Suasana menjadi terharu dan semua pengunjung yang hadir di gedung itu terdiam. Semua yang menyaksikan aksi sujud Risma melihat para takmir seperti tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.
“Saya mohon maaf. Undangannya mendadak,” kata Risma.
Mendengar permintaan maaf ini, semua hadirin terdiam. Sementara itu, Tohir hanya bisa menatap kaget. “Bukan maksud saya menyalahkan. Tapi tadi memang saya mereaksi karena undangan berbunyi pembinaan takmir. Kan berarti ada yang salah sehingga kami perlu dibina,” ucap Tohir.
Setelah tahu Risma sujud minta maaf, Tohir merasa menyesal. Dirinya juga tak menyangka atas reaksi Risma sampai sujud minta maaf seperti itu.
Aku benar-benar terharu dan iba pada Bu Risma. Perempuan yang terkenal tegas dan tangguh ini mau merendahkan diri seperti itu di hadapan semua peserta pertemuan. Bu Risma yang sebetulnya adalah Walikota yang harus dihargai dan dihormati justru mau berkorban perasaan disalahkan seperti ini.
Mari kita fokus pada kalimat korban perasaan. Korban perasaan inilah yang selalu dihindari oleh orang-orang baperan. Kaum baperan memang enggan dan tak pernah mau berkorban perasaan apapun situasi dan kondisinya. Mereka takkan pernah mau peduli itu. Padahal sudah jelas disekitar mereka ada banyak orang yang berkorban jauh lebih besar daripada yang namanya korban perasaan. Ada yang berkorban kehilangan nyawa keluarga tercinta, ada juga yang berkorban kehilangan anggota tubuh. Dan pengorbanan-pengorbanan seperti itu bersifat mengikat seumur hidup. Selamanya.
Orang-orang yang pengorbanannya jauh lebih besar inilah yang dituntut harus selalu mengalah dan harus bisa memahami kaum baperan yang tak pernah mau berkorban perasaan. Soal undangan saja sampai dibawa baper seperti itu. Padahal maksud Bu Risma juga sudah jelas untuk menanggulangi aksi-aksi teroris yang semakin merajalela di Surabaya. Bukan untuk menghina atau mendiskreditkan takmir Masjid atau siapapun juga.
Saya pribadi selalu menganggap agama itu kebaikan. Jika nyatanya teroris ini selalu mengatasnamakan suatu agama dalam melakukan tindakan-tindakan kejinya, dimataku juga sudah final, teroris ini adalah oknum dalam suatu agama. Oknum-oknum yang menafsirkan agamanya dalam tindakan dan perbuatan yang salah. Jadi sudah jelas yang salah adalah oknumnya, bukan agamanya.
Mengacu pada ucapan Muhammad Tohir yang berkata, “Salah kami apa?” , saya pribadi melihat ada suatu penyangkalan dan aksi lepas tangan di situ. Tidak mau disalahkan jelas tergambar dalam kalimat yang semacam itu. Padahal kita sudah tahu sama tahu bahwa ajaran radikal dan kebencian sangat mudah disusupkan di rumah-rumah ibadah akhir-akhir ini.
Untuk itulah Bu Risma merasa sangat perlu mengumpulkan para takmir di Masjid untuk dibina dan diberi pemahaman agar bisa ikut proaktif menjaga kesucian rumah ibadah dalam upaya menciptakan kerukunan hidup beragama di Indonesia pada umumnya, dan di Surabaya pada khususnya.
Jika gara-gara ini Bu Risma harus merendahkan dirinya sampai sujud seperti itu, mata hatikupun jadi terbuka. Betapa luar biasanya ibu warga Surabaya yang satu ini. Kerja keras, pengabdian dan pengorbanannya dilakukan tanpa pamrih. Disalahkan dia terima. Dibaperin juga dia telan dengan ikhlas. Bu Risma sudah berhasil mengalahkan keegoisan dirinya sendiri, dengan tidak marah atau bersikap reaktif yang bisa berpotensi menimbulkan kegaduhan dalam pertemuan itu.
Sebagai penutup, aku ingin menuliskan sebuah kalimat yang tulus dari dasar hatiku yang paling dalam. Aku persembahkan kepada Bu TriRismaharini, Walikota Surabaya yang sangat aku hormati.
“Ibu, ke-Islamanmu sangat memberkati ke-Kristenanku. Terima kasih untuk teladan kerendahan hati dan keikhlasan yang sudah kau tunjukkan padaku. Tuhan memberkatimu. Tuhan memberkati Surabaya. Tuhan memberkati Indonesia. Amin”
Sumber : Status Facebook Jemima Mulyandari
Comment