanya: dinding Fesbuk akan lebih menyenangkan, jadinya. Haha.

 

(Sumber: Facebook Iqbal AD)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed