by

Romo Magnis

Magnis kecil adalah keturunan bangsawan. Sulung dari enam bersaudara ini lahir pada 26 Mei 1936 dari rahim Maria Anna Grafin von Magnis. Mereka tinggal di kastil Eckersdorf. “Kami memiliki tanah 10 ribu hektar,” ujar Magnis.

Pada 1945, mereka mengungsi ke Cekoslowakia barat, di tempat neneknya. Tapi, mereka lalu harus pindah ke kamp pengungsian. Hingga pindah ke Jerman barat. Keluarganya bisa kumpul lagi pada 1948 di Jerman barat,setelah ayahnya dilepaskan dari tahanan perang.

Dengan keluarga yang kental dengan Katolik, mendorong Magnis muda untuk bergabung dengan Jesuit. Saat bergabung ke dalam Jesuit, artinya ia harus keluar dari keluarga. “Saya juga membuat pernyataan, bahwa saya tak akan mengklaim apapun dari keluarga,” kata Magnis. Orang tuanya sangat menerima pilihan Magnis.

Ada tiga negara yang sebenarnya bisa menjadi lahan pengabdiannya saat itu. Indonesia, Jepang, atau Zimbabwe. “Tapi saya tertarik dengan Indonesia,” ujar Magnis.

Berawal dari surat-surat yang dikirimkan ke pendahulunya, Magnis mengetahui cerita tentang Indonesia. Pada Januari 1961, Magnis mendarat di bandara Kemayoran, Jakarta. Di matanya, Jakarta saat itu laiknya desa besar. Jalanan masih lengang. Seturut ingatannya, hanya ada satu gedung tinggi di Jakarta. “Gedung PLN setinggi dua lantai di timur lapangan Gambir,” ujarnya mengenang.

Empat purnama kemudian, ia menuju Kulon Progo, Yogyakarta.

Di komunitas Jesuit mengharuskan ia belajar bahasa Jawa dulu sebelum bahasa Indonesia. Walau sempat kesusahan belajar bahasa Jawa, tapi Magnis muda merasakan keramahan di desa Boro, Kalibawang. Dalam tiga belas bulan, ia bisa menguasai bahasa Jawa. Dalam sehari, ia bersosialisasi tiap sore dengan warga sekitar. “Dalam bahasa Jawa, semua pertanyaan bisa dijawab dengan inggih (iya),” ujarnya sambil tersenyum.

Lewat sosialisasi itu, ia mulai mengenal budaya orang-orang biasa. “Saya sangat senang,” ujarnya.

Tak diduga, ia menemui Katolik di Jawa yang berpadu dengan budaya lokal. Misalnya shalawatan Katolik, orang-orang menyanyikan soal Abraham, soal penciptaan dalam bahasa Jawa.

Kebiasaannya jalan-jalan dan bersosialisasi ini seturut hobinya mendaki gunung. Gunung Gede, Jawa Barat sudah ia daki 20 kali. Suatu malam, ia pernah mendaki gunung Gede sendirian. Di depannya, ada rombongan pendaki. Magnis lalu menyalip rombongan itu. Mereka kaget dan megap-megap susah napas. Dengan postur tinggi dan putih, Magnis menjadi makhluk asing di gunung. “Saya dikira hantu. Tapi tetap saya salami mereka,” kata Magnis.

Pada 1977, Magnis muda mengantongi status Warga Negara Indonesia, Magnis ingin mengganti nama agar menjadi Indonesia. Ia buang ‘von’. Karena ia masuk lewat Jawa, ia ingin nama yang terdengar Jawa. Magnis ingin mengambil nama dengan awalan Su (berarti Baik).

Lewat rekannya, Romo Kuntara Wiryamartana, Magnis minta dicarikan nama. Salah satunya Suseno. “Kok enak didengar,” kata Magnis. Mulai saat itu, namanya berubah menjadi Franz Magnis-Suseno.

Belakangan, setelah bertemu dengan dalang Ki Manteb Sudarsono, Magnis mendapat cerita, jika nama itu merujuk nama wayang Karna Basuseno, tokoh kurawa. “Itu nama wayang kesukaan saya,” ujar Magnis.

Magnis tak hanya berkutat dengan kehidupan Katolik dan Jawa. Ia dekat juga dengan kalangan pemikir Islam seperti Nurcholish Madjid (Cak Nur) atau Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

“Gus Dur adalah salah satu manusia yang paling penting dalam hidup saya,” kata Magnis. Magnis bertemu Gus Dur di sebuah seminar pada 1983, di Semarang, Jawa Tengah. Kebetulan mereka mendapat satu kamar. Selama dua jam, Gus Dur menjelaskan kepada Magnis, harusnya Konferensi Wali Geraja Indonesia menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Mereka bahkan sempat tergabung bersama dalam Forum Demokrasi, saat iklim intelektual Orde Baru didominasi oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).

Kedekatan Islam dan Katolik menurut Magnis terjalin sudah lama. Pada masa genting 1965, Islam dan Katolik cukup dekat melawan komunis. Menurut Magnis, komunis tak pernah bersedia berkoalisi memajukan bangsa. Magnis, yang menulis disertasi tentang ideologi Marxisme yang mendasari komunisme melihat, sejak dari ideologi dan praktik, komunis hendak merebut kekuasaan dan mendirikan diktator partai.

“Saya gembira saat komunis jatuh,” ujarnya.

Tapi, Magnis tak sependapat dengan penilaian Marxisme yang berdasar stigma. Marxisme menurutnya adalah salah satu pemikiran filosofis yang paling berpengaruh dalam abad 20. Komunisme juga pernah menjadi kenyataan di Indonesia. Menurutnya, penilaian komunis harus berdasar informasi. Maka, Magnis menulis tiga buku tentang Marxisme.

Walau sudah lebih 80 tahun usianya, Magnis tak ketinggalan zaman. Ia tetap akrab dengan teknologi. Isu di media massa ia ikuti dengan tiga gawai; ponsel, ponsel pintar dan tablet. Juga satu komputer meja untuk menulis. “Semuanya sumbangan dari umat,” kata dia.

Sebagai seorang pastor Jesuit, Magnis tak punya harta pribadi. Seumur hidupnya, bahkan ia belum pernah memiliki rekening bank.

Tak heran, ia tak tergiur dengan hadiah dan harta. Saat diganjar Bakrie Award 2007, Magnis menolak. Hadiah sebesar Rp250 juta tak ia terima karena solidaritasnya kepada warga Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

Hidup tanpa memiliki harta, justru membuatnya dilimpahi semacam kebebasan di komunitas Jesuit. “Kami hidup bersama, sama sekali tak kekurangan, juga tak berlebihan,” kata dia.

Kini,di usia lewat 80tahun,Magnis tetap bugar badannya. Ia tetap kuat naik tangga.Dalam sepekan,ia beroleh raga 4-5 kali naik sepeda statis. Urusan santapan, ia tak punya pantangan. “Kuncinya, jangan banyak makan,” ujar penyuka bakso dan nasi goreng ini. 

Tapi ia tetap waspada dengan penyakit. Di usia senja, pendengaran telinga kanannya mulai butuh bantuan. Jika berbincang, lawan bicara kerap ia ajak duduk di sebelah kiri.

Usia, mungkin juga akan menuntaskannya dari jabatan struktural sebagai dosen dan Ketua Yayasan Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Jakarta.

Walau hayatnya panjang, Romo Magnis tetap merasa kekurangan waktu. Ia ingin tetap menulis buku dan berbicara di berbagai forum. Ia ingin melanjutkan bukunya Menalar Tuhan. Selain menulis, kesibukan Magnis adalah berbicara dalam forum-forum. Dalam setahun, diundang dalam 90-100 acara. Artinya, dalam dua pekan sekali, ada saja undangan untuk berceramah. Tak heran jika dari tangannya lahir ratusan artikel, dan 30-an buku.

Enam puluh enam tahun tinggal di Indonesia, Magnis tak pernah terpikir melepas status warga negara Indonesia.

“Saya bangga dan senang sebagai orang Indonesia,” kata dia.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed