by

Satrio Wirang – Satrio Pinilih

Satrio Wirang bisa juga bermakna seorang pemimpin yang telah bertarung dalam medan peperangan –  tapi kemudian kalah. Namun selain kalah, Satrio Wirang ini nanti tidak terima dengan kekalahannya. Kemudian mengajak ke pengikutnya untuk menjegal pemimpin sang pemenang dalam peperangan tadi.

Satrio Wirang akan kehilangan dan ditinggalkan satu per satu pengikutnya. Karena  pasukan dan pengikutnya menyadari pada akhirnya dia kalah. 
Adapun SATRIO PINILIH adalah satria yang dipilih oleh kehendak sejarah dan direstui oleh para leluhur Nusantara. Dia seperti muncul mendadak di panggung sejarah,   namun sebenarnya telah memersiapkannya sejak lama. Sosok yang matang.
SESUAI ajaran yang saya terima, dari permenungan,  pengendapan  –  tapa ngrame –  sembari ngopi, rebahan, baca Primbon,   dan nguping kian kemari : kemimpinan dalam keyakinan orang Jawa itu datang bersama “wahyu”. 

Seorang pemimpin adalah dia yang terpilih bukan hanya karena suara rakyat,   melainkan karena “Wahyu” yang didapat dariNya.
Harap diketahui, semua wahyu dalam keyakinan Jawa bicara tentang kepemimpinan, terlepas dari sekecil apa pun wahyu itu, minimal untuk memimpin orang-orang di sekitarnya atau pun memimpin diri sendiri.

Terkenang pengalaman masa kecil saat malam jelang pemilihan kepala desa di kampung kami. Para warga juga kanak kanak begadangan, “lek lekan” di luar. Para sesepuh mengingatkan agar sering melihat ke langit untuk menyaksikan turunnya “Dewandaru” berupa cahaya  yang “clemorot” turun dari langit ke arah rumah calon yang akan terpilih. 
Para calon terpilih ditandai dengan turunnya “Dewandaru” ke atap rumah. 

Satria Pinilih secara etimologis kata “pinilih” berasal dari kata pilih mendapat sisipan “-in” menjadi pinilih. Ini berarti satria yang dipilih masyarakatnya, rakyatnya, bangsanya. 
Keyakinan spiritual itu masih ada sampai sekarang.  Setidaknya dituturkan oleh Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan Pariwisata (Dinporabudpar) Kabupaten Banyumas, Deskart S. Jatmiko, SH, SMi kepada tabloid ‘Pamor’, edisi April 2018 lalu.

Secara umum, ‘Dewandaru’ merupakan sebuah wahyu yang berhubungan erat dengan kepemimpinan. 
Cahaya yang “cemlorot” meluncur dari langit  (Dewandaru), membawa tiga jenis watak kepemimpinan,  yaitu, ‘HAMONG’ – ‘HAMOT’, dan ‘HAMUMANGKAT’.  Ketiganya menyatu, dipegang dan dijalankan oleh seorang pemimpin –  di tanah Jawa dan bumi Nusantara.

‘HAMONG’  atau “ngemong”, maknanya seorang pemimpin adalah dia yang sanggup melayani, bukan  minta dilayani  – minta setoran.  Melayani berarti bertindak bukan sebagai penguasa, akan tetapi sebagai abdi rakyat, bukan malah “ngukup” dan “ngraup”. Semua dikuasai. 

‘HAMOT’ yang berarti memuat, yaitu bahwa seorang pemimpin harusrmgakomodasi, menampung dan membawa muatan banyak atau muatan istimewa, sebuah kekuatan atau kelebihan untuk bisa memimpin dan mampu menampung semua kepentingan serta mendengarkan aspirasi masyarakatnya.

Sedangkan ‘HAMEMANGKAT’ adalah seorang pemimpin harus bisa menjaga martabat dan nama baik. Bukan hanya dirinya sendiri, tetapi juga rakyatnya, yaitu memberikan teladan yang baik sehingga rakyatnya dapat menirunya dan turut menjadi baik.

“Pemimpin itu harus bisa mendistribusikan kemakmuran dan juga meregulasi atau mengatur, serta menjadi protector atau pelindung, itulah yang dimaksud dengan ‘hamong’, ‘hamot’, ‘hamumangkat,’ ” jelas D.S. Jatmiko.
Pemimpin itu belum benar bila belum berani mengakui kesalahan, dan belum besar bila belum merasa kecil, karena apa yang diemban serta dijabatnya adalah amanat rakyat dan perintah rakyat.

BERSAMAAN dengan itu,   orang Jawa mendambakan dan memimpikan hadirnya RATU ADIL.  Seorang Ratu Adil adalah seorang Satria Piningit. Satria yang tersembunyi.  
Satria Piningit, berarti satria yang dipingit/disembunyikan atau sedang dipersiapkan untuk menduduki jabatan sebagai pemimpin bahkan pemimpin nasional. 

Dalam buku “Serat Wulang Reh”, Satria Piningit sebenarnya sebuah surat yang berisi ajaran, piwulang, pelajaran tentang ilmu memimpin atau ilmu memerintah yang mengungkap makna tentang pemimpin sejati atau satria piningit. 
Dari buku karya Sri Paku Buwono IV yang digali dari warisan khasanah budaya Jawa, itu menyingkap makna tentang pemimpin sejati, yang harus diawali kemampuan memimpin diri sendiri, baru memimpin orang lain, memimpin rakyat, dan masyarakatnya menuju kemerdekaan dan kearifan. 

Surat yang berisi pedoman ajaran kepemimpinan ini ditujukan kepada para putra dan cucunya yang tidak lain ialah para penerus bangsa.
Konsep pemikiran Satria Piningit ialah pemimpin Nusantara yang ideal, yaitu pemimpin sejati yang memiliki kualifikasi seorang negarawan, yang memiliki ciri-ciri antara lain, berhati putih (berbudi luhur, hormati budaya leluhur bangsanya); bergelar pangeran perang yang memiliki senjata trisula weda (benar, lurus, dan jujur); adil; dan berkasih sayang. 
Satria Piningit inilah yang diharapkan benar-benar muncul dalam setiap suksesi kepemimpinan bangsa dan negara ini yakni seorang pemimpin yang benar-benar dipersiapkan yang memiliki karakter negarawan.  

Siapa gerangan Satria Piningit yang dinantikan orang Jawa itu?   
Mari kita sama sama menantikannya sambil ngopi dan pesan Dimsum dan nasi bakar dari Opagino di Pasar Minggu Baru.  ***

Sumber : Status Facebook Supriyanto Martosuwito

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed