by

Rupiah Kembali Menguat, Tertinggi di Asia

 
Dilansir dari Kontan.co.id, Jumat (7/9/2018), hal ini menjadikan penguatan tertinggi di Asia.
 
Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI, Nanang Hendarsah mengatakan penguatan rupiah ini terjadi karena sentimen positif dari melemahnya dollar AS.
 
Hal itu dipengaruhi oleh berita bahwa Presiden AS, Donald Trump mengancam perang dagang dengan Jepang dan juga didorong oleh penguatan GBP atas ekspektasi perkembangan positif dari proses negosiasi Brexit.
 
Sementara hal lainnya, melemahnya dolar AS dipengaruhi oleh rilis data US yang mixed (US Factory Orders dan Markit US Services yang melemah vs US ISM Non Manufacturing yang menguat) menjelang rilis data ketenagakerjaan malam ini dimana US Nonfarm Payroll dan Unemployment Rate diekspektasikan membaik.
 
“Pada sesi siang rupiah sempat mengalami tekanan pelemahan karena tingginya permintaan valas oleh korporasi dan repositioning dana portfolio asing dari obligasi dan saham,” kata Nanang kepada Kontan.co.id, Jumat (7/9/2018).
 
Nanang menambahkan, rupiah selanjutnya menguat mendorong terjadinya masuknya kembali portofolio dana asing ke SBN.
 
Selain didorong penguatan rupiah, menurut Nanang, masuknya dana asing juga didukung oleh imbal hasil SBN yang sudah sangat menarik.
 
Yield SUN 10 thn (seri FR 64) misalnya, hari ini ditutup di 8,47%, turun 7 basis poin (bps) dari level penutupan kemarin.
 
Bila dibandingkan dengan yield US Treasury Bond 10 tahun selisihnya sudah cukup lebar di 558,27 bps.
 
Diberitakan sebelumnya, menguatnya rupiah yang menjauhi level Rp 15.000 per dolar AS disebabkan oleh tambahan suplai yang ada di pasar.
 
Hal tersebut disampaikan Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, 
 
Menurutnya, pengusaha yang memiliki valas menjual valasnya dan menyebabkan suplai bertambah.
 
“Sehingga dua hari ini supply dan demand berlangsung dan ini penting untuk nilai tukar yang menguat,” ujar Perry.
 
Oleh sebab itu, BI memberikan apresiasi kepada pelaku ekonomi yang menjual valasnya sehingga menambah suplai di pasar.
 
Sementara itu, BI dan pemerintah akan terus melakukan langkah nyata untuk menurunkan defisit transaksi berjalan.
 
Meski menguat, Perry menuturkan pergerakan nilai tukar rupiah saat ini masih di luar nilai fundamentalnya.
 
Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator makro ekonomi Indonesia yang membaik.
 
Sebagai contoh, di bulan Agustus tercatat deflasi 0,05 persen.
 
Pertumbuhan ekonomi di semester II tahun 2018 tercatat 5,27 persen.
 
Sedangkan pertumbuhan kredit berada diatas 11 persen di bulan Juli 2018.
 
“Tentu saja (di luar fundamental). Kalau kita lihat, pergerakan inflasi yang sangat rendah, malah deflasi di Agustus, pertumbuhan ekonomi cukup bagus, perbankan yang kuat, kredit yang tumbuh lebih dari 10%,” ujar Perry.
 
Perry menambahkan, dibanding saat ini, ke depan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bisa terus menguat. 
 
 
(Sumber: Kontan)
 
 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed