by

SBY Prihatin Berdiri, Agus Yudhoyono Prihatin Berlari

Oleh : Ahmad Khadafi

“Saya juga melihatnya prihatin,” ujar Agus Harimurti Yudhoyono, calon gubernur DKI Jakarta nomor urut satu, saat menyambangi tempat pembuangan sampah (TPS) di Sungai Bambu, Jakarta Utara (15/11). Mengenakan kaos berkerah warna ungu, Agus menunjukkan mimik wajah serius saat mendengar penjelasan mengenai kondisi TPS Sungai Bambu.

Agus prihatin, terutama persoalan lingkungan masyarakat di sekitar TPS. Agus prihatin, sekalipun masyarakat yang tinggal di sekitaran TPS sebenarnya merasa biasa saja. Mungkin bagi mereka, mau makan apa esok hari lebih mudah membuat prihatin daripada bau busuk yang menyengat. Dan, yah, selain Agus yang prihatin, tim suksesnya jauh lebih prihatin lagi.

Bagi tim sukses Agus, apa yang baru saja diucapkan bisa jadi celah yang berpotensi mengganggu reputasi Agus sebagai calon orang nomor satu di DKI Jakarta. Layaknya orang yang menawarkan pipinya untuk ditampar, Agus tanpa sadar sedang membuka gerbang pertahanannya sendiri.

Satu kata terucap yang langsung mengingatkan publik akan idiom yang terlanjur melekat erat pada karakter ayahanda tercinta, mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sang “Jenderal Prihatin”.

Tak ayal, belum sampai hitungan jam, nitizen segera “menghadiahi” Agus meme atas dirinya di media sosial. Salah satu meme yang menarik perhatian tentu saja catutan foto SBY dan dibubuhi tulisan: “Saya prihatin kamu ikut-ikutan prihatin.”

Apa yang dilakukan Agus tidak serta-merta dapat dipisahkan akan memori kolektif masyarakat. Kata “prihatin” yang muncul dalam pernyataannya, mungkin tidak dimaksudkan Agus untuk meniru gaya komunikasi ayahnya. Tidak sama sekali. Agus tentu ingin membuat sejarahnya sendiri.

Lagipula, siapa sih anak yang mau hidup dalam bayang-bayang kebesaran ayahnya? Agus tidak minta dilahirkan sebagai seorang anak presiden, ia jelas tidak request dilahirkan dari rahim seorang istri jenderal bintang empat. Sayang sekali, sekalipun ada keuntungan dilahirkan dari keluarga yang mentereng reputasinya, akan selalu muncul perbandingan jika “profesi” yang digeluti sama. Sama-sama militer, apalagi sama-sama politisi.

Jika Agus melakukannya di era Orde Baru, garis hubungan bapak-anak semacam ini akan jadi  kekuatan besar. Namun, karena dilakukan di era sekarang, hubungan ini justru menimbun banyak sekali kelemahan yang menunggu.

Masyarakat sudah tidak peduli seorang pemimpin lahir dari garis keturunan siapa. Lihat bagaimana isu Joko Widodo yang diserang sebagai seorang putra aktivis PKI (sekalipun seharusnya tidak ada masalah juga dengan itu), namun lihat, di mana dia sekarang? Sebaliknya, lihat posisi putri Sang Proklamator yang selalu bangga akan kehebatan bapaknya (dan tak pernah berhenti melakukannya), sekarang di mana dia?

Justru ketika seorang calon pemimpin membangga-banggakan garis keturunannya, publik malah akan menilai bahwa si calon memang tidak punya kualifikasi selain diuntungkan oleh hal yang sebenarnya tidak diusahakan sama sekali. Dan bagi Agus, citra ini jelas preseden buruk.

Hubungan ini semakin memburuk karena SBY juga tidak pernah undur diri dari panggung. Sebagai mantan aktor utama, SBY masih juga terlihat enggan untuk mengusap riasannya, masih ingin selalu memainkan kembali scene demi scene terbaik dalam periode kepresidenannya. Jika ada dialog yang salah dari pemain utama, SBY tidak segan-segan mengoreksi. Spontan keluar begitu saja. Baik secara langsung, maupun lewat twitternya.

Kehadiran SBY tidak hanya memperburuk hubungannya dengan pemerintahan saat ini, namun juga memperburuk hubungan sang putra sulung dengan calon pemilihnya. Tidak undur dirinya SBY dari memori kolektif publik, akan semakin membuat Agus justru dianggap sebagai “SBY KW”.  Kehadiran SBY beserta reputasinya berpotensi jadi hijab yang menghalangi putranya untuk jadi diri sendiri.

Lagipula masyarakat Jakarta memang sedang tidak butuh SBY. Butuh mungkin iya, masih ada yang merasa rindu. Namun lebih banyak butuh untuk lucu-lucan saja. Untuk reproduksi meme dengan tema “prihatin” misalnya. Untuk kembali jadi pemimpin? Rasanya itu cuma harapan kosong Edie Baskoro Yudhoyono saja.

Selain itu, efek “prihatin” yang muncul dari pernyataan Agus muncul bukan akan atas dasar kesamaan yang bermuatan positif. Diksi “prihatin” yang sering muncul dari pernyataan SBY dahulu, lebih banyak jadi tanda bahwa sang mantan presiden sedang tidak mampu mengupayakan hal yang lebih baik.

Timnas sepak bola kalah 0-10 lawan Bahrain, SBY prihatin. Kapolsek Dolok Perdamean, Sumatra Utara tewas dikeroyok oleh preman, SBY prihatin. Bahkan ketika disadap oleh intelijen Australia, SBY juga hanya komentar prihatin.

Diksi ini bukannya buruk sekali. Tidak. Prihatin justru menunjukkan kerendahan hati bahwa ada rasa penyesalan. Sayangnya jika muncul berkali-kali, diksi ini justru akan menunjukkan kerendahan diri sekaligus ketidakmampuan akan kontrol situasi. Sesuatu yang juga pernah tanpa sadar Presiden Jokowi lakukan saat idiom “bukan urusan saya” sempat memperburuk citranya.

Idiom yang muncul atas tanggapan Jokowi mengenai kabar adanya korban tewas demonstran di Makassar pada November 2014. Sempat jadi viral di sosial media juga dan jadi sumber meme yang tiada habisnya.

Jika ada hal yang bisa diperbaiki dari ungkapan Agus dengan “prihatin”-nya yang sudah terlanjur ini, maka tim sukses Agus harusnya tetap menggunakannya, alih-alih membuangnya. Percikkan api yang sudah terlanjur tersulut, lebih baik tidak usah dipadamkan. Manfaatkan saja sebagai senjata. Gunakan diksi itu sebagai bagian dari kampanye dengan cara sarkas.

Tunjukkan bahwa “prihatin” ala Agus, berbeda dengan “prihatin” ala SBY. Ingat, jika memang tidak memiliki rekam jejak yang mentereng seperti dua cagub lainnya, gunakan saja logika oposisi biner dengan menciptakan “musuh khayalan”.

Toh, jika memang SBY peduli akan karier putra sulungnya, maka seharusnya ia ikhlas jika sang anak memanfaatkan reputasinya yang sedang tidak bagus untuk digunakan sebagai batu loncatan. Kritisi saja kebijakan ayah sendiri. Baik sebagai ketua partai maupun sebagai mantan presiden. Sampaikan saja ke media bahwa sekarang panggungnya AHY (Agus Harimurti Yudhoyono), bukan panggung SBY. Yang muda yang bersuara, yang tua silakan menyingkir dulu.

Jika Agus berani melakukannya, bukan hanya akan dianggap sebagai politisi yang berani memainkan komedi gelap, namun ia juga akan dianggap sebagai sosok yang mampu berdiri sendiri tanpa takut akan bayang-bayang sang ayah.

Tidak usah khawatir. Dalam politik, semua bisa jadi lawan, semua bisa jadi kawan, termasuk ayah sendiri. Kalau urusannya selesai, ya tinggal baikan lagi saja.

Gitu aja kok repot.**

Sumber : tirto.id

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed