by

Saya dan Pilpres 2019

 

Tapi siapa saya? Tokoh penting? Bukan urusan penting atau tidak penting. Tapi saya punya pendapat, saya punya akun media sosial, dan saya menyatakan pendapat saya sendiri!

Kepercayaan pada ideologi kebohongan Joseph Goebbels, adalah suatu keanehan. Bukan sebuah anomali tetapi lebih mendekati anakronisme diri, saya terutama, jika mempercayainya.

Bahwa pada jaman itu, Perang Dunia II, pidato kebohongannya mengakibatkan 6 juta manusia Yahudi terbunuh di Jerman, adalah fakta sejarah. Tapi itu kejadian 80 tahun lampau, pada dekade 1940-an. Apakah 80 tahun kemudian dunia berhenti berputar? Manusia masih sebodoh itu? Apakah di Indonesia tidak ada pendidikan? Apakah di Indonesia tidak ada agama?

Kalau tidak ada, lumrah dalil Goebbels masih berlaku. Tapi, kalau ada pendidikan dan agama, pertanyaannya bisa ditambahkan, lantas bagaimana kedua hal itu berjalan di Indonesia? Bukankah nyatanya Pilkada DKI 2017 bisa menyingkirkan orang baik semacam Ahok, dengan isu agama, yang kata orang memakai strategi kebohongan Gobbels?

Terus kemudian kita menyodorkan bukti-bukti seperti kemenangan Donald Trump, atau hasil Pilpres di Brasil yang relatif menyodorkan kemenangan tokoh sejenis Trump. Karena kita percaya? Kita? Elu aja kali, saya tidak!

Siapakah saya? Tokoh pentingkah saya? Ini bukan urusan penting tidak penting. Tetapi saya individu bebas, yang memiliki akun media, entah itu bernama fesbuk, twitter, weblog, instagram dan sebagainya.

Bodoh kok dipelihara, atau istilah kerennya sekarang; “Rocky Gerung kok dipercaya!”, atau “Fadli Zon kok didengerin!”, atau “Fahri Hamzah kok ditanyain!” atau yang paling mutakhir, “Andi Arief kok diperhatiin!”

Dalam dunia politik, tidak ada copy-paste. Bahwa dalam ilmu pengetahuan kita bisa belajar dari pengetahuan orang lain, namun Michel Eyquem de Montaigne sang esais Perancis abad 16 mengatakan kita bisa menjadi bijaksana mulai dari diri-sendiri. Dan bagi Bertrand Russell, to conquer fear is the beginning of wisdom. Menaklukkan rasa takut adalah awal dari kebijaksanaan. Dan, kebijaksanaan tidak pernah berbohong, kata Homerus.

Kenapa mengutip-kutip filsuf atau cendekiawan Barat, bahkan dari abad klasik? Karena kalau mengutip Quran atau Hadis, ada saja yang tiba-tiba membantah. Bukan begitu tafsirnya, tidak sahih, sesat, dan sebagainya. Lantas bagaimana agama yang sudah berusia ratusan tahun masih saja salang-tunjang soal tafsir? Apa saja kerja ulama? Ngetuit soal kecebong dan kampret?

Kalau tafsir KUHP, masih mending, bikinan manusia. Tapi, senyampang itu, bagaimana kita bisa menelan mentah-mentah pendapat manusia bernama Joseph Goebbels, yang baru 80 tahun lalu, bahwa kebohongan yang terus-menerus akan diyakini sebagai kebenaran? Mongsok Goebbels lebih dipercaya dari manusia abad 6 bernama Muhammad?

Kemudian ada yang nyeletuk, mau percaya bagaimana, karena; Ada imam besar (bagi FPI dan GNPF pendukung capres tertentu) yang lari ke luar negeri, setelah muncul tudingan chatting sex. Ada ulama yang posisinya wakil sekretaris jenderal Majelis Ulama Indonesia, tapi tuitannya penuh ujaran kebencian berkait politik. Ada seorang hajah menawarkan auto-sorga dengan cara menyumbang capres Prabowo-Sandi Rp 5 juta. Bagaimana bisa semua ini terjadi? Siapa mendustakan agama itu? Kalau dalam Almaun, jelas.

Benarkah di DKI dulu Ahok kalah karena orang percaya hoax, bahwa dia penista agama, maka harus disingkirkan? Itu karena kedalaman ilmu dan iman kita makin baik, atau lebih mengimani manusia Nazi, macam Joseph Goebbels?

Joseph Goebbels adalah omong kosong bagi saya. Saya? Saya siapa? Saya pemilik akun media sosial, yang saya merdeka dan tanpa tekanan, tidak akan gentar dan baper dengan hoax, dan bertanggung jawab atas semua pendapat saya!

 

(Sumber: facebook Sunardian W)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed