by

Salahuddin Alam

 

Di LP Maros, ia menjadi aktivis dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Jaringan kawan-kawan di luar lembaga dimanfaatkannya dengan baik. Ia mengajak warga binaan berkebun cabe, sayur-mayur, juga kolam ikan nila dengan air yang diolah ulang dari penampungan limbah domestik. Di pojok kebun ada gazebo untuk berleha-leha menikmati hijaunya kebun. Kerja-kerja ini dibantu Dinas Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan.

Salahuddin juga telah memulai budi daya jamur bekerja sama dengan perusahaan swasta Celebes Mushroom, perusahaan yang mengembangkan jamur di Sulsel. Ia bahkan telah melaksanakan pelatihan pembuatan roti dan mie untuk warga binaan bekerja sama dengan pabrik terigu setempat.

Bukan hanya itu, di LP Maros ada pelatihan seni musik daerah yang digelar dengan mengundang Fakultas Ilmu Budaya Unhas dan Yayasan Kesenian Ajuara, Makassar.

Rupanya, dukungan dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan Maros membuat Salahuddin cukup leluasa mewujudkan aneka gagasan di dalam LP yang dihuni 300-an warga binaan itu.

Satu bilik tersisa di dekat ruang pengamanan LP Maros seluas 20-an meter persegi dimanfaatkan untuk perpustakaan. Namanya Pustaka Jeruji. Buku-buku koleksinya berdatangan dari berbagai jaringan. Dan Anda tahu siapa yang meresmikan perpustakaan ini? Najwa Shihab, Duta Baca Indonesia yang datang ke LP Maros pada 16 Oktober 2017.

Pustaka Jeruji bergaung sampai ke luar tembok LP. Dua pekan kemudian, di Jakarta, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly meluncurkan pembentukan Pustaka Jeruji di lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Bekerja sama dengan Pos Indonesia dan Penerbit Kompas Gramedia, pustaka-pustaka bernama Jeruji itu akan dibentuk di semua LP!

Apa manfaat semua ini bagi Salahuddin Alam, sahabat saya itu? “Untuk tetap menjaga pikiran yang sehat dan positif sekaligus bermanfaat bagi kawan-kawan penghuni lembaga pemasyarakatan,” katanya. Sederhana.

Tahun lalu pula, sebuah yayasan dibentuk dari dalam LP itu, Yayasan Kerja Bersama Untuk Semesta (Yakabus). Salahuddin tahu benar, ada banyak komunitas pembaca buku di negeri ini, di luar tembok LP. “Banyak komunitas di luar yang terbentuk dengan sukarela. Kenapa kita tidak terapkan di LP? Minat baca dari para napi sangat tinggi,” kata Salahuddin.

Melalui Yakabus dan Pustaka Jeruji dan tentu dukungan Kepala LP, Salahuddin menggelar Temu Literasi dengan tema keren: “Gerakan Untuk Aksi Menuju Remisi dari Maros untuk Indonesia”.

Menuju remisi? Ya, kenapa tidak. Selama ini, pengurangan hukuman diberikan kepada napi dilakukan setelah berkelakuan baik dan mendonorkan darahnya sebanyak lima kali. “Rasanya tidak lengkap. Aktif membaca buku dan kegiatan literasi seharusnya bisa juga menjadi prasyarat remisi,” kata Kepala LP Maros, Warsianto .

Di Brazil dan Italia, misalnya, napi yang membaca buku setebal 400 halaman mendapatkan remisi minimal empat hari, dan jika membaca 12 buku dalam setahun mendapat remisi hingga 48 hari.

Begitulah. Temu Literasi di LP ini diikuti para kepala lembaga pemasyarakatan dan kepala rumah tahanan dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, perwakilan warga binaan dan para pegiat literasi dari komunitas-komunitas di luar LP. Penulis Arswendo Atmowiloto — yang berfoto bersama Salahuddin ini — datang sebagai pembicara, ada juga pejabat Kementerian Hukum dan HAM, akademisi, wartawan, dan aktivis.

Selain untuk menggiatkan minat baca, kata Arswendo di hadapan para napi peserta Temu Literasi ini: “Tempat terbaik untuk jadi pengarang itu adalah di dalam LP, karena keberagaman napi dari berbagai latar belakang dapat dijadikan tokoh menarik, kemudian ada konflik dan ada keunikan materi, sehingga cerita di LP pasti menarik.” Tentu Arswendo bercerita sesuai pengalamannya mendekam di LP Salemba, Jakarta sekitar 28 tahun lalu, dan melahirkan sedikitnya 20 buku.

Saya sengaja menulis berpanjang-panjang tentang kawan saya ini karena kekaguman yang tulus, dan dukungan untuk kegembiraan yang senantiasa ia tebar di mana pun berada, bahkan di balik tembok penjara.

Saya teringat film seri terkenal The Prisoner tentang sebuah penjara bernama The Village yang selalu menjadi ilham bagi para penjaga penjara di banyak negeri. Sepenggal dialog pembuka film seri ini menggambarkan seorang penghuni yang tidak ingin dirinya ditempatkan sekadar angka.

Kepala Penjara: You are number six.
Penghuni: I am not a number – I am a free man.

Dan dalam raga Salahuddin Alam yang terpenjara, tetap bersemayan jiwa dan pikiran yang bebas dan lepas, mengembarai setiap ruang untuk memberi manfaat bagi orang lain. Ia senantiasa menebar kegembiraan.

Di luar sana, begitu banyak kawan yang menantikannya. Juga saya.

— Tebet, 28 Februari 2018

 

(Sumber: Facebook Tomi Lebang)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed