by

Saya Sudah Ada Di Surga

Well, akuilah ini kenyataan riil di masyarakat. Fenomena awam. Banyak yang memaksa orang untuk berbuat baik tapi dirinya banyak melakukan tindakan merugikan. Contohnya ngomong kasar, bersikap serampangan, atau paling gampang buang sampah sembarangan. Padahal menjaga kebersihan itu sunah lho.

Tolonglah, plis deh, yang dijadikan sunah jangan cuma perkara ihik-ihik malam Jumat; mulai aja dulu dari buang sampah yang bener, kalau tidak terbiasa memang susah

Saya, tidak di-didik untuk takut pada neraka, tidak dikelabui untuk takut pada Tuhan. Saya, adalah sebuah produk cinta. “Sebutlah nama Tuhanmu dengan penuh rasa kasih dan penuh rasa sayang.”

Makanya saya shock berat setiap melihat ada orang yang mulutnya kotor saat dakwah, atau menyebut nama ‘illah’ dengan penuh marah. Weh, ngeri thok!

Padahal katanya kan…duh sudahlah, khotbah bukan bagian saya.

Saya berusaha sepenuh jiwa meyakini mereka itu, yang penampilannya jauh lebih agamis dari saya tapi tidak menjaga lisan dan perilaku, pasti sudah pegang kunci surga. Sangat yakin masuk surga. Keren ya mereka

Sementara apalah saya, yang jangankan kunci hatimu, apalagi kunci surga, ga pegang, beb! Bisa dipastikan saya dicuci habis duluan di neraka 

Tapi orang yakin kan boleh-boleh saja ya. Meski keyakinan kita mungkin tidak sama. Bisa jadi aku yakin kalau kamu sayang aku, tapinya kamu ga yakin begitu. Hmm…mulai melenceng ini 

Yah mari kembali pada bahasan. Kalau saya meyakini, masuk surga atau neraka tidak harus menunggu mati. It’s a state of mind. Perkara repot memang, karena standarnya tidak sama bagi tiap orang.

Saya meyakini sekarang sudah di surga. Berikut sebuah contoh saja. Ini adalah kondisi telepon genggam saya beberapa waktu lalu. Retak hampir 80% bagian, kalau sekarang whaaa lebih parah, beb.

Gawai ini andalan, satu-satunya yang saya pakai untuk bekerja, masih mumpuni. Menyimpan ribuan foto, saya pakai bikin desain, membalas pesan, menulis tulisan kolom, membuat ulasan, dan entah berapa puluh kerjaan lainnya. Sangat tangguh.

Kondisi ini tidak harus membuat saya menderita. Kenyataan saya tidak mampu membeli penggantinya, entah baru atau bekas. Penghasilan saya teralihkan untuk biaya dalam hidup, membayar tagihan saya dan ibu, mengirim ibu sedikit uang – patungan dengan kakak saya, karena ibu tinggal seorang diri sekarang. Sisanya tidak seberapa, saya jajan sedikit – menghibur diri. Ada sedikit terkumpul, malah untuk menunjang pekerjaan, entah beli buku, belajar, atau beli perkakas.

Saya pikir, kalau ketidak mampuan itu menjadi alasan saya untuk kesal, marah, atau sedih; pasti saya akan menjadi orang yang sangat menderita. Penderitaan yang kita buat adalah neraka dalam raga.

It is heaven when you start the feeling of fullness, compassion, contempt, gratefulness, forgiveness, and surender to who you are.

Namaste

Sumber : Status Facebook Asrida Ulinuha ~

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed