by

Saya Tak Mengagumi Kiai Ma’ruf Tapi Tetap Dukung Jokowi

 

Nah, Kiai Ma’ruf Amin ini adalah keturunan Syaikh Nawawi itu. Jadi, dari segi genetik, “darah keulamaan” Kiai Ma’ruf tidak diragukan lagi karena mengalir dari kakek-buyutnya yang hebat itu. Dengan kata lain, keulamaan dan kesantrian Kiai Ma’ruf itu 100% ori, bukan “KW 12” kayak cawapres dari “kubu RT sebelah”.

Bukan hanya dari segi gen atau darah biru saja, keulamaan Kiai Ma’ruf juga karena beliau lama sekali belajar tentang ilmu-ilmu keislaman: dari Madrasah Ibtidaiyah di Tangerang sampai pesantren & Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah di Tebuireng, Jombang, hingga Fakultas Ushuluddin Universitas Ibnu Chaldun, Bogor. Lagi, dari sisi pendidikan Islam, Kiai Ma’ruf jelas “santri ori”, bukan kayak di “kubu tetangga”. Meskipun ia dipacaki atau didandani kayak “santri beneran”, tetap saja “santri jadi-jadian”.

Dari sini kita bisa memaklumi, kenapa Kiai Ma’ruf bisa menjadi Ketua Umum MUI dan Rais Aam PBNU, sebuah jabatan struktural tertinggi di NU.

Bukan hanya seorang ulama sejati, Kiai Ma’ruf juga seorang politisi ulung yang sudah lama malang-melintang di dunia politik. Sudah sejak 1970an (saat Sandiaga masih bayi owek-owek), beliau sudah berkecimpung aktif di dunia politik praktis, dan bahkan pernah menjadi anggota DPR RI maupun DPRD DKI dari PPP beberapa periode. Ketika sejumlah tokoh NU, di bawah komando Gus Dur, mendirikan PKB, Kiai Ma’ruf juga ikut menjadi pendirinya, dan pernah menjadi anggota DPR / MPR RI dari PKB.

Karena itu, salah besar yang menganggap Kiai Ma’ruf hanya paham “dunia agama”, tidak paham “dunia politik”. Kiai Ma’ruf sangat paham sekali dengan dunia politik karena beliau memang seorang “kiai politik” dan “ulama-politisi”.

***

Meski sangat menghormati Kiai Ma’ruf sebagai ulama, kiai NU, dan tokoh agama, saya tidak pernah mengaguminya. Tokoh-tokoh dan kiai senior NU yang saya kagumi bukan Kiai Ma’ruf, melainkan figur-figur seperti Gus Dur, Kiai Sahal Mahfudh, Gus Mus, Habib Lutfi bin Yayha, atau Kiai Mahfudh Ridwan Salatiga.

Saya mengagumi mereka karena, bagiku, beliau-beliau adalah para ulama yang sangat kuat dan kukuh dalam memegang teguh prinsip dan komitmen tentang toleransi dan pluralisme agama serta perjuangan terhadap kelompok minoritas (agama maupun etnis), suatu hal yang “agak absen” dalam diri Kiai Ma’ruf. Karena itulah saya “kesengsem” terhadap pemikiran dan perjuangan beliau-beliau, bukan kepada Kiai Ma’ruf. Dengan kata lain, Kiai Ma’ruf itu bukan “tipe gue”.

Disukai atau tidak, diakui atau tidak, Kiai Ma’ruf turut memberi kontribusi bagi munculnya gerakan intoleransi agama dan anti-pluralisme serta tumbuhnya kelompok radikal Islam yang suka “mengganyang” kaum minoritas. Kiai Ma’ruf juga yang berada di balik keluarnya fatwa-fatwa haram MUI terhadap sekelompok Islam dan sekte agama, termasuk pengharaman terhadap pluralisme, sekularisme dan liberalisme. Inilah yang membuat saya sering berseberangan dengan beliau.

Tetapi menariknya, Kiai Ma’ruf itu bukan tipe “idealis sejati”, melainkan tipe seorang “pragmatis sejati” yang sangat fleksibel bergaul dan mudah berkongsi dengan siapapun dan kelompok manapun.

Pula, meskipun bukan seorang “pluralis sejati” seperti Gus Dur, Kiai Ma’ruf, sebagaimana Gus Dur, adalah seorang nasionalis sejati yang tidak rela dan tidak akan membiarkan Indonesia menjadi “Negara Islam” atau “Khilafah” misalnya.

Jadi, meskipun dalam batas tertentu saya berseberangan dengan beliau, termasuk dalam hal sikap kami yang berbeda tentang Ahok karena saya termasuk pembela “kelas berat” Koh Ahok, saya akan tetap mendukung duet Jokowi-Ma’ruf Amin atas dasar pertimbangan bahwa paslon ini jauh lebih baik, lebih layak, dan lebih menjanjikan bagi masa depan Indonesia yang lebih gemilang, ketimbang pasangan Prabowo-Sandi yang jelas-jelas tidak jelas jelunterungnya.

Jabal Dhahran, Jazirah Arabia

 

(Sumber: Facebook Sumanto AQ)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed