Saya tahu, peribahasa ini awalnya diperkenalkan oleh tukang lontong sayur. Ini semata-mata karena persaingan bisnis. Setidaknya dia ingin menggambarkan proses pembuatan lontong sayur lebih butuh mekanieme manajemen, taktik dan skill dibanding membuat bubur ayam. Mereka berkampanye : untuk mencipta bubur ayam, orang yang tidak sengaja juga bisa.
Saya tentu mencium ada aroma tidak sedap di balik peribahasa itu. Bagi mereka bubur hanyakah beras yang dimasak terlalu encer, hingga menghilangkan makna keberasanya. Eksistensi beras hancur, tapi sekaligus dianggap gagal menciptakan entitas baru. Bentuknya terlalu cair.
Sedangkan lontong, katanya, punya ciri kuat. Dicampur dengan apapun, lontong tidak akan kehilangan jati diri. Lontong sayur, gado-gado lontong, ketoprak lontong, sate ayam plus lontong. Semua bisa dilontongisasi.
Ada semacam rencana besar untuk menempelkan lontong di semua sisi kuliner. Rencana ini mirip dengan menempelkan kata syariah. Ekonomiah syariah, politik syariah, pacaran syariah, wisata malam syariah, hotel syariah, busana syariah, dan jangan lupa demo syariah :demonstrasi sambil sholat jumat.
Seolah jika sudah ditempeli kata-kata syariah, sudah pasti terjamin keimanannya. Wajar saja jika MUI membuat lembaga sertifikasi halal, agar bisa mensyariatisasi segala aspek. Dalam bahasa kuliner, mirip melontongisasi segala jenis makanan.
Dalam konteks inilah, bubur ayam dianggap anomali. Karena dianggap dibuat dari ketidaksengajaan dan menggambarkan suasana penyesalan. Padahal menurut saya tidak seperti itu.
Bubur ayam adalah kuliner yang egaliter. Dia bisa dimakan oleh orang segala usia. Anak bayi sampai orang dewasa makan bubur ayam. Orang sakit dan sehat makan bubur ayam. Bubur hadir tanpa membedakan kondisi dan usia. Bubur hadir untuk menyebarkan kasih sayang kepada semua lapisan orang.
Coba. Mana ada bayi makan lontong sayur? Atau orang sakit disuapi gado-gado lontong? Tidak. Lontong adalah kuliner anti pluralisme. Dia hanya untuk kalangan tertentu. Tingkat usia tertentu. Dan kondisi kesehatan tertentu.
Jadi bagi saya bubur memiliki makna filosofi yang dalam. Semacam pengakuan bahwa kuliner yang baik, semestinya bisa diterima semua kalangan. Tidak membeda-bedakan manusia dari status sosialnya.
Kini kampanye nagatif pada bubur begitu masif. Mereka sama sekali tidak melihat jasa bubur pada hidupnya.
Saya kuatir spanduk nasi sudah menjadi bubur nanti bakal tersebar di masjid-masjid. Berbarengan dengan spanduk : menolak sholat jenazah pemilih Ahok.
Yups. Orang sehat bisa saja bilang, bubur ayam gak penting. Tapi lain lagi kalau mereka sakit. Seperti orang yang menafikkan hasil kerja Ahok sekarang ini. Nanti ketika APBD dikorup lagi dan pegawai Pemda DKI kembali pungli. Atau got-got di Jakarta kembali mampet. Atau KJP mulai pilih-pilih orang, kita baru akan merasa, ternyata kita butuh Gubernur seperti Ahok.
Sama seperti orang sakit membutuhkan bubur ayam.
Mudah-mudahan kita sadar. Mumpung belum terlanjur. Mumpung nasi belum menjadi lontong.
(Sumber: Status Facebook Eko Kuntadhi)
Comment