by

Salam yang Dikerdilkan

Quran memang berbahasa Arab. Karena diturunkan di Arab kepada kamjeng Nabi yang secara sosiologis berbahasa Arab. Tapi justru Quran memerintahkan manusia untuk berbahasa yang baik. Bahasa yang baik tidak sebatas pelafalan, tetapi bisa dicerap dengan baik juga oleh penerimanya. 

Sebab Islam diperuntukan kepada semua manusia, bukan hanya yang berbahasa arab saja, maka justru nilai-nilainya bisa diserap dalam berbagai budaya dan bahasa.

Mengucapkan salam adalah sebuah ekspresi keramahan. Ekspresi persahabatan. Ekspresi penghargaan manusia kepada manusia lainnya. Karena itu perlu diucapkan dengan bahasa yang dimengerti. Yang dimaknai positif oleh lawan bicara.

Dengan kata lain salam adalah sebuah tanda keindahan persahabatan. 

Ketika MUI Jatim mengkotak-kotakan salam hanya boleh diucapkan dalam bahasa Arab, mereka sedang mereduksi makna keindahan salam. Mereka justru sedang merampas makna salam yang sebetulnya universal menjadi begitu terbatas.

Lantas, bagaimana membuktikan Islam adalah rahmat bagi semua alam, padahal hanya sekadar mengucapkan salam saja sudah begitu egois. Sudah mengharam-haramkan jenis ucapan lainnya.

Mengucapkan salam tentu berbeda dengan ucapan sholat. Ketika sholat umat Islam melakukan ritual ibadah dan komunikasi kepada Allah. Tata caranya mesti mengikuti Rasul yang mengajarkan. Karena itu bahasa dalam sholat sifatnya ajeg. Meskipun setiap mazhab punya tafsir sendiri tentang bacaan sholat.

Bacaan ruku ala NU, misalnya, berbeda pelafalan dengan bacaan ruku teman-teman Muhamadiyah. Bacaan tahiyat mazhab Syafii berbeda dengan Mazhab Jafari. Tapi ok, rumusan apa bacaan ruku, sujud, tahiyat biarlah menjadi urusan para ahli fiqh. Kita hanya mengikuti saja.

Tapi bacaan salam, yang dimaksudkan sebahai ekspresi persahabatan manusia, rasa-rasanya tidak perlu dipersoalkan. Toh, kanjeng Nabi mengajarkan mengucapkan salam maknanya sebagai wujud bahwa agama memerintahkan kita untuk mengikat persaudaraan. Mengikat persahabatan. Bukan malah membatas-batasi.

Justru ketika MUI Jatim melarang ucapan salam selain Assalamualaikum, yang terjadi adalah mereduksi makna salam itu sendiri. Mereduksi maksud baik sebuah ucapan persahabatan dan keakraban sesama manusia. Masa kita hanya mau ucapkan salam pada yang seagama saja?

Mengucapkan asaalamualaikum, salam sejahtera, salam kebajikan, om swastyastu, syalom sejatinya adalah penghargaan pada keragaman. Bahwa hubungan kemanusiaan tidak hanya dibatasi oleh satu agama saja. Bahwa ketika semua ekspresi salam diucapkan oleh seorang muskim, dia sedang menunjukan makna Islam sebagai rahmatan lil alamin.

Demikian juga dengan umat kristiani. Salam dalam berbagai pengucapan menunjukan mereka sedang mempraktekan ajaran kasih pada sesama manusia. 

Jadi sudahlah. Orang-orang sudah mendiskusikan bagaimana aturan waktu sholat di Mars, yang durasi mataharinya berbeda dengan bumi. Sebab ilmu pengatahuan memungkinkan Mars jadi tempat manusia hidup nantinya.

Atau bagaimana teknologi memudahkan kehidupan. Bagaimana misalnya, bayi tabung, hasil pembuahan ovum dan sperma pasangan suami istri dititipkan ke rahim perempuan lain. Apa hukumnya? 

Atau bagaimana status hukum manusia hasil kloning, misalnya. Yang dihasilkan dari sel tanpa pembuahan normal.

Dan tentu saja masih banyak persoalan-persoalan lain. 

Pada banyak hal cara beragama yang cupet, telah menjauhkan agama dari perkembangan teknologi dan pengetahuan. Yang bumi datarlah. Yang semua perempuan gak boleh keliatan wajahnyalah. 

Masa kini, mau dijauhkan lagi dengan makna kemanusiaan universal. Dengan mengharam-haramkan ucapan salam selain Assalamualaikum?

Bukan berarti Assalamualaikum harus diganti. Tapi apa salahnya jika pengucapannya disandingkan dengan bahasa lain yang maknanya sama saja. Tentu saja jika forumnya terdiri dari orang berbagai agama.

Saya sendiri, pernah jadi pembicara di beberapa gereja, tetap saja saya ucapkan Assalamualaikum sebelum ucapan lainnya. Bukan apa-apa. Cuma karena kebiasaan saja…

“Mas, dapat salam dari Emi,” ujar Kumkum.

“Emi mana, Kum?”

“Emiang gue pikirin…”

Garing, lu!

 

(Sumber: Facebook Eko Kuntadhi)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed