by

Save Uighur, Mengasong Agama Lagi?

Bagi kelompok politik pembenci, isu Uighur ini lumayan keren. Mereka akan memainkan isu ini untuk menimbulkan sentimen anti Cina. Menggelar demo besar-besaran seperti membela agama. Karena muslim Uighur memang berhadapan dengan pemerintah Tiongkok. Tujuannya membentuk persepsi rasial disini.

Sebagian ada yang menuding Jokowi. Kenapa gak membela Uighur? Mau belain pemerintah China, ya? Gak bersimpati pada umat Islam, ya? PKI, ya? Busyet, urusan yang terjadi luar negeri, yang kena Jokowi lagi.

Padahal kemarin di Poso, beberapa teroris yang tertangkap ternyata berasal dari Uighur. Mereka masuk ke Indonesia untuk membuat kekacauan. Targetnya membunuhi aparat. Bikin kerusuhan dan mencari korban sebanyak-banyaknya.

Teroris Uighur bukan hanya ada di Poso. Juga ada di Mindanao, bergabung dengan Abu Sayaf, menculik pelaut kita minta uang tebusan. Yang masuk ke Suriah atau Irak bahkan lebih banyak lagi. 

Diperkirakan 100 ribu lebih, orang Uighur masuk ke Suriah, membantu Alqaedah menghancurkan negeri itu. Mereka masuk melalui Turki.

Seorang teroris asal Uighur di Suriah, dalam wawancara dengan AP, pernah berkata. “Kami hanya mau belajar memegang senjata. Belajar perang. Setelah itu kami akan kembali ke China untuk memerdekakan wilayah kami.”

Terus kamu pikir dengan semangat sparatis begitu pemerintah China cuma akan mengelus-elus mereka?

Warga Uighur tinggal di daerah Xinjiang. Tapi mereka lebih mengidentifikasi dirinya sebagai suku Turk, berkomunikasi dengan bahasa Turki. Sebagian besar tidak bisa bahasa Mandarin. Secara kebudayaan juga jauh berbeda dengan etnis Han, yang merupakan etnis terbesar Tiongkok.

Xinjiang adalah wilayah China yang berbatasan dengan banyak negara. Sebut saja Kazakhstan, Tajikistan, Rusia, Mongol, Pakistan, Afghanistan dan India. Nah, sebagian orang Uighur mendirikan sebuah gerakan sparatis yang dinamakan East Turkestan Islamic Movement (ETIM). 

Tujuan gerakan ini melepaskan diri dari China, dengan slogan agama sebagai alasannya.
Kelompok ETIM inilah yang berdekatan dengan Alqaedah, Taliban bahkan ISIS. Sebagian tentara teroris disuplai oleh orang dari Uighur. Bahkan di China sendiri beberapa kali terjadi aksi teroris yang didalangi ETIM yang ujungnya menyebabkan konflik rasial, khususnya dengan suku Han.

Karena persoalan inilah pemerintah China mengawasi orang-orang Uighur secara ketat. Sebetulnya tidak semua penduduk Uighur radikal begitu. Hanya sebagian kecil saja. Tapi mereka memang terikat kekeluargaan dengan yang lain. Inilah yang membuat pemerintah China mencurigai keluarga-keluarga teroris yang masih berada di Xianjiang. Mereka yang keluarganya diketahui bergabung dengan teroris di Afghanistan, Suriah, atau Irak akhirnya terkena dampak. Diawasi secara ketat.

Untuk menangani gerakan sparatis di Uighur, China sudah menjalankan kebijakan asimilasi. Anak-anak Uighur diajar bahasa Mandarin agar mereka bisa berkomunikasi dengan warga lain. Juga bekerja di pemerintahan. Mungkin juga didoktrin kembali dengan ideologi negara. Inilah yang menjadi isu soal kamp konsentrasi dimana jutaan warga Uighur wajib menjalani metode pembelajaran.

Tapi mungkin saja, dalam proses itu ada kekerasan. Sebab ada sentimen rasial dari suku Han yang sering menjadi korban kekerasan oleh ETIM tadi. Pengawasan pada gerakan ekstrim Uighur menyebabkan sebagian penduduknya mengalami tekanan pemerintah China.

Artinya China lebih berkepentingan menangani gerakan sparatis yang membahayakan wilayahnya ketimbang memberangus warganya yang beragama Islam. Penanganan Uighur bukan karena agamanya. Tapi karena semangat sparatisnya.

Coba saja lihat. Etnis Hui yang juga beragama Islam hidupnya biasa saja di China. Masjid dan mushola banyak berdiri. Acara keagamaan bebas dilaksanakan. Tidak ada tekanan terhadap aktifitas ibadah mereka. Islam etnis Hui bebas berkembang di China.

Karena orang Hui tidak bermimpi untuk mengibarkan gerakan sparatis seperti Uighur. Corak keislaman etnis Hui mirip NU di Indonesia. Banyak mengikuti ajaran tarekat dan sufisme. Mereka menyatu dengan kebanyakan rakyat Tiongkok. 

Berbeda dengan etnis Uighur yang terimbas pola pikir ekstrimis.
Lalu kenapa isu Uighur sekarang meledak? Kita ingat, AS lagi angot-angotnya dengan China. Mereka terlibat perang dagang yang keras. Nah, isu Uighur ini bisa digunakan untuk menekan China. Meskipun mereka juga tahu, Uighur adalah salah satu supplier teroris dunia. Dengan diangkat isu Uighur ini, akan ada tekanan dunia internasional khususnya dari negara-negara Islam kepada China.

Sebetulnya pemerintah China punya andil juga menjadikan sebagian etnis Uighur bertindak radikal. Dulu saat Uni Sovyet menyerang Afghanistan, China ikut membiayai Taliban untuk menahan ekspansi Sovyet. Sebagian pejuang Taliban juga berasal dari Uighur.

Seperti biasa, isu Uighur juga makanan empuk di Indonesia. Maka, ramai-ramai lah orang berteriak membela Uighur lalu menuding pemerintah China memerangi Islam. Sama persis, mereka juga berteriak Save Aleppo, justru ketika para teroris sedang digencet pasukan Suriah di Aleppo.

China memang menangani agak keras etnis Uighur. Tapi kita tidak mendengar ada pembantaian. Berbeda dengan Saudi terhadap Yaman. Rakyat Yaman dibantai. Distop jalur makanannya. Dihujani bom. Jutaan anak Yaman kelaparan. Jutaan nyawa rakyat melayang. Masjid dan madrasah hancur di Yaman.

Tapi pernahkah kita mendengar slogan Save Yaman di Indonesia? Pernahkah kita mendengar protes AS di PBB atas aksi brutal koalisi Saudi di Yaman? Pernahkah ada demo kedutaan Saudi memprotes kebengisannya terhadap rakyat Yaman?

Gak pernah. Karena isu Yaman gak menguntungkan AS untuk dimainkan. Oleh sebab itu, isu tersebut juga gak direspon di Indonesia. Apalagi isu Yaman tidak bisa digunakan untuk menembak Jokowi.

“Warga Yaman, kan semua Islam, mas. Kenapa mereka gak membela? Toh, Yaman maupun Uighur sama-sama manusia. Mestinya kan dibela,” tanya Abu Kumkum.

“Mereka sebetulnya gak peduli pada Islam atau pada penderitaan manusia, Kum. Mereka hanya peduli pada agendanya saja.”

“Karena isu Yaman gak bisa digunakan untuk cari sumbangan, ya mas?”.

Pimteeerrr…

 

(Sumber: Facebook Eko Kuntadhi)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed