by

Saat Ini Negara Hadir Hingga Pelosok Papua

Sebelum sampai di Atuka, kami mampir ke sebuah kawasan yang disebut sebagai “Kampus Biru”. Jangan dibayangkan bahwa itu adalah suatu kampus perguruan tinggi beserta mahasiswa-mahasiswinya. Bukan. Kampus Biru adalah kawasan pesisir di dekat Atuka tempat warga menangkap dan berjualan ikan.

“Kampus Biru” sebenarnya adalah nama warung kecil di kawasan tersebut. Tidak terlalu luas, hanya ada sekitar 10 rumah ala kadarnya di sekitar warung itu. Pak Kepala Distrik bercerita bahwa orang-orang di situ sebenarnya adalah warganya juga. Tapi mereka memilih untuk menangkap ikan di Kampus Biru. Mereka mengajak anak-anaknya juga, berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Mereka semi-menetap, kadang mereka akan kembali ke Atuka juga. Tapi mereka senang di Kampus Biru karena mereka bisa menangkap ikan dan dapat uang dengan gampang, hasil penjualan dengan warung Kampus Biru yang merangkap sebagai penadah hasil tangkapan ikan.

Pak Kepala Distrik, Mozes Yarangga, menunjukkan, berkilo-kilo ikan di situ harganya hanya Rp 100.000 rupiah. Sementara di Pomako bisa dijual 200-300 ribu rupiah, dan kalau sampai restauran, 200 ribu rupiah itu bisa hanya untuk satu ekor ikan saja. Betapa jauh ketimpangan harga yang terjadi dari produsen ke konsumen. Pantas saja, para nelayan di Kampus Biru itu masih saja kekurangan dan miskin karena belum ada tata kelola yang baik. Seandainya mereka bisa mendapatkan pelatihan dan pemodalan dan diarahkan supaya bisa menangkap dan mengelola ikan dengan baik mungkin hidupnya bisa lebih sejahtera.

Dengan kondisi seadanya, sulit dari akses air bersih, listrik, fasilitas pendidikan dan kesehatan, masih banyak hal yang belum tersentuh dan perlu dibenahi di kawasan kampus biru ini.

Berangkat ke Atuka, kami menjumpai warga yang ramah dan simpatik. Listrik didapatkan dari genset yang menyala terutama di malam hari. Lagu-lagu didendangkan melalui speaker terdengar di penjuru kampung. Rumah-rumah kayu berjejer rapi hasil dari pembangunan di masa sebelumnya.

Mayoritas warga adalah nelayan, sebagian ada yang ke Kampus Biru dan menetap sementara di sana untuk mencari nafkah, ada pula yang ke Pomako untuk menjual ikan. Kesulitan akses membuat mereka tidak bisa setiap saat menjual ikannya dengan leluasa. Di Atuka juga terdapat SD dan SMP.

Yang membuat takjub adalah kehadiran menara BTS di tengah kampung yang mengubah banyak hal. Sinyal dan akses 4G begitu lancar, yang mana dari sejak di Pomako sampai Atuka, sangat kesulitan untuk mengakses sinyal jaringan.

Dengan adanya jaringan, warga bisa telepon dan berkomunikasi dengan sanak keluarganya di Mimika, Jayapura, atau tempat-tempat lain di Indonesia secara lebih mudah. Kampung ini tidak terisolir berkat adanya komunikasi. Mudah-mudahan ke depannya bisa lebih baik lagi dengan pemasangan jaringan listrik dan pembukaan akses darat ke Timika.

Di sinilah peranan negara perlu hadir untuk menjamin keamanan, keselamatan, dan kesejahteraan warganya dari Sabang sampai Merauke. Semua harus mendapat akses dan layanan yang sama tanpa terkecuali. Bukan karena mayoritas, bukan karena populasi yang lebih padat, bukan karena dekat dengan kekuasaan.

Warga yang di gunung, yang di pesisir pantai berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan sama baiknya dengan yang tinggal di kota besar. Mereka harus bisa mendapatkan haknya sebagai penduduk dan warga negara yang dibuktikan dengan KTP. Namun prosedur yang berbelit dan ibukota sentris kadang menyulitkan operasional di lapangan.

Bagaimana warga di pelosok harus datang ke Timika hanya untuk mendapatkan KTP? Mereka harus menempuh perjalanan yang jauh, panjang, dan sulit untuk hanya mendapatkan KTP itupun tidak bisa sehari selesai. Aturan yang menyulitkan membuat petugas tidak bisa mendatangi warga untuk perekaman dan pencetakan KTP, semua harus datang ke Timika.

Ini yang kemudian menjadi concern dari tim smart city Kabupaten Mimika. Bagaimana bisa memberikan akses layanan yang lebih mudah bagi sekian banyak warga yang tersebar di pelosok gunung dan lembah, karena bagaimanapun mereka adalah warga Indonesia.

Smart city bukan hanya gagah-gagahan membeli dan menggunakan teknologi canggih dari luar negeri, tapi utamanya adalah bagaimana menjadi solusi dalam memberikan layanan kepada masyarakat. Bukan hanya asyik diperbincangkan tapi harusnya dilaksanakan dan diimplementasikan di lapangan dan menjadi penggerak perubahan bagi sebagian besar wilayah Indonesia yang selama ini jarang tersentuh pembangunan. Dan ini perlu dimulai dari sekarang.

Sumber : Status Facebook Prof Wikan Danar Sunindyo dengan judul asli Negara Hadir

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed