by

Sejarah Hijab Syar’i

Masyarakat Islam Indonesia dulu tidak mengenal model-model pakaian tersebut. Dulu, hingga abad ke-20, mayoritas Muslimah Indonesia tidak mengenakan kain penutup kepala. Mereka hanya mengenakan “jarik” saja sama kemben untuk menutup susu agar tidak gondal-gandul. Lihat saja video-video dokumenter di abad silam yang cukup banyak diposting di YouTube.
Pada perkembangan berikutnya, kelompok “Islam putihan” (kaum santri), baik di lingkungan NU, Muhammadiyah dan lainnya, kemudian memperkenalkan busana kerudung, kain tipis panjang penutup kepala yang disampirkan ke pundak dengan leher masih kelihatan. Dua foto yang saya posting ini hanyalah sekelumit contoh kerudung yang dikenakan para “Muslimah santri” dari NU dan Muhammadiyah.
Yang foto hitam putih adalah para tokoh Muslimah Muhammadiyah generasi awal (yang tengah konon istri KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah). Sedang foto warna tapi agak burem bin kusem adalah para Bu Nyai NU saat Kongres Muslimat tahun 1970an. Sementara itu, kelompok Muslimah yang tidak masuk kategori “santri”, “wong kaum”, “kauman”, atau “putihan” (sebut saja “Muslimah abangan”) masih tetap tidak berkerudung. Mereka tetap mengenakan jarik, kemben, atau “ote-ote” saja.
Budaya jilbab (pakaian Muslimah yang menutup rapat sekujur tubuh kecuali muka dan telapak tangan) atau model pakaian hijab untuk menutup kepala, telinga dan leher, baru muncul agak lumayan populer di Indonesia (khususnya di dunia pendidikan) pada tahun 1980an. Sebelum era ini, masih sangat terbatas populasi Muslimah berhijab karena memang belum umum. Kesuksesan Revolusi Islam Iran tahun 1979 menjadi salah satu pemantik perkembangan hijab di Indonesia (selain kelompok Ikhwan dan Salafi). Banyak kelompok Islam (maupun non-Islam) yang terinspirasi oleh keberhasilan Imam Khomeini dalam menggulingkan rezim Pahlevi.
Para aktivis politik dan militan agama ingin mencontoh model Revolusi Iran untuk menumbangkan rezim otoriter Suharto yang kebetulan waktu itu anti-aktivisme Islam. Sementara kelompok Islam lain mengenakannya sebagai “simbol perlawanan” budaya terhadap rezim Orde Baru. Yang lain lagi sebagai semacam “identitas baru” keislaman.
Karena khawatir terhadap dampak politik aktivisme Islam Timur Tengah, khususnya Iran, Suharto kemudian melarang peredaran buku-buku yang ditulis oleh intelektual Iran (seperti Ali Syariati dan lainnya). Pada tahun 1980an, Suharto juga sempat melarang pemakaian jilbab di sekolah-sekolah umum. Kelak, pada awal 1990an, Suharto mengizinkan kembali pemakaian jilbab, setelah ia “berbulan madu” dan menjalin “kongsi baru” dengan kelompok Muslim menengah-teknokrat.
Karena belum umum, memakai hijab pada waktu itu dipandang aneh oleh masyarakat sekitar. Bahkan tak jarang menjadi “bahan olokan” atau “ledekan” halus dari kelompok “non-hijabers”. Saya tahu dan merasakan betul fenomena ini karena saya adalah alumnus MTs (Madrasah Tsanawiyah) dan MA (Madrasah Aliyah) yang semua perempuannya berhijab. Pada tahun 1980an, hanya siswi-siswi MTS dan MA saja yang berhijab (selain siswi pondok pesantren NU tentunya).
Jadi, sebelum kelompok “kadruneslam” sekarang yang gembar-gembor kampanye hijab, saya sudah sejak tahun 1980an, ketika dunia hijab masih menjadi “barang antik”, sudah terbiasa “menggauli” dan berteman dengan teman-teman “hijabers.” Kami biasa saja. Mereka yang mengenakan hijab itu pun ya biasa saja. Banyak dari mereka yang dipakai saat sekolah saja. Kalau pulang di lepas lagi.
Meskipun mengenakan hijab, mereka tidak menggerendem merasa paling syar’i dan Islami sedunia-akherat atau ngomal-ngomel yang tidak berhijab akan disiksa di alam kubur dan neraka sampai berabad-abad hingga Upin-Upin lulus kuliah dan menjadi “kompresor” di kampus. Tidak. Sama sekali tidak.
Setelah Suharto tumbang tahun 1998, era reformasi dengan demokrasinya menyapa Indonesia. Sejak itu pula aneka ragam hijab dan jilbab mulai merajalela di Indonesia seiring dengan tumbuh suburnya kelompok-kelompok konservatif Islam dari beragam aliran, ormas, ideologi, dan mazhab.
Jadi, dalam konteks Indonesia, demokrasilah sebetulnya yang membuat kelompok “hijabers”, termasuk “hijabers ekstrim”, berkembang-biak. Jadi sejatinya, mereka ini “berhutang budi” dengan demokrasi. Hal ini sangat kontras dengan Iran atau Arab Saudi dimana “jilbab/hijab syar’i” dipaksakan penerapannya oleh pemerintah dalam bentuk “kebijakan politik nasional” sejak 1980an. Di Iran, kebijakan nasional tentang “jilbab syar’i” diterapkan sejak Imam Khomeini berkuasa, sebelumnya Muslimah bebas-merdeka dalam berbusana. Sementara itu, di Arab Saudi kebijakan ini diterapkan sejak Raja Khalid menjalin kongsi dengan kelompok militan Islamis Sahwah, yaitu kaum hybrid Wahabisme-Qutubisme.
Pertinyiinnyi, jika memang “hijab syar’i” itu yang diklaim “paling syar’i” dan “paling Islami”, kenapa umat Islam, termasuk umat Islam Timur Tengah, tidak dari dulu mengenakan model “jilbab/hijab syar’i”? Lalu siapa dan kelompok mana sebetulnya yang mengklaim daripada “busana Muslimah syar’i” ini? Silaken pertanyaan daripada ini barang direnungken dengan seksama sambil ngopi, ngeteh, nyendol, ngebir, ngewine, nyusu, ngemut, dlsb.
Jabal Dhahran, Jazirah Arabia
 
Sumber:

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed