by

Saat Prabowo Bimbang

Jika pada Pilpres lalu ada Riza Chalid, raja minyak yang berdiri di belakang Prabowo, sekarang kayaknya gak lagi. Riza mulai ngukur diri, setelah Jokowi membubarkan Petral. Sudah jadi rahasia umum Petral inilah yang dulu jadi sumber duit Riza.

Prabowo sendiri sudah terang-terangan menunjukan keraguannya. Saat temu kader Gerindra, dia menjawab pertanyaan kenapa dirinya belum mendeklarasi sebagai Capres. “Tiketnya juga belum ada,” katanya.

Maksudnya jelas. Suara Gerindra pada Pileg lalu hanya 11,8 persen. Sudah pasti tidak bisa mengusung sendiri Capresnya. Jikapun koalisi dengan PKS, tetap masih kurang. Suara PKS hanya 6,9 persen. Padahal syaratnya minimal harus didukung 20 persen.

PKB, PAN dan Depokrat belum jelas sikapnya. Partai-partai ini masih sibuk meningkatkan bargaining berebut posisi Cawapres. Jadi memang posisi Prabowo masih ngambang. Wajar saja jika dia galau.

Kegalauan ini, tentu berkenaan beberapa kali kegagalan yang di deritanya. Saat konvensi Presiden di Golkar dulu, Prabowo kalah oleh Wiranto. Inilah cikal bakal akhirnya dia membentuk Gerindra.

Setelah itu dia maju jadi Cawapres mendampingi Megawati. Tapi lagi-lagi dikalahkan oleh SBY. Pilpres berikutnya dia maju sebagai Capres. Kali ini Prabowo dikalahkan Jokowi. Kelakahan yang terus menerus ini tentu menyisakan beban keraguan dalam dirinya.

Sadar kondisi seperti itu, Gatot Nurmantyo yang merasa masih fresh –belum punya pengalaman kalah– memberanikan diri mendaftar jadi Capres ke Gerindra. Tentu Gatot datang bukan dengan tangan kosong. Prabowo bisa mempertimbangkan tawaran Gatot ini. Tapi apakah dia lebih suka bertarung lagi, lalu dikenang sebagai politisi yang gak pernah menang. Atau memilih menjadi king maker saja. Entahlah.

Sementara elit Gerindra terus mendesak Prabowo untuk maju Capres. Bukan apa-apa. Pilpres 2019 dilaksanakan berbarengan dengan Pileg. Jika Prabowo maju sebagai Capres itu akan membantu mengantrol perolehan suara Gerindra di Pileg. Ini berdampak pada pekuang kader-kader itu untuk duduk di kursi legislatif.

Akan berbeda jika Gerindra mengusung Gatot Nurmantyo. Diperkirakan perolehan kursi Gerindra juga akan turun. Mungkin mereka belajar dari kasus Partai Demokrat. Begitu SBY gak jadi Capres lagi, perolegan suaranya terjun bebas, tinggal separuhnya dibanding Pileg sebelumnya.

Artinya, bagi kader Gerindra, mendukung Prabowo maju Capres, bukan hanya ingin ketuanya memenangi kursi Presiden. Tetapi bermanfaat juga untuk didomplengi agar mengatrol suara mereka.

Pemilu serentak ini ini memang disadari partai-partai. Makanya gak aneh jika jauh-jauh hari Nasdem, Golkar, PPP, Hanura dan PDIP sudah menyatakan dukungan pada Jokowi. Partai-partai itu mengharapkan limpahan simpati publik ke Jokowi terciprat ke partainya.

Jadi sekarang bagi Prabowo kondisinya cukup ngenes. Mau maju tapi logistiknya cekak dan partai koalisi belum jelas. Jika gak maju, lingkarannya mendorong dia untuk bertempur terus. Soal hasilnya nanti Prabowo menang atau kalah lagi untuk kesekian kalinya, bagi kader Gerindra akan tetap menguntungkan.

Ini namanya strategi ngejorokin ketum.

Sumber : Facebook Eko Kuntadhi

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed